Kriminolog Minta Polri Jelaskan Kelalaian Seperti Apa yang Menyebabkan Bripda IDF Tewas

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 31 Juli 2023 01:18 WIB
Jakarta, MI - Kriminolog, Reza Indragiri Amriel, meminta Polri transparan dalam mengusut kasus tewasnya Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage (IDFS) yang diduga akibat kelalaian seniornya saat memperlihatkan senjata api yang diduga rakitan ilegal. Polri kata dia, harus terbuka menjelaskan kelalaian seperti apa yang menyebabkan tewasnya Bripda IDF itu. “Kelalaiannya seperti apa? Perlu dibuka. Pertanyaan ini muncul karena di organisasi kepolisian kerap dikenal 'Blue Curtain Code', Kode Tirai Biru,” katanya kepada wartawan dikutip pada Senin (31/7). Menurut Reza 'Kode Tirai Biru' ini adalah kecenderungan untuk menutup-nutupi kesalahan korps. Temuan tentang adanya ‘kode senyap’ (Kode Tirai Biru) tersebut kontras dengan pernyataan polisi yang akan selalu transparan dan objektif dalam pengungkapan kasus. Karena lanjut dia, baru setahun yang lalu masyarakat Indonesia dibuat heboh dengan kasus pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau  Brigadir J oleh mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo yang saat ini telah divonis hukuman mati. Peristiwa itu, kata dia, memperlihatkan potret kekejaman senior terhadap junior yang sempat ditutup-tutupi peristiwa dan faktanya. Hingga akhirnya pihak keluarga Brigadir Yosua dan warganet bersuara, barulah transparansi dan objektivitas dilakukan serius, hingga Kode Tirai Biru tersibak. Pakar psikologi forensik itu pun mendorong Polri membentuk tim investigasi yang melibatkan pihak eksternal guna menjawab prasangka pihak keluarga yang menduga Bripda IDF dibunuh secara terencana, ditambah rasa skeptisime masif warganet. Namun, ia tidak merekomendasikan Polri untuk melibatkan Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas sebagai pihak eksternal dalam tim investigasi tersebut. Ini karena dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua, Kompolnas mengiyakan “investigasi” Polres Jakarta Selatan bahwa tewasnya Brigadir Yosua karena baku tembak. Pelibatan unsur eksternal di luar Kompolnas dalam investigasi adalah harga mahal yang harus dibayar Polri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. “Ya, apa boleh buat. Ini contoh harga mahal yang terpaksa harus Polri bayar akibat krisis kepercayaan publik," terangnya. Terkait kelalaian yang disampaikan Polri, Reza mengatakan bahw pihak keluarga Bripda IDF bisa saja melayangkan gugatan kepada Polri. Menurutnya, hal ini ini sudah lazim dilakukan masyarakat di negara-negara Barat. “Di Barat, sudah sering warga menggugat polisi atas police misconduct. Kelalaian pun bisa menjadi materi gugatan. Demi menghindari proses hukum, polisi biasanya pilih memberikan kompensasi langsung ke keluarga korban,” katanya. Tetapi, lanjut Reza, untuk mengetahui siapa pihak yang harus digugat apakah personel yang melakukan kelalaian atau institusi, maka untuk itu Polri perlu memperjelas bentuk kelalaian yang menyebabkan Bripda IDF tewas tertembak. “Siapa yang digugat? Oknum yang melakukan kelalaian atau institusi kepolisian? Tergantung bentuk kelalaiannya. Karena itulah saya tadi berpesan: jelaskan bagaimana bentuk kelalaiannya,” kata Reza. Diketahui, Bripda IDF tewas tertembak akibat kelalaian rekan kerjanya yang memperlihatkan senjata api rakitan ilegal pada Minggu (23/7) di Rusun Polri, Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dua anggota Polri dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri ditetapkan sebagai tersangka, yakni Bripda IMS dan Bripka IG. Keduanya dinyatakan melanggar kode etik kategori pelanggaran berat serta tindak pidana Pasal 338. Bripda IMS dikenakan Pasal 338 atau Pasal 359 KUHP dan atau Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951. Sedangkan untuk tersangka Bripka IG dikenakan Pasal 338 juncto Pasal 56 dan atau Pasal 359 KUHP juncto Pasal 56 KUHP dan atau Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Keduanya terancam pidana hukuman mati, atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun. (Wan) #Bripda IDF