Pemberian Dana CSR ke Komisi XI DPR Termasuk Suap! Independensi BI Dipertanyakan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 14 Januari 2025 14:15 WIB
Logo Bank Indonesia (BI) (Foto: Dok MI/Aswan)
Logo Bank Indonesia (BI) (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate sosial responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) periode 2022-2023 belakangan menjadi perhatian usai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyelidikan dugaan korupsi. 

Kasus ini tengah disidik KPK dengan masih menggunakan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Umum yang artinya belum ada tersangka.

Teranyar, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) Satori, mengungkapkan seluruh anggota Komisi XI menerima dana CSR dari BI dan OJK pada periode 2022-2023. Pernyataan tersebut disampaikan Satori usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus itu.

Pemberian dana CSR kepada Anggota Komisi XI DPR RI itu pun termasuk kategori dugaan tindak pidana korupsi, menurut Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

Mengutip opini terbukanya yang masuk ke dapur Redaksi Monitorindonesia.com, Selasa (14/1/2025), ekonom itu menjelaskan bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, termasuk DPR. 

Dia menegaskan, Bank Indonesia wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka melaksanakan tugasnya.

Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur, terdiri dari seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior, dan empat sampai tujuh orang Deputi Gubernur.

"Sebagai lembaga independen, Bank Indonesia harus bebas dari politik. Karena itu, Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak boleh menjadi pengurus atau anggota partai politik, untuk menjaga Bank Indonesia dari intervensi partai politik dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya," beber Anthony.

Setelah reformasi 1998, Bank Indonesia ditugasi hanya untuk satu tujuan, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, seperti tertuang di Pasal 7 UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai tugas yakni menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dan mengatur dan mengawasi Bank.

Selain tujuan dan tugas tersebut di atas, Bank Indonesia tidak mempunyai tugas lain, termasuk tugas untuk melaksanakan Program Sosial Bank Indonesia, atau CSR.

Karena itu, kata dia, penggunaan dana Bank Indonesia untuk CSR melanggar UU No 23/1999 tentang BI, karena di luar tugas dan wewenang Bank Indonesia yang diberikan UU.

"Karena itu, penggunaan dana BI untuk CSR, yang diberikan kepada anggota Komisi XI DPR, untuk aktivitas di daerah pemilihan (Dapil) anggota DPR tersebut, jelas melanggar UU tentang BI, dan masuk kategori penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan keuangan negara, dan masuk tindak pidana korupsi," jelas Anthony.

Dia menegaskan kembali, bahwa pemberian dana CSR BI kepada anggota Komisi XI DPR, yang menjadi mitra kerja Bank Indonesia, masuk kategori suap. 

"Karena pemberian dana CSR BI tersebut bersifat diskriminatif, hanya untuk anggota Komisi XI DPR, sehingga membuat fungsi pengawasan Komisi XI DPR terhadap Bank Indonesia menjadi bias dan tidak efektif," tututnya.

Di samping itu, ungkap dia, dana CSR BI untuk membiayai aktivitas anggota DPR di Dapil juga masuk kategori dana politik, sehingga melanggar independensi Bank Indonesia yang mewajibkan semua pejabat Bank Indonesia tidak boleh terlibat dalam aktivitas politik dalam bentuk apapun.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan (Foto: Dok MI/Priibadi)

Sebelumnya, tahun 2010, DPR pernah mengusulkan agar pemerintah mengalokasikan dana APBN sebesar Rp15 miliar kepada setiap anggota DPR, untuk Program Percepatan Pembangunan di Daerah Pemilihan, atau dikenal dengan Dana Aspirasi.

Usulan tersebut ditolak Presiden SBY ketika itu, dengan alasan, Dana Aspirasi dianggap menyamakan kewenangan eksekutif dan legislatif, sehingga melanggar konstitusi.

Saat itu, SBY menyarankan, DPR sebaiknya fokus pada fungsi konstitusinya sebagai pengawas pemerintah, bukan bertindak seperti eksekutif, dengan membuat program pembangunan di Dapil.

Dana Aspirasi, atau Constituency Development Fund (CDF), secara substansi bisa masuk kategori money politics. Karena digunakan untuk mendapatkan dukungan politik dari konstituennya di daerah pemilihan, untuk memenangkan pemilu selanjutnya.

Oleh karena itu, Dana CSR BI yang diberikan kepada anggota Komisi XI DPR untuk aktivitas di Dapil pada prinsipnya sama dengan Dana Aspirasi.

KPK bisa apa?

KPK nampaknya sudah mencium aroma tidak sedap seputar dana CSR BI, yang diduga mengalir ke sejumlah anggota DPR. KPK akhirnya menggeledah kantor Bank Indonesia, termasuk ruang kerja Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pada 16 Desember 2024.

Setelah penggeledahan, KPK mengumumkan ada dua tersangka, yang kemudian diralat dengan alasan yang sangat tidak profesional. 

KPK mengatakan dua orang tersangka yang disebut sebelumnya bukan tersangka kasus dana CSR BI, tetapi kasus korupsi lain. Dalam hal ini, KPK terindikasi telah membohongi publik, dan melindungi koruptor.

Tidak lama kemudian, KPK memeriksa dua orang saksi dari Komisi XI DPR, Satori dan Heri Gunawan. Satori mengaku, bahwa yang bersangkutan memang menerima dana CSR BI, digunakan untuk aktivitas di Dapil. 

Satori juga mengatakan, bukan hanya dirinya saja yang menerima dana CSR BI, tetapi seluruh anggota Komisi XI DPR.

Pengakuan Satori menunjukkan fakta tidak terbantahkan, telah terjadi penyelewengan dana CSR BI, untuk kepentingan politik, merugikan keuangan negara dan masuk delik tindak pidana korupsi.

"Untuk itu, masyarakat menuntut, KPK wajib melaksanakan tugasnya secara profesional, menegakkan hukum seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku," tukas Anthony.

Di sisi lain, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan selama ini memiliki sistem dan tata kelola yang kuat untuk penyaluran dana CSR. Setidaknya, dia mengklaim, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebuah yayasan untuk mendapatkan dana sosial dari BI.

"CSR diberikan hanya kepada yayasan sah; ada program kerja yang konkret; ada pengecekan [oleh BI]; dan ada laporan pertanggungjawaban oleh yayasan," kata Perry dalam konferensi pers, Rabu (18/12/2024).

Namun demikian, menurut pakar hukum pidana Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf, pernyataan Perry itu belum cukup bagi KPK. Maka perlunya diperiksa penyidik lembaga anti rasuah itu.

Hudi meminta penyidik KPK menggali informasi terkait alasan Perry mengeluarkan kebijakan Program Sosial Bank Indonesia (PSBI/CSRBI). 

Senada dengan Anthony, Hudi menyebut BI tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan dana CSR karena bukan lembaga nirlaba dan hanya memiliki kewenangan di bidang kebijakan moneter.

"Pemanggilan Perry bisa dilakukan. Harus dicari tahu tuh, kewenangan dia mengeluarkan CSR dan suruh jelasin ke KPK dasarnya apa. Dalam undang-undang enggak ada BI mengeluarkan dana CSR karena bukan BUMN," kata Hudi kepada Monitorindonesia.com, Minggu kemarin.

Hudi Yusuf
Pakar hukum piadana UBK, Hudi Yusuf (Foto: Dok MI)

Pemeriksaan kasus dana CSR BI tidak boleh berhenti pada Heri Gunawan dari Gerindra dan Satori dari Nasdem saja. Hudi menegaskan, bahwa keterangan Satori yang mengatakan Anggota  DPR Komisi XI (2019-2024) lainnya harus didalami penyidik KPK. "Makanya itu harus diperiksa yang terima yang mengeluarkan kewenangan," tegasnya.

Hudi menambahkan, pihak yayasan yang diduga terafiliasi dengan oknum anggota DPR diduga sebagai penerima dana CSR tersebut juga harus diperiksa. "Bisa dipanggil itu. Dari mana tuh sumber uang yayasan-yayasan itu," katanya.

Meski begitu, menurut Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, pemanggilan Perry akan dilakukan berdasarkan kebutuhan penyidik untuk melengkapi penanganan kasus tersebut.

"Ini semua bergantung kepada kebutuhan penyidikan oleh penyidik. Rencana penyidikan yang dibuat tentunya akan menyasar kebutuhan pemenuhan unsur tindak pidana yang sedang ditangani," kata Tessa.

Perry pasti akan dipanggil karena kasus ini menyeret institusi yang dipimpinnya. Namun, ia belum memastikan kapan Perry akan dipanggil oleh penyidik.

"Jadi, siapa pun yang menurut penyidik memiliki keterkaitan, baik itu dari sisi jabatan, pengetahuan, maupun hal-hal lain yang relevan dengan alat bukti yang telah disita oleh penyidik, akan dipanggil untuk dimintai keterangan," jelasnya.

Pada penggeledahan di Kantor Pusat Bank Indonesia (BI) di kawasan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024) malam, salah satu ruangan yang digeledah adalah ruang kerja Perry Warjiyo. Penyidik menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik dari ruangan tersebut.

Anggaran CSR BI

Anggaran CSR masuk dalam Rencana Anggaran Operasional Bank Indonesia yang disetujui oleh DPR melalui Komisi XI dalam rapat kerja bersama Gubernur BI.

Kendati demikian, anggaran PSBI yang disetujui dalam rapat kerja tersebut juga tercampur dengan program lain. Sehingga tidak terdapat penjelasan lengkap berapa anggaran untuk satu program tersebut.

Berdasarkan Laporan Singkat Komisi XI yang diunggah di situs resmi DPR tentang Rencana Anggaran Operasional BI Tahun 2022, total rencana anggaran pengeluaran operasional BI 2022 adalah Rp14,29 triliun.

Sementara, anggaran CSR dan pemberdayaan sektor riil dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Rp1,13 triliun. Dengan kata lain, angka tersebut merupakan 7,91% dari total rencana anggaran pengeluaran operasional BI 2022.

Pada 2023, berdasarkan rapat kerja antara Komisi XI dan Gubernur BI Perry Warjiyo yang disiarkan secara virtual, total rencana anggaran pengeluaran operasional Bank Indonesia 2023 adalah Rp15,49 triliun.

Sementara, anggaran PSBI dan pemberdayaan sektor riil dan UMKM Rp1,23 triliun. Dengan kata lain, angka tersebut merupakan 7,94% dari total rencana anggaran pengeluaran operasional Bank Indonesia 2022.

Gubernur BI Perry
Gubernur BI, Perry Warjiyo (Foto: Dok MI)

Selain itu, anggaran PSBI dan pemberdayaan sektor riil dan UMKM pada 2023 juga mengalami peningkatan 8,85% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Rincian rencana anggaran operasional BI pada 2022 yakni Gaji dan penghasilan lainnya Rp4,27 triliun; Manajemen sumber daya manusia Rp3,4 triliun; Logistik Rp1,96 triliun; Penyelenggaraan operasional kegiatan pendukung Rp1,96 triliun; Program sosial BI dan pemberdayaan sektor riil dan UMKM Rp1,13 triliun; Pajak Rp1,2 triliun; Cadangan anggaran Rp348,61 miliar

Sementara rincian rencana anggaran operasional BI pada 2023 yakni Gaji dan penghasilan lainnya Rp4,7 triliun; Manajemen sumber daya manusia Rp3 triliun; Logistik Rp2,54 triliun; Penyelenggaraan operasional kegiatan pendukung Rp2,06 triliun; Program sosial BI dan pemberdayaan sektor riil dan UMKM Rp1,23 triliun; Pajak Rp1,47 triliun; dan Cadangan anggaran Rp377,99 miliar. (wan)

Topik:

KPK CSR BI Bank Indonesia Komisi XI DPR OJK DPR