Kunker di Kaltara, DPD dan Wamen Soroti Masalah Pertanahan dan Infrastruktur

Aan Sutisna
Aan Sutisna
Diperbarui 31 Maret 2022 16:21 WIB
Jakarta, MI - Kunjungan kerja Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Mahyudin di Kalimantan Utara 28-30 Maret 2022 bersama Wakil Menteri (Wamen) Agraria Tata Ruang (ATR)/Waka Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surya Tjandra dan Wamen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Alue Dohong. Mahyudin mengatakan kehadiran dua wamen itu demi menyelaraskan cara pandang terhadap permasalahan pembangunan daerah. Sehingga aspirasi rakyat bisal dikoordinasikan dengan baik. “Agar mereka melihat langsung hambatan, peluang, dan permasalahan pembangunan di Kaltara. Sehingga bisa secara cepat dikeluarkan kebijakan yang tepat, setelah melihat dan mendengar langsung aspirasi masyarakat,” kata Mahyudin, dalam keterangan tertulis, Kamis, (31/3/2022). Dari kunjungan didapati permasalahan terkait pertanahan, seperti penguasaan tanah di kawasan hutan. Surya Tjandra mengatakan bahwa permasalah ini sudah dibenahi Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH). "Kami bekerja sama dengan KPK dan KLHK untuk membenahi batas kawasan hutan. Mudah-mudahan PPTKH bisa mencairkan suasana, menjadi salah satu terobosan yang bisa mendukung pembangunan, juga di sisi lain menjaga lingkungan," ucapnya. Alue Dohong mengakui banyak persoalan kepemilikan lahan dan kehutanan di Kaltara. Menurutnya, saat ini pemerintah telah menyetujui pola Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) di 130 kabupaten/kota seluruh Indonesia dengan total luas lahan 330.357 hektare yang akan dilaksanakan. “Mengenai kampung-kampung tua yang perlu sertifikasi namun statusnya di kawasan hutan, kita keluarkan sertifikatnya, kita ubah batas hutannya, supaya ada legalisai aset di masayarakat. Artinya rakyat mendapatkan kepastian atas tanah yang didapat dari hutan," jelasnya. Infrastruktur Perbatasan Mahyudin melihat tantangan pembangunan yang dihadapi provinsi termuda itu, terutama ketersediaan infrastruktur yang layak di perbatasan Malaysia, seperti di di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan.  Ia mengingatkan pemerintah tidak mengabaikan pembangunan di wilayah perbatasan sehingga tidak terulang lagi kasus lepasnya Sipadan-Ligitan yang diklaim Malaysia. Pada daerah perbatasan terdapat banyak potensi ancaman dan ganggun kedaulatan negara. Mahyudin mengakui bahwa masyarakat di perbatasan secara ekonomi bergantung dari Malaysia, karena adanya keterbatasan transportasi darat yang dibangun di wilayah Krayan. Walaupun sampai saat ini, menurutnya nasionalisme masyarakat di sana masih kuat. "Rakyat di sana benar-benar teruji kesetiaannya pada Indonesia. Bahkan ada jargon di sana 'Ringgit di Dompetku, Malaysia di perutku, namun Garuda tetap di Dadaku.' Itu artinya betapapun rakyat di perbatasan begitu familiar dengan uang Ringgit Malaysia, bahan makanan pun lebih murah dari sana, namun kesetiaan mereka pada NKRI tidak tergoyahkan," tegas Mahyudin. "Berbagai keterbatasan infrastruktur itu, membuat ada ketimpangan yang sangat besar antara warga Indonesia di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kaltara, dengan tetangga di Sabah dan Serawak, Malaysia,” katanya. Ironisnya masyarakat yang tinggal di Krayan juga kesulitan memiliki tanah bersertifikat, karena hampir seluruh wilayah itu berstatus hutan lindung. Padahal menurut Mahyudin, penting sekali keberadaan sertifikat di wilayah perbatasan, sebagai wujud eksistensi negara. “Belajar dari pengalaman kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya menjadi milik Malaysia, karena di mahkamah internasional, bukti otentik kepemilikan Indonesia lemah. Seandainya di wilayah Sipadan-Ligitan ada kepemilikan sertifikat tanah milik warga Indonesia, mungkin akan lain ceritanya,” katanya,”katanya. Mahyudin juga menganggap, ada perbedaan perlakuan dua negara terhadap perbatasan, jika di Indonesia daerah perbatasan dijadikan hutan lindung, maka di Malaysia dijadikan pusat pertumbuhan ekonomi, seperti mendirikan pabrik CPO. Hal inilah yang menurutnya harus diperhatikan oleh pemerintah, terutama Kementerian ATR/BPN, serta kementerian LHK. "Bukan berarti saya menyarankan agar seluruh hutan lindung dialihfungsikan, tapi kita harus melihat fakta bahwa ada rakyat Indonesia, saudara kita di sana yang butuh tempat tinggal, hidup dan berusaha dan sebagainya. Mohon agar hal ini menjadi prioritas Kementerian ATR," jelas Mahyudin kepada Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tandra saat itu. Menurut Surya Tjandra, bahwa masalah itu tidak lepas dari kompleksnya kepengurusan agraria, karena masih adanya tumpang tindih regulasi, membuat teknis pelaksanaannya masih ego sektoral. "Di sini ada tantangan wilayah perbatasan. Jadi tidak cuma sekadar pelayanan publik tetapi pertumbuhan di daerah perbatasan dengan Malaysia, artinya memang kompleks permasalahan di sini," katanya. Dengan situasi seperti itu, menurutnya Kementerian ATR/BPN tidak bisa lagi berfikir ego sektoral, namun harus kerja bersama lintas sektoral, termasuk dengan Kementerian LHK. "Kita tata yang benar, karena tata batas kawasan hutan jadi kunci di sini," tuturnya. Selain di Krayan, tantangan infrastruktur jalan perbatasan dengan malaysia juga ditemukan di Apau Kayan, Kabupaten Malinau Kaltara. Lokasi di mana masyarakat terisolir akibat ketiadaan jalan yang layak, selain jalan peninggalan PT Sumalindo. Namun sekarang, jalan itu tidak lagi terawat, karena PT Sumalindo tidak beroperasi lagi. “Di sini ada dilema, ketika pemerintah mau membangun jalan, namun status jalan masih menjadi milik perusahaan. Kecuali ada pelepasan. Nanti kami akan panggil PT Sumalindo untuk minta kejelasan kepemilikan jalan dari mereka,” pungkas Mahyudin. [Iwah]

Topik:

DPD KLHK Kaltara