Amicus Curiae di Penghujung Sidang MK Corak Intervensi Peradilan

Tim Redaksi
Tim Redaksi
Diperbarui 18 April 2024 05:23 WIB
Pakar hukum tata negara, Fahri Bachmid (Foto: Dok MI/Ist)
Pakar hukum tata negara, Fahri Bachmid (Foto: Dok MI/Ist)

Jakarta, MI - Pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid menilai amicus curiae alias sahabat pengadilan di penghujung sidang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai corak intervensi peradilan.

"Terkait dengan kejadian beberapa pihak mencoba untuk mengusulkan diri sebagai amicus curiae di penghujung sidang, saat majelis pengadil MK telah melakukan rapat permusyawaratan pengadil (RPH) adalah corak lain dari sikap intervensi pada lembaga peradilan MK, yang dibingkai dalam format norma amicus curiae," kata Fahri Bachmid, Kamis (18/4/2024).

Secara terminologi norma dan praktik lembaga peradilan umum, kata dia, friends of the court alias sahabat pengadilan, dari aspek kegunaan sejatinya adalah amicus curiae, sebagai pihak alias elemen yang merasa berkepentingan pada suatu perkara yang sedang diperiksa dan memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.

Keterlibatan pihak alias elemen yang berkepentingan dalam sebuah perkara tersebut, menurut dia, hanya sebatas memberikan opini.

Praktik penggunaan pranata amicus curiae secara generik, lanjut dia, biasanya pada negara-negara yang menggunakan sistem common law. Sementara itu, tidak terlalu umum pada negara-negara dengan civil law system, termasuk Indonesia. "Akan tetapi, pada hakikatnya praktik seperti itu tidak dilarang jika digunakan dalam sistem norma nasional kita," kata anggota tim hukum Prabowo Subianto-Girbran Rakabuming Raka (02) itu.

Menurut dia, secara yuridis, konsep amicus curiae di Indonesia adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa pengadil dan pengadil konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai norma dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

"Secara praksis hukum, sesungguhnya praktik amicus curiae lebih condong dipraktikkan pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung," ungkapnya.

Menurut dia, pelembagaan amicus curiae secara samar-samar sesungguhnya dapat dilihat serta dipraktikkan dalam persidangan pengetesan undang-undang di MK.

Berdasarkan ketentuan norma aktivitas MK, pihak ketiga yang berkepentinganmampu mendaftarkan diri dan memberikan pendapat dalam pengetesan undang-undang judicial review.

Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK, serta Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Presiden, sama sekali tidak dikenal adanya pranata norma amicus curiae.

"Pada dasarnya pengadilan MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi, termasuk memutus sengketa PHPU pilpres, sandarannya adalah konstitusi serta fakta-fakta norma yang secara terang benderang telah terungkap di dalam persidangan yang digelar secara terbuka untuk umum," kuncinya.