Banggar DPR Usulkan Target Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Tahun 2025 Sebesar 5,4 Persen

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 16 Agustus 2024 4 jam yang lalu
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah (Foto: Ist)
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah, mengusulkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025 agar dapat lebih tinggi lagi, yakni sebesar 5,4 persen.

Menurutnya, angka tersebut merupakan angka yang moderat dan mampu menjadi modal Indonesia untuk mengembalikan angka pertumbuhan yang tinggi seperti di masa lalu.

"Pada pembahasan dengan Banggar DPR nanti, saya berharap pemerintah setuju target pertumbuhan tahun depan minimal 5,4 persen," kata Said di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/82024). 

"Sebab itu angka moderat, dan menjadi modal kita tahap setahap mengembalikan angka pertumbuhan tinggi seperti masa lalu, kita pernah tumbuh 6-7 persen, seperti yang diharapkan Presiden (terpilih) Prabowo Subianto," lanjutnya. 

Dalam penyampaian pidato Nota Keuangan untuk RAPBN 2025, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan asumsi ekonomi makro; target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, inflasi 2,5 persen, suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun 7,1 persen, nilai tukar rupiah Rp16.100 per dolar AS.

Selain itu, Pemerintah menargetkan harga minyak mentah Indonesia 82 dolar AS per barel, lifting minyak bumi 600 ribu barel per hari, dan lifting gas 1.005 juta barel setara minyak per hari.

Dalam tanggapannya, Said optimis terhadap sasaran ekonomi tersebut. Ia memproyeksikan bank sentral AS atau The Fed akan menurunkan suku bunga, sehingga nilai tukar rupiah bisa dipatok lebih rendah.

"Saya berharap bauran kebijakan pembayaran valas juga bisa lebih beragam, sehingga ketergantungan terhadap dolar AS bisa kita kurangi. Dengan demikian kurs bisa lebih rendah di level Rp.15.900- 16.000 per dolar AS," ujarnya.

Demikian halnya dengan suku bunga SBN bisa didorong lebih rendah, sebab ia menilai Indonesia telah menghadapi beban bunga utang yang semakin tinggi, dan tertinggi di ASEAN. Menurutnya, secara ideal suku bunga SBN bisa di level 6,7 persen.

Lebih lanjut dari sisi kebijakan fiskal, Said menyampaikan, bahwa Pemerintah hendaknya lebih fokus pada berbagai program yang lebih urgen di tengah kondisi fiskal yang terbatas.

Beberapa agenda kebijakan strategis yang perlu di topang oleh kebijakan fiskal tahun depan.

Yang pertama, program kemandirian pangan. Sejak 2014 sampai 2023 jumlah kumulatif impor beras nasional mencapai 8,95 juta ton beras.

Ia merinci kalau kita hitung, 2019-2023 nilai impor beras nasional mencapai 1,95 miliar dolar AS. Begitu juga dalam hal impor gula. Tahun lalu, impor gula mencapai 5,07 juta ton dengan nilai 2,88 miliar dolar AS.

Pada 2023 lalu, ekspor hasil pertanian Indonesia tercatat 6,5 miliar dolar AS sedangkan nilai impornya mencapai 11,59 miliar dolar AS sehingga defisit impor hasil pertanian mencapai 5,0 miliar dolar AS.

"Kita perlu program kemandirian pangan yang lebih fokus, yakni mendorong pangan pokok agar tidak bertumpu pada beras, sebab kita memiliki keanekaragaman pangan pokok yang beragam; umbi, sagu, dan sorgum," jelasnya.

Kedua, program kemandirian energi. Said menjelaskan, sejak konversi program minyak tanah ke LPG, kebutuhan impor LPG terus meningkat.

Dalam jangka pendek, transformasi energi yang bersandar ke minyak bumi termasuk LPG harus di geser ke listrik, sebab kita memiliki produksi listrik yang besar, dan di topang oleh suplai batubara yang memadai.

Namun kebijakan energi tidak boleh terhenti di listrik, sebab transformasi pembangkit listrik PLN tidak boleh hanya bertumpu pada PLTU.

"Oleh sebab itu, bauran kebijakan energi baru dan terbarukan ke depan harus lebih progresif. Pada tahun 2015 bauran energi terbarukan masih 4,9 persen, di tahun 2022 bauran energi terbarukan mencapai 12,3 persen, meskipun tumbuh baik, namun butuh lompatan yang lebih besar, karena itu dibutuhkan kebijakan afirmasi," jelasnya.

Ketiga, peningkatan sumber daya manusia (SDM). Tenaga kerja di Indonesia yang bekerja saat ini berjumlah 142,1 juta, namun 54,6 persen diantaranya lulusan SMP ke bawah.

Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja kita terserap di sektor informal. Dengan demikian, kita belum mendapatkan manfaat maksimal dari bonus demografi.

Kemudian keempat, infrastruktur. Said melanjutkan, kebijakan fiskal harus mendorong penguatan program infrastruktur, terutama infrastruktur yang menopang ketiga program sebelumnya.

"Dengan demikian belanja infrastruktur bisa lebih fokus, apalagi kita tidak memiliki ruang fiskal yang longgar karena tergerus berbagai kewajiban mandatori, subsidi, dan kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang," demikian Said.

Berita Terkait