Monitorindonesia.com – Party Watch (Parwa) Institute menggelar kegiatan bedah buku karya mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang berjudul “Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat Vs Daulat Parpol” di Rocketz Café, The Nyaman Hotel, Tebet, Jakarta, Jumat malam (30/4/2021).
Dalam kegiatan itu, penulis yang kini menjabat Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah, Pakar Hukum Tata Negara Indonesia Margarito Kamis dan Yunarto Wijaya selaku Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia.
Kesmepatan itu, Fahri menegaskan bahwa buku putih ini adalah buku terakhirnya ketika masih sebagai Anggota DPR RI. Menurut dia, buku putih itu ada maknanya dan pada akhirnya nanti yang dihadapi sebagai negara demokrasi adalah masa depan daulat rakyat di tengah kegagalan partai politik untuk mengindentifikasi perannya secara baik.
Dalam buku tersebut kental dengan pertengkaran antara politik dirinya dengan teman-teman di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang melahirkan Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) dan kemudian lahirnya Partai Gelombang Rakyat Indonesia atau Gelora.
“Alhamdulillah Gelora sudah ada di 34 Provinsi, 514 kabupaten kota lengkap dan April ini insyaallah 100 persen kecamatan sekitar 8000-an kecamatan, sekarang kita masuk desa,” ujar Fahri.
Dia menjelaskan kenapa harus ada buku putih tersebut, supaya masyarakat tahu dimana kita berada sekarang dalam sekian tahun berdemokrasi, dan mengejar mimpi kita dengan cara-cara demokratis, membangun negara demokratis dan menghendaki demokrasi menjadi platform dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Ke depan, kita harus membangun sistem partai politik yang sehat, modern dan terbuka menuju demokrasi Indonesia yang semakin dewasa,” demikian Fahri Hamzah.
Sedang Margarito Kamis menegaskan, jika dicek baik-baik sejarah rule of law dan sejarah partai, tidak ada partai berdaulat, yang berdaulat itu adalah anggota karena bukan partai yang melahirkan orang-orang, tapi orang-oranglah yang melahirkan partai.
“Darimana ceritanya partai memiliki kedaulatan? Saulat ada di anggota, apalagi didalam kehidupan bernegara, anggota yang ada dalam DPR dipilih oleh rakyat. Itu sebabnya sebagian negara demokratik itu cara menarik anggota DPR itu hanya dengan semacam pemilu lagi, hanya bisa ditarik oleh rakyat yang memilihnya,” jelas Margarito.
Kesempatan sama, Yunarto Wijaya mengungkapkan bahwa seorang Fahri Hamzah adalah marketer. Jadi apapun istilahnya, Fahri itu seorang marketer.
“Ketika dia (Fahri) terlibat dalam sebuah konflik baik yang sifatnya personal, internal partai atau perbedaan pandangan, wacananya sering kali pro-kontra dan bergeser menjadi sebuah isu yang ada dipanggung nasional,” sebutnya.
Yunarto menambahkan, seorang Fahri Hamzah ketika sering kali dulu ‘bertengkar’ dengan seorang Johan Budi, rating TV One pasti tinggi, tapi kemudian dari situ lahir banyak perdebadan diksusi mengenai KPK yang selama ini tenggelam oleh arus populisme bahwa KPK tidak boleh salah.
“Itu kita harus akui. Sama seperti apa dalam buku ini, kalau orang mengatakan dari sudut marketing, akan bilang jago nih Fahri Hamzah,” kata dia. (Ery)
Discussion about this post