Pakar Perumahan ITB: Kutipan Pembiayaan Tapera Bentuk Penipuan Pemerintah!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 4 Juni 2024 21:13 WIB
Ahli Perencana Kota dan Wilayah ITB, Jehansyah Siregar (Foto: Istimewa)
Ahli Perencana Kota dan Wilayah ITB, Jehansyah Siregar (Foto: Istimewa)
Jakarta, MI - Dosen Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman (KKPP), Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar menilai kebijakan iuran Tapera harus dibatalkan. 

Sebab, niatnya hanya demi mengutip uang rakyat yang rentan diselewengkan seperti pada program jaminan sosial di Asabri, Jiwasraya, serta Taspen.

"Program Tapera sesungguhnya tidak masuk akal untuk menyediakan hunian rakyat yang terjangkau," ujar Jehansyah Siregar kepada Monitorindonesia.com, Selasa (4/6/2024).

Jehansyah merujuk pada besaran potongan yang diwajibkan pemerintah sebesar 2,5% hingga 3% maka mustahil bisa membeli rumah dengan harga pasaran. Kalaupun ada, lokasi rumahnya "tidak terjangkau" atau jauh dari kota.

Menurutnya, secara rasional tidak logis dengan nilai potongan kecil, bisa memiliki rumah. Rumah KPR subsidi yang harga rumahnya Rp180 juta hanya bisa di atas tanah tidak lebih dari Rp250.000 per meter.

Dia mencontohkan, di pinggiran Bogor saja tidak dapat harga segitu. Sehingga lokasi rumah Tapera bakal makin jauh seperti Serang bahkan hingga Cilegon bagi pekerja yang bekerja di Jakarta.

"Pemerintah hanya mengumbar skema pembiayaan rumah tanpa melakukan intervensi apapun atas penguasaan tanah, harga, dan pengembangan kawasan baru. Di banyak negara, langkah pertama yang dilakukan pemerintah untuk membuat hunian terjangkau bagi warga harus menciptakan produksinya terlebih dahulu," katanya.

Tapera
Berdasarkan temuan BPK RI tahun 2021, sebanyak 124.960 orang pensiunan peserta Tapera belum menerima pengembalian dana Tapera sebesar Rp 567.457.735.810 atau sekitar Rp 567,5 miliar. 

Caranya bisa dengan membeli tanah-tanah terlantar dengan harga murah, kemudian menyusun tata ruang, termasuk huniannya.

Jika sudah punya rancangan, langkah selanjutnya memperkuat pengembang publik seperti Perumnas di tiap-tiap daerah. Baru terakhir memikirkan pembiayaan yang tepat.

Jehansyah menekankan pemerintah jangan jadi tukang kutip uang rakyat saja. Bicara perumahan, pinggirkan dulu kutip mengutip uang, housing dulu baru finance.

Selain harus jelas, Jehansyah mempertanyakan pengalaman Tapera pembangunan rumah dan pengembangan kawasan. "Ini kan nol besar semua, tiba-tiba bicara tabungan," tuturnya.

Kalaupun pemerintah berniat untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog di Jakarta – jalan keluar yang seharusnya dilakukan adalah membangun hunian terjangkau berupa hunian Transit Oriented Development (TOD) seperti apartemen sewa murah yang dekat dengan transportasi publik. Namun, faktanya hunian TOD di kota besar seperti Jakarta mayoritas dikuasai oleh pengembang swasta.

"Pembiayaan Tapera yang mengutip uang dari masyarakat atas nama 'gotong royong' bisa disebut sebagai penipuan. Sebab bagaimanapun, kewajiban menyediakan rumah bagi warga menjadi tanggung jawab pemerintah bukan rakyat," tegasnya.

Kewajiban itu tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, di mana bumi dapat diartikan tanah yang sedianya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pemerintah bisa belajar dari Singapura yang berhasil menyediakan perumahan untuk pekerjanya. Tercatat 80 persen proyek hunian di Singapuran dikuasai oleh pemerintah setempat. 

"Rakyat sudah berbuat untuk negara dengan membayar pajak. Kalau mengutip lagi, penipuan namanya. BPJS saja bisa kok membuat program rusunawa pekerja, tidak dikorup dan jauh lebih bagus," pungkas Jehansyah.

Topik:

Tapera BP Tapera