Ekonomi Indonesia Rentan Terempas, Tak Punya Fondasi yang Kuat

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 8 Mei 2025 17:04 WIB
Ekonomi Indonesia Dinilai Belum Memiliki Fondasi yang Kuat (Foto: Ist)
Ekonomi Indonesia Dinilai Belum Memiliki Fondasi yang Kuat (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Ekonomi Indonesia dinilai belum memiliki fondasi yang kuat, sehingga sulit memanfaatkan peluang saat momentum pertumbuhan muncul. 

Hal ini disampaikan Lembaga kajian ekonomi INDEF. Potret lemahnya fondasi ekonomi nasional salah satunya terlihat dari menurunnya kelas menengah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, kelas menengah turun signifikan, dari 57,33 juta jiwa (21,45% dari total penduduk) pada 2019 menjadi 47,85 juta (17,13%) pada 2024. Padahal, kelompok ini memiliki peran penting dalam kinerja pembangunan ekonomi. 

Dalam kajian INDEF, kelas menengah juga memainkan peran sosial-politik penting, memengaruhi governansi, kualitas kebijakan, dan pertumbuhan ekonomi.

Secara klasifikasi, kelas menengah diketahui lewat beberapa indikator, yakni tingkat pendapatan atau konsumsi, tolok ukur global, perilaku atau persepsi, dan/atau ketahanan-keamanan ekonominya.

Jika dilihat dari segi pengeluaran, misalnya pada 2024, yang tergolong kelas menengah adalah mereka yang tingkat pengeluarannya 2-9,9 juta rupiah per bulan. Sedangkan untuk kelompok menuju kelas menengah, pengeluarannya 874 ribu- 2 juta rupiah per bulan. Data ini diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024.

Kondisi Sebaliknya

Sebaliknya, ketika perekonomian menghadapi gejolak, gempuran, atau ketidakpastian, Indonesia justru mudah terhempas dan kehilangan momentum.

Hal ini disampaikan oleh Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menanggapi sinyal melemahnya pertumbuhan ekonomi nasional.

Ia menjelaskan, sinyal perlambatan ekonomi tersebut sudah sesuai dugaan. Oleh karena itu, jika dilihat dari tren pertumbuhannya, ekonomi Indonesia sangat sulit untuk naik jauh di atas 5 persen.

“Maka dari itu apa harusnya resep kebijakan pemerintah dan bagaimana kita semua dari sisi pelaku usaha, masyarakat, dan lainnya turut mengambil peranan seperti itu. Jadi ekonomi kita sudah terlihat jelas bahwa trennya itu terus turun,” ujarnya saat diskusi daring di kanal YouTube INDEF, Selasa, (6/5/2025).

Fundamental Cukup Rapuh

Ahmad menilai perlambatan ekonomi saat ini menunjukkan fundamental cukup rapuh dan tidak optimalnya fungsi program dan keputusan yang kini dijalankan.

Menurutnya, ketidaktepatan arah kebijakan disebabkan oleh kemampuan pemerintah yang masih lemah dalam membaca situasi, memprediksi dinamika ke depan, dan merespons secara cepat dan tepat.

Ia menyimpulkan bahwa perlambatan ekonomi di triwulan pertama 2025 adalah dampak gabungan dari gejolak ekonomi global, ketidakpastian global, dan kurangnya respons tepat pemerintah menghadapi situasi tersebut.

Selain itu, Ia juga menyatakan, beberapa fungsi stimulus ekonomi telah hilang, salah satunya karena dampak pemangkasan anggaran. Kata dia, fungsi stimulus ekonomi pemerintah sudah beralih dari semula berupa belanja, menjadi investasi.

“Memang kalau pemerintah menyebut tidak ada pemangkasan, yang ada hanya alokasi dari yang tadinya belanja yang dipotong hingga 300 triliun itu, kemudian dialihkan untuk investasi, katakanlah melalui Danantara, tetapi biar bagaimanapun dampaknya itu berbeda,” bebernya.

Padahal, dampaknya jelas sangat berbeda, karena investasi tak bisa langsung dirasakan efeknya. Ahmad menekankan, saat ini Indonesia butuh stimulus untuk menahan gempuran ekonomi.

“Kita berharap stimulus kalau sedang tertekan, itu tidak ada. Bahkan program makan gratis saja belum berdampak terhadap peningkatan konsumsi secara agregat,” ungkapnya.

Ekonomi Indonesia Menurun

Ekonomi Indonesia sebelumnya tumbuh 4,87 persen (y on y) pada triwulan pertama 2025. Angka ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2024, yakni 5,11 persen, maupun kuartal sebelumnya yakni kuartal empat 2024 yang sebesar 5,02 persen.

Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2025 juga terendah sejak 2021. Pada kuartal ketiga 2021, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3,53 persen. Setelahnya, Indonesia tumbuh di kisaran 4 hingga 5 persen. Namun, lebih sering di atas 5 persen.

Meski lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar memastikan bahwa tren pertumbuhan ekonomi masih terjaga, berkat kontribusi sejumlah sektor utama.

“Ekonomi Indonesia pada triwulan I-2025 tumbuh sebesar 4,87 persen, yang ditopang oleh sektor pertanian yang tumbuh double digit, industri makanan dan minuman yang tetap solid, serta sektor transportasi. Selain itu, Ramadan dan Idulfitri juga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi,” tutur Amalia pada Konferensi Pers, Senin, (6/5/2025).

Amalia menyampaikan, dari sisi produksi, penyumbang utama pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 adalah pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan. Sektor pertanian mencatat pertumbuhan tertinggi beberapa tahun terakhir, yaitu 10,52 persen. Kondisi itu berbanding terbalik dibandingkan triwulan sama pada tahun sebelumnya yang menurun 3,54 persen.

“Kinerja positif sektor pertanian tahun ini didorong oleh adanya peningkatan produksi padi dan jagung sebesar 51,45 persen dan 39,02 persen sepanjang triwulan 1-2025 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, serta meningkatnya permintaan domestik,” terangnya.

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Dikoreksi Turun

Sejumlah lembaga internasional melakukan revisi terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Salah satunya adalah Bank Dunia (World Bank), yang menurunkan prediksi pertumbuhan pada 2025 menjadi 4,7 persen, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang berada di angka 5 persen.

Revisi tersebut tertuang dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025. Pemangkasan dilakukan lantaran ketidakpastian kebijakan perdagangan global dan penurunan harga komoditas. Kondisi tersebut dinilai berdampak terhadap kepercayaan investor dan kinerja perdagangan Indonesia.

Selain Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) juga merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam laporan World Economic Outlook April 2025, IMF memangkas estimasi pertumbuhan dari semula 5,1 persen menjadi 4,7 persen untuk tahun yang sama.

Sementara di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 4,7-5,5%. Penurunan itu dipengaruhi dampak langsung tarif AS yang berdampak pada menurunnya ekspor ke Negeri Paman Sam. Lalu, ada dampak tidak langsung penurunan permintaan ekspor dari mitra dagang lain Indonesia, terutama Tiongkok.

Momentum Evaluasi

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman mendorong pemerintah menjadikan pertumbuhan ekonomi kuartal I refleksi untuk mengevaluasi efektivitas berbagai kebijakan stimulus ekonomi. arah belanja negara, dan perbaikan permintaan domestik.

Kata dia, kontraksi saat ini menunjukkan ekonomi nasional sedang kehilangan momentum dari kebijakan ekonomi yang diterapkan. Kondisi ini diperburuk terjadinya tekanan global.

“Inilah yang kemudian menjadi tantangan pemerintah untuk menjawab, meskipun katakanlah pertumbuhan nominal itu cukup besar atau naik, ini akibatnya bukan dari pertambahan produktivitas ekonomi, tetapi dari sisi harga, efek harga yang naik. Untuk itu maka menjadi penting, tidak hanya angka, tetapi juga kualitas,” tandasnya, saat diskusi daring di kanal YouTube INDEF, Selasa, (6/5/2025).

Menurut Rizal, faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu konsumsi dan investasi, belum mengalami pemulihan yang signifikan. Sementara itu, belanja pemerintah yang seharusnya menjadi penopang darurat, justru tertahan.

Di sisi lain, ekspor juga tidak sekuat tahun lalu, disebabkan oleh harga komoditas yang lebih rendah, serta pelemahan permintaan global. Selain itu, impor juga merosot tajam, bisa menjadi sinyal serius kapasitas produksi dan ekspansi industri dalam negeri sedang turun.

“Struktur pengeluaran PDB Indonesia ini memperlihatkan kerentahanan yang cukup serius. Rumah tangga melemah, bayangkan biasanya di triwulan pertama ini selalu, ya, ada musiman Ramadan dan juga Idulfitri itu cukup signifikan. Ternyata konsumsi rumah tangga malah melemah. Bayangkan kalau tidak ada momentum itu mungkin jauh lebih rendah lagi,” jelasnya.

Rekomendasi jangka pendek dari Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman:

1. Dari Aspek Pertumbuhan

Mempercepat realisasi belanja fiskal sejak awal tahun. Meskipun terjadi efisiensi, pemerintah harus mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi yang bisa memperbaiki kinerja tidak hanya konsumsi, tetapi juga produktivitas, revisi target pertumbuhan berbasis kapasitas struktur, transformasi ekonomi, transformasi sektoral, stimulus fiskal yang terukur. Dampak yang diharapkan dari hal-hal tersebut adalah menjaga keseimbangan pertumbuhan, dan memperkuat ketahanan ekonomi terhadap guncangan internal maupun efektivitas dari kebijakan internal.

2. Dari Aspek Produksi

Perlu ada dorongan realisasi berbasis pada pasar global, mengembangkan industri yang bernilai dan berdaya saing tinggi, modernisasi di sektor pertanian yang berkelanjutan. Ia berharap, dengan ditopang huluisasi di sektor pertanian, produktivitas sektoral dapat menciptakan pertumbuhan inklusif.

3. Dari Aspek Pengeluaran

Pemerintah mesti memperkuat daya beli kelas menengah ke bawah, aktifkan program-program pemerintah yang bersifat konsumsi dan harus tepat sasaran dengan menggunakan data sosial ekonomi BPS, serta memulihkan iklim investasi nasional. Harapannya kebijakan tersebut bisa meningkatkan permintaan dan juga mendorong keberlanjutan investasi yang produktif, membuka serta menyerap tenaga kerja, hingga mendorong konsumsi dan daya beli masyarakat.

4 .Aspek Ketimpangan Wilayah

Diversifikasi ekonomi berbasis potensi lokal yang fundamental (tidak hanya basis pada angka, tetapi juga pemerataan), pembangunan konektivitas logistik, dan digital antarwilayah untuk mempercepat biaya, angkutan, serta. Selain itu pemerintah didorong melakukan transfer fiskal berbasis output daerah untuk sektor-sektor produktif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Topik:

ekonomi-indonesia lemahnya-fondasi-ekonomi indef