Gejolak Ekonomi Global Bisa Hambat Transisi Energi


Jakarta, MI - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengaku khawatir akan dampak gejolak perekonomian global yang dapat menghambat transisi energi yang tengah dijalankan.
Dalam sebuah diskusi dengan Rachel Kyte, Perwakilan Khusus Inggris untuk Iklim, Sri Mulyani menekankan bahwa perubahan iklim dan transisi energi menjadi semakin kompleks di tengah dinamika ekonomi global saat ini.
Gangguan pada rantai pasok, menurutnya, telah memperlambat upaya-upaya untuk beralih ke energi terbarukan.
“Jika negara kehilangan investasi terhadap green energy karena kondisi ekonomi yang lemah, artinya proses transisi energi juga akan melambat dan penggunaan energi tak terbarukan seperti batu bara akan semakin panjang, sementara dampak perubahan iklim sendiri tidak terhindarkan,” tutur Sri Mulyani, dikutip dari akun Instagram @smindrawati di Jakarta, Minggu (11/5/2025).
Oleh karena itu, Sri Mulyani menekankan bahwa masalah tersebut merupakan urgensi yang harus segera diatasi.
Kementerian Keuangan mencatat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah menggelontorkan dana untuk aksi iklim sebesar Rp610,12 triliun sepanjang 2016 hingga 2023.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Boby Wahyu Hernawan merinci realisasi pendanaan APBN untuk iklim secara rata-rata sebesar Rp76,3 triliun per tahun atau 3,2 persen dari APBN.
“Secara kumulatif, totalnya mencapai Rp610,12 triliun. Ini baru mencakup 12,3 persen dari kebutuhan pembiayaan iklim hingga 2030,” jelas Boby.
Pemerintah terus berupaya memaksimalkan pembiayaan publik dan mendorong partisipasi sektor swasta.
Dari pihak pemerintah, Kementerian Keuangan telah menyediakan berbagai insentif pajak, termasuk untuk sektor pembangkit listrik terbarukan dan kendaraan listrik.
Sejak 2019 hingga 2024, pemerintah telah memberikan insentif fiskal sebesar Rp38,8 triliun untuk sektor-sektor terkait iklim, yang diperkirakan mencapai Rp51,5 triliun hingga akhir 2025.
Selain itu, pemerintah juga menyusun skema pembiayaan inovatif seperti green sukuk, SDG bonds, dan penerapan taksonomi keuangan berkelanjutan. Di luar APBN, pemerintah menerapkan blended finance yang mencampur pembiayaan antara publik dan swasta.
Di sisi sektor swasta, pemerintah mengimbau para pelaku usaha untuk proaktif mengurangi emisi karbon, menerapkan praktik berkelanjutan dan berinovasi dalam teknologi ramah lingkungan, termasuk efisiensi energi, ekonomi sirkular, dan pelaporan jejak karbon produk.
Pemerintah juga mendorong pelaku usaha untuk melakukan climate budget tagging serta mendukung implementasi kebijakan nilai ekonomi karbon, yang kini dapat diakses baik untuk pasar domestik maupun internasional.
Topik:
perubahan-iklim transisi-energi sri-mulyani ekonomi-global