Pemasangan PLTS Atap Terhambat Perizinan PLN, Komitmen EBT Indonesia Dipertanyakan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 15 Februari 2022 22:22 WIB
Monitorindonesia.com - Pengaduan dari kalangan industri skala nasional dan multinasional terkait kesulitan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di berbagai daerah, diungkap oleh Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI). "Berdasarkan laporan yang masuk, terdapat 14 pengaduan periode November-Desember 2021. Sebanyak 79 persen kasusnya terjadi di Jawa Barat," kata Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (15/2/2022). Dibeberkan, banyak laporan dari anggota AESI menyatakan klien mereka kesulitan memasang PLTS atap karena tidak mendapatkan perizinan dari PLN. Detailnya, tutur Fabby menjelaskan, bahwa industri-industri di daerah kesulitan mendapatkan izin, khususnya dari General Manager PLN Jawa Barat. Kalangan industri yang melayangkan pengaduan umumnya ingin membangun PLTS atap sebesar satu sampai dua megawatt. Bahkan, ada proyek pembangkit yang mencapai empat sampai lima megawatt untuk satu perusahaan. Jenis pengaduan yang sampaikan, misalnya permintaan dokumentasi atau kajian tambahan saat pengajuan perizinan. Kemudian proses perizinan yang dianggap cukup lama, yakni lebih dari 15 hari. Keluhan lainnya terkait permohonan izin melalui OSS mengharuskan pemohon untuk memiliki KBLI tertentu. Menurut Fabby, perizinan yang sulit tersebut berdampak langsung terhadap daya saing investasi energi bersih di Indonesia. "Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah," tandasnya. Diantoro Dendi Digdoyo, Deputy General Manager Corporate Planning, Corporate Strategy Sub Division PT MMKI mengungkapkan, pihaknya sempat menemui hambatan saat memasang PLTS atap untuk kepentingan pabriknya. MMKSI mengajukan permohonan pemasangan PLTS atap pada April 2021, namun PLN baru merespons permohonan itu sembilan bulan kemudian di Januari 2022. Saat itu MMKSI telah memenuhi berbagai persyaratan dan aspek teknis, kemudian PLN memberikan persyaratan tambahan yang tidak sesuai dengan regulasi tentang PLTS yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021. Adapun syarat yang diajukan PLN adalah maksimum kapasitas PLTS atap sebesar 1,75 megawatt peak. Kemudian MMKSI dilarang mengoperasikan PLTS atap saat hari libur, dan ekspor listrik hanya 65 persen. Padahal dalam regulasi terbaru yang dikeluarkan Menteri ESDM, syarat-syarat ini tidak ada. "Kami belum menjawab draft proposal dari PLN sampai kami mendapatkan kejelasan," ujar Diantoro. Ketidakjelasan Aturan Fabby menjelaskan pangkal kisruh proses pemasangan PLTS atap adalah penundaan Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021. Penundaan penerapan Permen yang mengatur pemanfaatan PLTS atap inilah yang menjadi penyebab ketidakpastian investasi energi bersih. Akibatnya saat ini banyak pihak, terutama perusahaan multinasional mempertanyakan komitmen Indonesia dalam meningkatkan energi baru terbarukan (EBT). Menurut AESI, pemerintah menahan penggunaan regulasi itu karena mempertimbangkan dampak yang akan diterima perusahaan listrik negara, PT PLN. Salah satunya perubahan tarif ekspor dari 65 persen menjadi 100 persen yang dianggap bisa merugikan perseroan. Sementara permohonan izin kepada pimpinan PLN di daerah tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 pada pasal tujuh. Ada dua syarat yang harus dipenuhi pemohon untuk memasang PLTS atap, yakni syarat administrasi berupa nomor induk pelanggan dan syarat teknis berupa besaran daya terpasang sistem PLTS atap, spesifikasi teknis peralatan yang mau dipasang, diagram satu garis. [tar]