RKUHP, Wamen Kum-HAM Terbuka Masukan Para Ahli Hukum

Nicolas
Nicolas
Diperbarui 11 Agustus 2022 22:14 WIB
Jakarta, MI - Pemerintah melalui Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej mengapresiasi semua masukan penyepurnaan RUU KUHP yang saat ini sedang dalam pembahasan dengan DPR. Tim perumus RKUHP akan mempertimbangkan untuk perubahan dan membuka ruang diskusi dengan topik yang lebih spesifik seperti yang disampaikan oleh para ahli hukum pidana. Hal itu dikatakan Prof. Edward yang hadir sebagai keynote speaker dalam Seminar Mencermati  Rancangan KUHP dalam Pembangunan Hukum Indonesia di Aula PGI, Salemba Raya, Jakarta, Kamis, (11/8/2022). Seminar ini diselenggarakan atas kerjasama PNPS, YKI, PGI, Pewarna dan UKI. Seminar tersebut juga diikuti ratusan peserta baik yang hadir secara online dan offline di seluruh Indonesia. Edward bercerita bahwa RKUHP sebenarnya sudah diinisiasi sejak tahun 1958,  sudah 64 tahun lalu. Namun, RKUHP baru masuk legislasi DPR tahun 1963 sudah 59 tahun. Kata dia, tidak ada satu pun negara di dunia mampu secara cepat menyusun KUHP baru negaranya. Belanda lepas dari jajahan  Perancis, butuh 70 tahun untuk membuat KUHP meski masyarakatnya homogen. "Berbeda dengan  Indonesia, multi etnik, luas geografis dan 270 juta penduduk, maka tidak mudah membuat KUHP produk sendiri. Sebab kodevikasi harus membuat semua senang,” ujarnya. Hadir sebagai narasumber dalam seminar itu seperti Guru Besar Tata Negara UKI Prof.dr John Pieris, Dr Jamin Ginting, Prof. Dr Mompang Panggabean. Sementara acara dimoderatori Ketua Pengurus Yayasan Komunikasi Indonesia Dr. Bernard Nainggolan. Sementara penanggap juga dari berbagai ahli dari daerah antara lain  Dr. Budiman Sinaga dari Universitas HKBP Nommensen Medan, Dr. Marihot HutajuluDekan FH UKSW Salatiga dan Dosen FH dari Kupang. [caption id="attachment_479762" align="aligncenter" width="466"] Peserta Seminar Mencermati  Rancangan KUHP dalam Pembangunan Hukum Indonesia cukup antusias mendengar paparan dari narasumber[/caption] Dalam diskusi yang berlangsung lebih dari empat jam itu, Wamen mengatakan, pemerintah perlu mencari win-win solusion atau  midle way (jalan tengah) untuk menuntaskan pembahasan RKUHP. Menurutnya, harus ada titik temu dari keberagaman sosial, budaya, agama di Indonesia. “Persoalan prosesnya sudah selesai dibahas 2014-2019. Kebetulan saya terlibat selama 8 tahun. Pada  19 September 2019 Pemerintah  menarik RKUHP ini dari DPR, pertimbangannya karena perlu sosialisasi terlebih dulu ke masyarakat,  agar tidak menjadi masalah nanti. Sampai saat ini ada 6.000 masukan dari masyarakat,” kata dia sembari menambahkan bahwa pemerintah telah melakukan sosialisasi  di 12 provinsi. Menurutya, Pemerintah telah melakukan penyempurnaan sepanjang 2021-2022 dengan ada tujuh hal penting yang dibahas yakni terkait 14 isu krusial seperti sinkronisasi antara pasal, ancaman pidana (disparitas), melakukan harmonisasi di luar KUHP, teknik penyusunan UU, delik penadahan barang cetakan dan persoalan kesalahan atau typo. 70 Tahun  Sementara Prof. Dr. Mompang Panggabean mengatakan dalam membuat KUHP di seluruh dunia selalu ada empat alasan. Alasan itu yakni alasan politis, sosialis filosofis, praktis dan adatif. Ia mengungkap Belanda butuh 70 tahun membuat KUHP  maka mungkin Indonesia lebih lama untuk membuat KUHP sendiri. “Pak Wamen tadi sudah memaparkan banyak hal-hal ideal dimasukkan di RUU KUHP, kami setuju itu. Tetapi persoalannya bagaimana subtansi,  budaya dan struktur hukumnya,” paparnya Guru Besar UKI tersebut. Lebih lanjut, Mompang memberi catatan dalam sejumlah Pasal RKUHP. Pasal 207 terkait ternak, menurutnya delik pasif. "Bagaimana dengan pelaku? Dengan ada frasa membiarkan atau dengan sengaja. Sementara Pasal 280, norma yang ada, apakah hukum dimaksud itu termasuk kepatutan dalam masyarakat," ucapnya. Kedua, lanjut Mompang terkait frasa tidak hormat kepada hakim. Ia juga mempertanyakan kebebasan wartawan dalam meliput. Wartawan seribu akal untuk mencari celah. Kemudian Pasal 380, menggunakan kemampuan hewan diluar kodratnya. “Di kampung kami, masih menggunakan hewan over, apakah petani nanti bisa dipidana. Padahal di sini bentuk yang disengaja,” kata ahli hukum pidana ini. Selain itu, Mompang juga meyoroti Pasal 340 ayat 2, penggunaan bioteknologi dengan ancaman 2 tahun. Kalau kerugian besar bagaimana? Pasal 412, bagaimana kalau iklan diakses anak dari media sosial. Apa tidak lebih baik dikaitkan dengan UU ITE. Apakah melakukan  pendekatan cultural relativisme. [caption id="attachment_479768" align="aligncenter" width="497"] Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej (dua kiri) usai mendapat tenun "ulos" yang diserahkan Ketua YKI Bernard Nainggolan (kiri) di sela-sela acara seminar.[/caption] Guru Besar  Hukum Tata Negara UKI Prof. Dr. John Pieres, yang mengungkapkan hukum positif kalau aktif berlaku maka perlu menggali hukum positif dalam masyarakat. “Apa yang disampaikan Pak Wamen saya setuju. Dasar dari hukum itu tekait  dua hal satu moralitas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusian yang beradab ini, dua sila dari Pancasila,” tukasnya. Pelecehan Presiden Ia menyinggung Pasal 4, kalau ada melecehkan Presiden itu munurunkan harkat dan martabat. Itu sesuai dengan teologis Kristen yang memilii kewajiban menghormati pemerintah. Pasal 27, lanjut John Pieris menjunjung menghormati Tap MPR No. VI/MPR/2001 tata krama dalam politik.  Dari sumber yang dikutip, menjadi keharusan dari warga negara menjaga martabat presiden dan wakil presiden. Terkait dengan konstruksi hukum Pidana dalam RKUHP  Pasal 217, menghina presiden ancaman  pidana penjara 5 tahun, John mengaku sependapat. Kemudian Pasal 218, menyerang kehormatan di depan umum dipidana 3 tahun 6 bulan. Demikian pada Pasal 219, setuju  dan Pasal 220, bisa dituntut dengan delik aduan. “Tergantung presiden dan wapres, kalau Jokowi mungkin tidak menuntut tetapi berbeda dengan Presiden Trump yang cenderung reaktif,” bebernya. Sedangkan, Pdt. Dr. Albertus Patty MA seorang teolog Kristen mempertanyakan apakah RKUHP itu cukup keadilan dan kebersamaan dan menampung keanekaragaman?. Sejak reformasi, kata Patty,  ada dua kecenderungan di Indonesia. Makin menguatnya konservatisme agama ini merubah berbahasa, fashion, makanan dan lainnya. Hal kedua, justru konservatisme agama menyentuh politik dan hukum, dalam  konteks nasional dan lokal. Celakanya dalam konteks nasional konservatisme agama ini makin muncul ke permukaan. Ia mencontohkan, pernikahan beda agama ditentang Kemenag. Padahal ini realitas terjadi dari jaman dulu. Ia juga menyinggung  UU Provinsi Sumbar yang tidak mengakomodasi Mentawai yang 95 persen Kristen. “Apa urusannya pemerintah, kalau memilih istri yang beda agama. Ini muncul dari tapsir salah satu agama saja,” kritiknya keras. Terkait RKUHP, Pendeta GKI ini, hanya ingin menanggapi tiga hal yakni penistaan agama, perzinahan dan kumpul kebo. Menurutnya ini selalu muncul di negara yang agama kuat, bahkan  di Amerika juga terjadi negara bagian tertentu. Menurutnya, penistaan Agama ini sama dengan penistaan tafsir satu agama sangat karet . Dia juga mencontohkan, kasus Meliana di Sumut, ditangkap bukan karena UU tapi tekanan kekuatan massa. "Kasus Ferdinand Hutahaen, bilang Allah kuat, apa yang salah disitu. Allah lemah biasa di kristiani biasa  aja. Dia malah masuk penjara. Makanya  dibalik UU ini tafsir agama ini kuat," ucapnya.[Flo]    
Berita Terkait