Capim Diharapkan Mampu Obati Penyakit yang Diderita KPK

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 14 Mei 2024 02:31 WIB
Seseorang membentangkan spanduk KPK Letoy Buru Harun Masiku (Foto: Dok MI/Ist)
Seseorang membentangkan spanduk KPK Letoy Buru Harun Masiku (Foto: Dok MI/Ist)

Jakarta, MI - Pemerintah akan segera membentuk panitia seleksi calon pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk periode 2024-2029 karena masa jabatannya akan habis Desember ini.

Pemerintah menetapkan panitia seleksi ini akan berjumlah sembilan orang, yang mencakup lima orang dari unsur pemerintah dan empat orang dari masyarakat.

Dominasi pemerintah dalam panitia seleksi tersebut baru terjadi kali ini. Panitia-panitia seleksi calon pimpinan dan Dewan Pengawas KPK sebelumnya didominasi unsur masyarakat.

Melihat penanganan kasus korupsi lima tahun terakhir yang cenderung memburuk, peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya, meminta Presiden Joko Widodo memperbaiki hal itu dengan membentuk panitia seleksi yang punya integritas.

"Setiap anggota pansel (panitia seleksi) harus memiliki kompetensi yang memiliki pemahaman yang utuh terhadap situasi pemberantasan korupsi, terutama kelembagaan KPK, setidaknya lima tahun terakhir," ujarnya dikutip pada Selasa (14/5/2024).

"Poin ini begitu penting agar pansel dapat menilai mana kandidat calon pimpinan KPK yang mampu menjadi obat bagi penyakit yang diderita oleh KPK selama ini," katanya menambahkan.

Soal integritas mereka yang menjadi anggota panitia seleksi ini, tambahnya, sangat penting supaya panitia seleksi tidak menjadi alat untuk meloloskan calon pimpinan KPK tertentu karena unsur kedekatan.

Menurutnya, komposisi lima anggota panitia seleksi dari pemerintah dan empat lainnya dari unsur masyarakat tidak ideal "karena potensi konflik kepentingan dan intervensi atas keputusan dalam proses seleksi justru akan besar jika didominasi dari unsur pemerintah," ujar Diky.

Adapun Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang stagnan selama sembilan tahun belakangan ini menjadi rujukan ICW dan kelompok-kelompok pemerhati pemberantasan korupsi. Transparency International Indonesia (TII) tahun lalu merilis survei menunjukkan skor IPK Indonesia adalah 34, sehingga peringkat Indonesia anjlok dari 110 pada 2022 menjadi 115. Posisi ini dikategorikan sebagai negara dengan tingkat korupsi paling mengkhawatirkan.

Skor IPK Indonesia 34 poin tersebut sama dengan poin Indonesia ketika Joko Widodo dilantik sebagai presiden pada 2014. Hal ini mengisyaratkan semua komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi sekadar wacana, dan membuktikan lemahnya komitmen presiden untuk memperkuat KPK.

Diky juga merujuk pada dua pimpinan KPK hasil seleksi 2019 yang bermasalah, dan bahkan salah seorang diantaranya dijatuhi sanksi berat untuk mundur dari jabatannya. Yaitu Lili Pintauli Siregar yang mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK pada tahun 2022 setelah diperiksa Dewan Pengawas KPK dalam kasus penerimaan gratifikasi.

Pada akhir 2023, Firli Bahuri yang ketika itu menjabat sebagai ketua KPK, dijatuhi sanksi untuk mengundurkan diri karena terbukti bertemu dengan pihak yang sedang berperkara yakni mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, yang diduga melakukan korupsi di kementeriannya.

Belum lama ini, giliran Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dilaporkan ke Dewas KPK atas dugaan komunikasi dengan pejabat Kementerian Pertanian untuk kepentingan mutasi salah satu pegawai di kementerian tersebut. Laporan ini tengah ditangani Dewas KPK.

Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan proses pemilihan pimpinan KPK yang ala kadarnya dan revisi Undang-undang KPK yang melemahkan badan antirasuah itu, semakin membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi carut marut. Jika ingin membangkitkan kembali pemberantasan korupsi di Indonesia, maka pembentukan panitia seleksi pimpinan KPK adalah salah satu aspek penting, ujarnya.

"Siapapun yang pernah, misalnya partai-partai yang pernah memberikan sumbangan kecil atau besar pada pelemahan dalam perubahan Undang-undang KPK, saya kira saatnya kita tagih perannya untuk membalik kembali isu itu," tuturnya.

Sementara itu, Ketua KPK (2015-2019) Agus Rahardjo meminta Presiden Joko Widodo dan presiden terpilih Prabowo Subianto untuk bekerjasama dengan KPK untuk melanjutkan upaya memberantas korupsi. 

Dia mengingatkan terlalu banyaknya orang yang bekerja di KPK, yang berafiliasi dengan pihak luar, sehingga ada penyidik KPK yang justru lebih tunduk pada kepolisian, kejaksaan, atau bahkan Badan Intelijen Negara (BIN).

"Oleh karena itu saya berharap di dalam pimpinan KPK tidak ada perwakilan, tidak ada perwakilan dari jaksa, tidak ada perwakilan dari polisi. Betul-betul independen dan kompeten," katanya.

Pemberantasan korupsi di Indonesia buruk
Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan dalam beberapa tahun belakang ini, ada indikasi ambruknya kepercayaan publik terhadap KPK.

Hasil survei melalui telepon yang dilansir lembaganya bulan lalu memperlihatkan kepercayaan publik pada KPK hanya sedikit di atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik. Padahal sebelumnya KPK pernah unggul. Ini berarti publik kini menganggap pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan buruk.