Pimpinan Kerap Tak Tersentuh Hukum, MAKI Dorong Pembentukan Dewas BPK

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 13 Mei 2024 09:23 WIB
BPK RI (Foto: Dok MI/Aswan)
BPK RI (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Oknum auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI disebut meminta Rp 12 miliar kepada Kementerian Pertanian (Kementan) sebagai syarat agar institusi memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Hal ini sebagaimana kesakasian Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Hermanto dalam sidang lanjutan perkara gratifikasi dan pemerasan dengan terdakwa mantan Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo atau SYL, Rabu (8/5/2024) lalu.

Atas hal ini, BPK berjanji akan memberi sanksi untuk auditor tersebut. Apabila ada auditor yang menyelewengkan jabatannya bakal diproses etik.

Namun demikian, langkah ini dinilai tidak akan merembet ke pimpinan BPK itu sendiri. Sebab, saat ini, BPK hanya punya (institusi) yang menyidangkan kode etik dan levelnya sampai di level sekretaris utama yang artinya hanya pegawai BPK dan tak bisa menyentuh pimpinan BPK.

Maka dari itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mendorong agar dibentuk Dewan Pengawas (Dewas) di BPK layaknya yang berada di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bukan tanpa alasan Boyamin mendesak demikian, soalnya keterbatasan wewenang tersebut lah yang membuat berbagai penyimpangan di lingkungan BPK terjadi.

Contohnya, kata dia, dijadikannya tersangka Anggota III BPK, Achsanul Qosasi dalam perkara korupsi BTS 4G Bakti Kominfo hingga tiga anggota perwakilan BPK yang terjaring OTT KPK di Sorong.

"Karena kan BPK ini lembaga independen yang tidak tersentuh. DPR aja kan nggak bisa mengawasi meski mereka (anggota BPK) dipilih oleh DPR dan pansel-nya dari pemerintah," tegas Boyamin saat dikonfirmasi, Senin (13/5/2024).

Kendati tidak menjamin nantinya BPK akan bersih dari korupsi, Boyamin mengungkapkan Dewas tetap diperlukan sebagai kontrol lembaga audit tersebut.

"Meskipun tidak menjamin, setidaknya jangan ada hal aneh-aneh yang beberapa bersifat transaksional," jelasnya.

Tak hanya dari sisi pengawasan, Boyamin juga menyoroti sisi rekrutmen di mana dia ingin tidak ada anggota BPK yang berafiliasi dengan partai politik (parpol).

Menurutnya, proses rekrutmen anggota BPK harus sama dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) yaitu sudah mundur dari partai politik (parpol) selama lima tahun sebagai salah satu syarat.

"Artinya dia memang sudah mau melepaskan diri (dari parpol). Selama ini kan enggak, mundur baru sehari, bisa jadi anggota BPK."

"Juga pernah rekrutmen itu tidak memenuhi syarat itu lolos dan menjadi anggota BPK di mana harusnya itu dua tahun tidak memegang dana pemerintahan tapi dipaksakan (untuk memenuhi syarat menjadi anggota BPK)," tukasnya.

Sebelumnya, Hermanto mengungkapkan, status WTP Kementan terganjal temuan BPK dalam proyek food estate. 

Menurut Hermanto, BPK menemukan indikasi fraud yang tidak banyak namun nilainya besar. 

Auditor BPK yang bernama Victor kemudian disebut meminta uang Rp 12 miliar kepada pimpinan Kementan untuk mendapatkan status WTP.

“Ada. Permintaan itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp 12 miliar untuk Kementan,” kata Hermanto.

Namun, Kementan tidak langsung memenuhi permintaan Victor. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta, Kementan hanya memberi Rp 5 miliar.

“Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar tidak dipenuhi. Saya dengar mungkin (kalau) enggak salah sekitar Rp 5 miliar,” ujar Hermanto.

Dalam perkara ini, Jaksa KPK menduga SYL menerima uang sebesar Rp 44,5 miliar hasil memeras anak buah dan Direktorat di Kementan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. 

Pemerasan ini diduga dilakukan SYL dengan memerintahkan eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta; dan eks Sekjen Kementan, Kasdi Subagyono; Staf Khusus Bidang Kebijakan, Imam Mujahidin Fahmid, dan Ajudannya, Panji Harjanto.

“Bahwa jumlah uang yang diperoleh terdakwa selama menjabat sebagai Menteri Pertanian RI dengan cara menggunakan paksaan sebagaimana diuraikan adalah sebesar total Rp 44.546.079.044,” kata Jaksa KPK Masmudi dalam sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 28 Februari 2024 lalu.

Jaksa mengungkapkan, uang puluhan miliar tersebut berasal dari para pejabat eselon I di Kementan serta hasil potongan 20 persen anggaran di masing-masing Sekretariat, Direktorat, dan Badan di Kementan sejak 2020 hingga 2023.

“Bahwa atas pengumpulan uang tersebut dipergunakan untuk kepentingan terdakwa beserta keluarga,” kata Jaksa KPK.