KPK Mulai Garap Bahlil Lahadalia, Kasus Apa?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 17 Juni 2024 18:30 WIB
Bahlil Lahadalia (Foto: Dok MI)
Bahlil Lahadalia (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menggarap kasus dugaan korupsi terkait pencabutan ribuan izin tambang yang menyeret Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, sejak 2021 hingga 2023.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sebelumnya melaporkan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Bahlil kepada KPK.

Laporan ini berkaitan dengan proses pencabutan ribuan izin tambang yang diduga penuh dengan praktik korupsi.

"Semua laporan pasti dianalisis. Apakah memenuhi kriteria untuk ditindaklanjuti ke penyelidikan atau tidak," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto, Senin (17/6/2024).

Menurutnya, proses analisis laporan tersebut berada di bawah tanggung jawab Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM).

"Kita tunggu saja bagaimana perkembangannya," tandasnya.

Adapun Jatam menilai setidaknya terdapat dua jenis kecacatan dalam pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) Bahlil Lahadalia dalam kapasitasnya sebagai Ketua Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional Muhammad Jamil menilai tugas Bahlil sebagai ketua satgas tersebut bersifat cacat kewenangan.

Alasannya, berdasarkan Pasal 119 pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), pencabutan IUP hanya bisa dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Sebenarnya yang dilakukan Bahlil sudah bermasalah sejak hulu, dari kewenangan yang membolehkan Menteri Investasi/Kepala BKPM untuk mencabut izin tambang sudah salah urus. Kewenangan Bahlil untuk mencabut izin cacat kewenangan,” ujar Jamil kepada Monitorindonesia.com, Rabu (6/3/2024).

Selain cacat kewenangan, Jamil melanjutkan, pencabutan IUP oleh Bahlil tidak memiliki dasar hukum. 

Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang telah menugaskan Bahlil sebagai Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Cikal bakal satgas tersebut adalah Keputusan Presiden No. 11/2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi.

Dalam keppres tersebut tertulis bahwa satgas yang dimaksud diketuai oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, dengan wakil ketua Wakil I Jaksa Agung, Wakil Ketua II Wakil Kepala Polri, serta Sekretaris Sdri. Dini Purwono.

Namun, Jamil tidak melihat adanya dasar hukum berupa Peraturan Presiden (Perpres) atau Undang-Undang yang mengatur peralihan pencabutan IUP dari Menteri ESDM ke Menteri Investasi/Kepala BKPM.

Jamil menggarisbawahi terdapat Peraturan Presiden Nomor 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi sebagai landasan hukum pembentukan Satgas, tetapi perpres itu belum mengatur perpindahan kewenangan.

“Kenapa bisa cacat kewenangan? Karena pengalihan kewenangan dari Menteri ESDM [Arifin Tasrif] ke Bahlil untuk mencabut izin hanya melalui Keputusan Menteri ESDM, padahal seharusnya di UU administrasi pemerintahan, pengalihan kewenangan yang didasari UU harus [berupa] Perpres atau UU,” ujarnya.  

“Di situ sebenarnya celahnya, sejatinya [Menteri] Investasi tidak punya kewenangan cabut izin tambang karena mencabut izin tambang dan menerbitkan izin itu sejatinya adalah kewenangan di Menteri ESDM kalau kita lihat di UU Minerba Pasal 119."

Cacat Prosedur

Jamil melanjutkan, pencabutan IUP juga cacat dari segi prosedur. Berdasarkan Pasal 185 ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 dijelaskan bahwa pemegang IUP untuk penjualan yang melanggar ketentuan bakal dikenakan sanksi administratif secara bertahap dan tidak serta-merta langsung dicabut IUP-nya.

Sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi dan/atau pencabutan IUP.

Kecacatan secara kewenangan dan prosedur itu pada akhirnya dimanfaatkan sebagai celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh Bahlil dan perusahaan.

Dalam kaitan itu, beberapa perusahaan memang telah melayangkan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tetapi prosesnya tentu panjang. 

Walhasil, hal itu memicu potensi terjadi transaksi untuk mengaktifkan IUP kembali melalui lobi langsung kepada Bahlil. 

“Ketika Bahlil menerbitkan surat keputusan (SK) pencabutan, dia juga berwenang mencabut SK pencabutan atau menerbitkan SK baru untuk mengaktifkan kembali. Di situ arenanya, sangat mungkin bisa terjadi transaksi,” ungkapnya.

Jamil mengatakan Jokowi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan bisa mendorong aparat penegak hukum (APH) untuk menindaklanjuti dugaan yang ada.

APH sebenarnya memiliki kapasitas untuk langsung menindaklanjuti dugaan tersebut, tetapi dorongan dari Jokowi diperlukan secara etik kenegaraan. 

Apalagi, Jokowi merupakan pihak yang menunjuk Bahlil sebagai ketua satgas tersebut.  

“Di Indonesia ada anekdot bahwa mereka yang masih berkuasa itu sulit dihukum atau mereka yang masih berkuasa tidak akan didakwa, Bahlil memiliki posisi penting sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM, sehingga ini butuh cukup keberanian apalagi dugaan di atas 1 miliar,” jelasnya.

“Penegak hukum saya kira butuh dorongan, oleh karena Bahlil menggunakan celah hukum di balik perpres kewenangan yang diberikan Presiden Jokowi saya kira Presiden penting untuk bersuara."

Diketahui, Bahlil Lahadalia diduga meminta sejumlah imbalan uang hingga miliaran rupiah dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan satgas tersebut. 

Dia juga dikabarkan meminta porsi saham dari perusahaan-perusahaan yang dicabut dan dipulihkan lagi IUP atau HGU-nya.

Sekadar catatan, pembentukan satgas tersebut mengacu pada Peraturan Presiden No. 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.

Sepanjang 2022, menurut catatan Monitorindonesia.com, pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM setidaknya telah mencabut 2.078 IUP, yang terdiri dari 1.776 IUP perusahaan tambang mineral dan 302 IUP perusahaan tambang batu bara.

Secara total, luas wilayah lahan yang dicabut izinnya itu mencapai sekitar 3,2 juta hektare (ha) yang tersebar di seluruh Indonesia.

Musabab pencabutan IUP tersebut dikarenakan para pemegang IUP itu tidak pernah menyampaikan rencana kerjanya, padahal izin sudah bertahun-tahun diberikan.

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto pernah menyebut bahwa Parlemen mendapat keluhan dari pengusaha tambang terkait dengan dugaan pencabutan IUP oleh Kementerian Investasi/BKPM yang menyalahi kewenangan dalam UU Minerba.

"Pencabutan IUP tanpa melalui proses dan mekanisme yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan akan berdampak pada tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi investasi sektor pertambangan yang telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan negara juga berpotensi kehilangan penerimaan di sektor pertambanga,” ujarnya, dikutip dari laman resmi DPR.

Dia pun menegaskan pencabutan usaha pertambangan harus dilakukan secara transparan dan melalui mekanisme atau proses yang sesuai dengan ketentuan Pasal 119 UU Minerba.  

Beleid itu menyatakan izin dapat dicabut oleh menteri, dengan ketentuan di antaranya apabila pemegang IUP atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.

Selain itu bisa juga karena pemegang IUP atau IUPK itu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, atau juga pemegang IUP dan IUPK dinyatakan pailit. 

"Sedangkan proses pencabutan suatu IUP berdasarkan Pasal 185 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 96/2001 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba diawali dengan penerapan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan pencabutan," jelas Sugeng.

Topik:

Bahlil KPK IUP