Jakarta, MI – Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri istilah ‘Bina Lingkungan’ dalam penunjukan penyedia sembako bantuan sosial (vendor bansos) Covid-19.
“Kami mendapat informasi, terdapat dugaan penunjukan perusahaan penyalur sembako bansos Kemensos yang saat ini diproses KPK adalah perusahaan tersebut semata mata berdasar penunjukan, dengan istilah ‘Bina Lingkungan’,” ujar Boyamin, kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (3/1/2021).
Dia mengatakan, dengan penunjukan perusahaan itu, diduga tidak berdasar kemampuan, pengalaman dan kompetensi. Sehingga, katanya, dalam menyalurkan sembako menimbulkan dugaan penurunan kualitas dan harga (mark down), sehingga merugikan masyarakat dan negara.
Terkait dengan itu, MAKI menyebut ada 4 perusahaan yang ditunjuk menjadi vendor bansos. Yakni PT SPM mendapat paket 25.000 (pelaksana AHH), PT ARW mendapat paket 40.000 (pelaksana FH), PT TIRA mendapat 35.000 paket (pelaksana UAH), dan PT TJB yang mendapat 25.000 paket (pelaksana KF).
Selain 4 perusahaan tersebut, kata Boyamin, masih ada 8 perusahaan yang mendapat fasilitas ‘Bina Lingkungan’, sehingga total ada sebanyak 12 perusahaan.
“Bahwa perusahaan tersebut mendapat fasilitas ‘Bina Lingkungan’ diduga berdasar rekomendasi dari oknum pejabat eselon I Kemensos dan oknum politisi anggota DPR di luar yang selama ini telah disebut media massa,” katanya.
Sejauh ini, ada dua nama politisi PDIP yakni Herman Hery dan Ihsan Yunus yang kencang dikaitkan dengan kasus korupsi bansos. Namun, terkait istilah ‘Bina Lingkungan’, MAKI menduga direkomendasikan oleh politisi dari partai lain.
“Untuk istilah ‘Bina Lingkungan’ ini terdapat dugaan rekomendasi berasal dari oknum DPR di luar PDIP. Artinya diduga oknum DPR yang memberikan rekomendasi berasal dari beberapa parpol dan bukan hanya satu parpol,” ujar Boyamin.
Menurut MAKI, oknum pemberi rekomendasi ‘Bina Lingkungan’ diduga pejabat eselon I Kemensos dengan inisial PN dan oknum anggota DPR adalah ACH.
“Kami akan segera menyampaikan informasi ini kepada KPK dan mengawalnya, termasuk mencadangkan upaya Praperadilan jika tidak didalami oleh KPK,” katanya.
Menanggapi MAKI, Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri meminta kepada Bonyamin Saiman untuk membuat aduan laporan masyarakat. Aduan itu bisa disampaikan melalui call center 198
“Kami menyadari peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi sangat penting. Untuk itu kami silakan Boyamin Saiman sebagai bagian dari masyarakat yang mengaku mengetahui adanya dugaan peristiwa korupsi tersebut dapat melaporkan langsung kepada KPK melalui Pengaduan Masyarakat KPK atau call center 198,” kata Ali.
Ali mengatakan laporan yang disampaikan harus dilakukan dengan membawa data. Hal itu dilakukan agar dapat menjadi fakta hukum.
“Harapan kami tentu laporan temuan yang bersangkutan bukan sekedar informasi, namun disertai data awal yang kemudian bisa dikonfirmasi kepada pihak-pihak lain, karena untuk menjadi fakta hukum dalam proses penyelesaian perkara tentu harus berdasarkan alat bukti menurut hukum bukan sekedar rumor, asumsi dan persepsi semata,” ucapnya.
Dalam kasus ini, mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara ditetapkan KPK sebagai salah satu tersangka dalam kasus suap bansos Corona ini. Dia dijerat bersama empat orang lain, yaitu Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian IM, dan Harry Sidabuke.
Dua nama awal merupakan pejabat pembuat komitmen atau PPK di Kemensos. Sedangkan dua nama selanjutnya adalah pihak swasta sebagai vendor dari pengadaan bansos.
KPK menduga Juliari menerima jatah Rp 10 ribu dari setiap paket sembako senilai Rp 300 ribu per paket. Total setidaknya KPK menduga Juliari Batubara sudah menerima Rp 8,2 miliar dan Rp 8,8 miliar.
“Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, diduga diterima fee kurang-lebih sebesar Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS (Matheus Joko Santoso) kepada JPB (Juliari Peter Batubara) melalui AW (Adi Wahyono) dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar,” ucap Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers sebelumnya.
“Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 miliar, yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB,” imbuh Firli.
(ndi)
Discussion about this post