124 Orang Tewas Akibat Suhu Dingin Ekstrem di Afghanistan

Rekha Anstarida
Rekha Anstarida
Diperbarui 25 Januari 2023 11:37 WIB
Jakarta, MI - Setidaknya 124 orang tewas akibat suhu beku di Afghanistan dalam dua minggu terakhir. Sekitar 70.000 ternak juga mati dalam musim dingin terdingin dalam satu dekade, kata juru bicara Kementerian Negara Penanggulangan Bencana. Banyak lembaga bantuan menangguhkan operasi dalam beberapa pekan terakhir setelah Taliban melarang perempuan Afghanistan bekerja untuk organisasi non-pemerintah. Seorang menteri Taliban mengatakan meskipun ada kematian, dekrit itu tidak akan diubah. Dilansir dari BBC, Rabu (25/1), Penjabat Menteri Penanggulangan Bencana Mullah Mohammad Abbas Akhund mengatakan, bahwa banyak wilayah di Afghanistan sekarang benar-benar tertutup salju. Helikopter militer telah dikirim untuk menyelamatkan, tetapi mereka tidak bisa mendarat di daerah yang paling bergunung-gunung. Penjabat menteri mengatakan perkiraan untuk 10 hari ke depan menunjukkan suhu akan menghangat. Tapi dia masih khawatir tentang meningkatnya jumlah kematian orang dan ternak. “Sebagian besar orang yang kehilangan nyawa karena kedinginan adalah penggembala atau orang yang tinggal di daerah pedesaan. Mereka tidak memiliki akses ke perawatan kesehatan,” kata Mullah Akhund. "Kami prihatin dengan mereka yang masih tinggal di kawasan pegunungan. Sebagian besar jalan yang melewati pegunungan ditutup karena salju. Mobil macet di sana dan penumpang tewas dalam suhu yang membekukan," tambahnya. Musim dingin selalu kejam di Afghanistan, tetapi ini adalah cuaca terburuk dalam satu dekade. Dan operasi bantuan tahun ini terhambat oleh dekrit pemerintah Taliban bulan lalu yang melarang perempuan Afghanistan bekerja di lembaga bantuan. Tapi Mullah Akhund mengatakan bahwa dekrit ini tidak dapat dicabut. Komunitas internasional, tegasnya, harus menerima budaya Islam Afghanistan. "Laki-laki sudah bekerja sama dengan kami dalam upaya penyelamatan dan perempuan tidak perlu bekerja sama dengan kami. Laki-laki dari setiap keluarga sudah berpartisipasi dalam upaya penyelamatan, jadi perempuan tidak perlu," katanya kepada BBC. Pejabat bantuan, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, sedang berusaha mencari cara untuk mengatasi larangan ini.