MK Tak Mampu Keluar dari Kerangkeng Kerangka Hukum yang Didesain Langgengkan Kekuasaan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 23 April 2024 13:59 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI (Foto: MI/Dhanis)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI (Foto: MI/Dhanis)

Jakarta, MI - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti memberitan kritikan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan kubu paslon 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dan kubu paslon 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, pada sidang putusan MK yang digelar pada Senin (22/42024) kemarin.

Pengamatan Bivitri Susanti, MK ternyata tidak mampu keluar dari kerangkeng kerangka hukum yang memang didesain untuk melanggengkan kekuasaan. Persoalan ini sebetulnya sudah sering dibahas, bagaimana UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017, merupakan putusan pemerintah dan DPR untuk tidak mengubah setelah Pemilu 2019.

Biasanya setelah ada evaluasi Pemilu akan ada perubahan UU. Bibiv menduga karena hukumnya menguntungkan, maka tidak diubah. Bukan hanya itu, dalam banyak hal lainnya seperti UU ASN, UU terkait pejabat kepala daerah, Bibiv melihat itu semuanya disesain, untuk melanggengkan kekuasaan.

“Jadi, kalau MK bergerak hanya dalam kerangkeng itu, mereka memang tidak akan bisa keluar, dia harus lompat ke konstruksi konstitusionalisme yang sebetulnya bisa dilakukan oleh MK,” kata Bibiv sapaannya dalam tayangan video berjudul “Catatan dan Refleksi Putusan MK Tentang Pilpres 2024” yang diungggah di akun Instagram pribadinya @bivitrisusanti dikutip Monitorindonesia.com, Selasa (23/4/2024).

Tadinya, ia dan banyak yang lain mempunyai harapan bahwa MK bisa keluar dari kerangkeng itu, tapi ternyata tak bisa. “Barangkali kita harus baca juga, secara konfigurasi hakim-hakim MK itu semacam proxy dari elite politik. Jadi pasti tantangannya besar. Dan tiga orang hakim yang memberikan dissenting opinion ini buat saya adalah judicial activies,” ujar Bibiv.

Terlepas dari persoalan menang dan kalah, menurut Bibiv, refleksi dari putusan MK ini adalah banyak yang tidak terafiliasi kepada Paslon 01 dan 03, tetapi memiliki kepedulian yang sama soal ketidakadilan, soal hal-hal yang sebenarnya salah, misalnya soal nepotisme, itu yang paling riil.

Juga tentu saja, benturan kepentingan yang luar biasa, sehingga seorang presiden menyalahgunakan kekuasaannya. Dengan adanya putusan MK yang menolak semua gugatan Paslon 01 dan 03, berarti semua ketidakbenaran proses Pemilu 2024 dianggap baik-baik saja oleh MK.

Padahal, tegas dia, sejatinya tujuan adanya pengadilan, tujuan adanya MK, adalah untuk mengoreksi praktik-praktik tata negara yang keliru. Kalau semua kesalahan di atas dianggap baik-baik saja, maka dampaknya kepada praktik bernegara, berdemokrasi dan juga berdampak kepada Indonesia sebagai negara hukum.

Dampak lanjutannya, tambah dia, adalah masyarakat akan menjadi punya cara pandang bahwa, persoalan-persoalan etis tidak terkait dengan persoalan hukum. Padahal itu anggapan yang luar biasa keliru. Justru etika ada di atas hukum.

“Cara berpikir seperti ini akan langgeng. Kemudian, praktik nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan akan dianggap baik-baik saja,” kata Bibiv..

Bibiv mengaku sesungguhnya khawatir dengan putusan semacam ini, bahwa MK membuat norma baru. Kalau ada politik dinasti, nepotisme lagi di Pilkada atau di manapun. "Jangan-jangan jadi berpikir itu tidak apa-apa dilakukan, meskipun itu sebenarnya ancaman besar bagi jalannya demokrasi dan negara hukum," katanya.

Ini artinya masyarakat musti terus menerus menyampaikan kritik." Memang secara hukum berhenti di putusan MK, di titik ini, tetapi mengkritik adalah sesuatu exercise yang penting untuk demokrasi dan negara hukum".

Ke depan masyarakat tidak hanya membicarakan perombakan besar-besaran yang dilihat Bibiv tantangannya akan semakin sulit karena karakter pemerintahan dan DPR sudah bisa dilihat dari sekarang, yakni dengan cara-cara melegalkan segala cara, termasuk dengan melanggar etika dan norma-norma keadilan dan sebagainya.

“Tetapi kita tetap harus bicarakan. Tidak hanya perubahan di level UU, seperti UU yang terkait dengan Pemilu, UU Kepresidenan, tapi juga memikirkan bagaimana memperbaiki MK".

"Karena ini jadi penanda penting bahwa ada persoalan-persoalan kelembagaan yang tidak baik-baik saja. Ini PR kita bareng-bareng,” kunci Bibiv.

Penting diketahui, bahwa MK pada hari Senin kemarin, MK menolak gugatan terhadap pemilihan presiden yang dimenangkan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, setelah saingan utamanya menuduh peraturan diubah secara tidak adil untuk memungkinkan putra pemimpin yang akan keluar itu untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden.

Prabowo dikukuhkan pada bulan Februari sebagai calon pemimpin berikutnya di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, mengalahkan mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan dan saingannya yang ketiga (Ganjar Pranowo) dengan 58,6% suara.

Kampanye presiden terpilih ini terperosok dalam tuduhan bahwa pemimpin yang akan segera habis masa jabatannya, Jokowi telah ikut campur dalam upaya untuk mendukung kampanye Prabowo.

Ia dituduh merekayasa perubahan aturan yang memungkinkan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai wakil presiden.

MK juga menyatakan tuduhan nepotisme atau intervensi negara tak terbukti. Bahkan Ketua MK, Suhartoyo yang menyebut "pengadilan menolak eksepsi untuk seluruhnya. Menolak permohonan kasasi untuk seluruhnya". (wan)

Topik:

MK Putusan MK PHPU