Industri Tekstil Kian Terpuruk: 5 Pabrik Tutup Sepanjang 2025

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 30 November 2025 16:31 WIB
Industri Tekstil Kian Terpuruk (Foto: Ist)
Industri Tekstil Kian Terpuruk (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Kondisi industri tekstil nasional kembali menjadi sorotan. Para pengusaha menyebut sektor hulu saat ini mengalami tekanan berat hingga menyebabkan penurunan produksi yang cukup tajam. Sepanjang 2025, tercatat ada lima pabrik tekstil yang terpaksa menghentikan operasi bahkan menutup usahanya.

Situasi ini memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diperkirakan mencapai sekitar 3.000 karyawan. Para pelaku industri menilai fenomena tersebut sebagai tanda kuat bahwa deindustrialisasi di sektor tekstil tengah berlangsung nyata di Indonesia.

Adapun lima perusahaan tekstil yang menghentikan operasionalnya sepanjang tahun ini meliputi:

  1. PT Polychem Indonesia yang memproduksi tekstil di Karawang dan Tangerang
  2. PT Asia Pacific Fibers yang memproduksi serat polyester di Karawang
  3. PT Rayon Utama Makmur yang merupakan bagian Sritex Group yang memproduksi serat rayon
  4. PT Susilia Indah Synthetics Fiber Industries (Sulindafin) yang memproduksi serat & benang polyester di Tangerang

"Tutupnya 5 perusahaan tersebut disebabkan kerugian serius akibat penjualan yang tidak maksimal di pasar domestik. Banjirnya produk impor dengan harga dumping berupa kain dan benang jadi faktor utama tutupnya perusahaan ini," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil Syauqi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/11/2025).

"Saat ini, 6 pabrik lainnya, lini produksi sudah di bawah 50%, bahkan sudah ada yang on-off. 5 mesin polimerisasi sudah setop, tidak produksi lagi," sambungnya.

Farhan memperingatkan bahwa penutupan pabrik tekstil bisa terus berlanjut pada 2026 apabila pemerintah tidak mampu mengendalikan situasi dan memberikan transparansi mengenai pihak-pihak yang menerima kuota impor terbesar, yang dinilai menjadi pemicu membanjirnya produk impor di pasar domestik. 

Menurutnya, pemerintah sebenarnya memiliki akses penuh terhadap data tersebut karena setiap barang masuk melalui pelabuhan besar tercatat dalam sistem bea cukai.

"Data itu mudah untuk didapatkan bagi pemerintah. Ini kami tinggal tunggu actionnya saja. Karena jika tidak ada tindakan korektif, 6 perusahaan lainnya akan menyusul bangkrut karena tidak bisa menjual produknya dipasar domestik. Selain itu, anggota kami tidak bisa menentukan rencana produksi ditahun depan karena tidak ada transparansi kouta impor yang diberikan pemerintah. Deindustrialisasi benar-benar terjadi," jelasnya.

Ia juga mengapresiasi langkah Kementerian Keuangan yang berkomitmen menekan maraknya impor ilegal. Menurutnya, penyelidikan terhadap impor barang thrifting dapat membuka praktik kecurangan dalam tata niaga impor.

"Dalam impor thrifthing itu bisa ketahuan siapa pengimpornya hingga backing-nya. Penegak hukum juga bisa didalami siapa menyebabkan kerugian negara, kami meyakini bahwa birokrat yang terlibat sama-sama saja dan sudah terafiliasi dengan matang," pungkasnya.

Topik:

pabrik-tekstil phk produk-impor