Harun Masiku Rugikan Parpol, Siapa Lagi akan Tersangka?


Jakarta, MI - Kasus Harun Masiku telah menjadi salah satu episode panjang dalam sejarah hukum Indonesia. Eks calon legislatif dari PDIP ini menjadi buronan sejak awal 2020 dalam kasus dugaan suap terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Hingga kini, keberadaannya masih misterius meski berbagai upaya pencarian dilakukan. Pun, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah menetapkan dua tersangka baru. Teranyar, KPK menggeledah rumah eks Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang juga politikus PPP, Djan Faridz di Jalan Borobudur, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 23 Januari dini hari.
Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf, bersembunyi Harun Masiku dapat merugikan partai politik yang kemungkinan tersangka terus bertambah.
"Harun Masiku jangan terus bersembunyi karena percuma hadapi negara, sampai mana dia tahan hidup lama-lama dalam pencarian sebagai DPO dan tidak dapat hidup normal. Persembunyiannya juga dapat merugikan partai apabila ada oknum-oknum yang menyembunyikan karena akan bertambah tersangka dianggap ikut serta dalam kejahatan," kata Hudi saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Kamis (23/1/2025) dini hari.
Jikalau saja Harun Masiku menjalani proses hukumnya, mungkin saat ini dia sudah bebas. "Sampai kapan dia mengorbankan yang lain? Ikuti saja proses peradilan, jangan alergi dengan kata peradilan karena diadili itu belum tentu bersalah."

"Jika seperti ketakutan justru membangun image diri bersalah dan apabila tidak bersalah, hadapi saja dengan langkah tegap gagah kesatria sebagai warga negara yang baik," tegas dia.
Untuk tersangka Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Hudi mengapresiasinya apabila menghadapi proses hukum dengan lapang dada. "Langkah pak Hasto akan sebagai contoh teladan seorang negarawan bagi rakyat Indonesia, ikuti proses peradilan dengan fair play mengikuti seluruh rule of law yang telah ada".
"Instruksikan massa partai mengikuti persidangan dengan baik dalam mendukung supremasi hukum sehingga proses peradilan dapat berjalan dengan lancar dan sukses," timpalnya.
Siapa pun orang dan jabatannya, tambah Hudi yang juga advokat dari Justice Law Office (JLO), harus sama dalam perlakuan di hadapan hukum (equality before of law).
"Penuntut umum tidak perlu gunakan asas oportunitas, negara tidak boleh kalah oleh siapa pun, seyogyanya asas oportunitas pada penuntut umum dihapus saja atau setidaknya tidak perlu digunakan karena rentan diskriminasi terhadap rakyat dalam penegakan hukum," pungkas Hudi.
Jejak Harun Masiku
Setelah 5 tahun tak ada perkembangan berarti penanganan perkara Harun Masiku, penyidik KPK membuat gebrakan dengan menetapkan Hasto sebagai tersangka.
Gebrakan komisioner KPK periode 2024-2029 pimpinan Setyo Budiyanto itu tiga hari berselang setelah dilantik Presiden Prabowo Subianto di istana negara. Harun Masiku menjadi target Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
Pasalnya, Harun Masiku diduga kuat menyuap Wahyu Setiawan agar bisa lolos menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sejak menghilang usai lolos dari OTT, ia terus bersembunyi. Ia sempat dilaporkan bersembunyi di Kamboja atau Singapura dan beberapa menyebut ia ada di Indonesia.
Kasus bermula pada 20 September 2018, KPU RI telah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) yang akan mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) anggota DPR dari PDIP untuk Daerah Pemilihan Sumatera Selatan 1 (Dapil Sumsel 1).
Meliputi wilayah Palembang, Lubuklinggau, Banyuasin, Musi Rawas serta Musi Rawas Utara. Terdapat 8 nama calon anggota legislatif pada saat itu.
Sebelum pelaksanaan Pemilu, KPU mendapatkan informasi bahwa caleg DPR dari PDIP bernama Nazarudin Kiemas meninggal dunia pada tanggal 26 Maret 2019.
Alhasil, KPU meminta klarifikasi kepada PDIP yang dibenarkan sebagaimana surat dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Nomor 2334/EX/DPP/IV/2019 tanggal 11 April 2019.
Atas jawaban tersebut KPU mengeluarkan Keputusan Nomor 896/PL.01.4- Kpt/06/KPU/IV/2019 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1129/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Daftar Calon Tetap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pemilihan Umum Tahun 2019 tanggal 15 April 2019.
Pada intinya adalah valeg DPR dari PDIP bernama Nazarudin Kiemas dicoret dari DCT.
Pasalnya, Nazarudin Kiemas tidak memenuhi syarat (meninggal, red). Selain itu menginformasikan pencoretan tersebut kepada KPU Provinsi Sumatera Selatan untuk diteruskan hingga ke tingkat KPPS.
Tujuannya agar menindaklanjuti pada semua Tempat Pemungutan Suara (TPS) Dapil Sumsel 1, dikarenakan Nazarudin Kiemas masih tercantum dalam lembar surat suara pemilu.
Pada Juli 2019, dilaksanakan Rapat Pleno DPP PDIP yang memutuskan Harun Masiku ditetapkan sebagai caleg pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazaruddin kiemas dari dapil sumsel-1.
Alasannya, meski telah dicoret KPU dari DCT dapil sumsel 1 (meninggal dunia), namun Nazarudin Kiemas sebenarnya mendapat perolehan suara sejumlah 34.276 suara dalam pemilu.
Atas keputusan rapat pleno tersebut, Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDIP menugaskan Donny Tri Istiqomah selaku tim hukum PDIP mengajukan surat permohonan ke KPU RI.
Dalam kasus ini, Harun Harun mengupayakan dirinya menjadi pengganti Nazarudin Kiemas, caleg DPR RI terpilih dari PDIP yang meninggal dunia pada Maret 2019.
Posisi Nazarudin semestinya digantikan oleh Rizky Aprilia yang menempati posisi kedua di Pileg 2019 Dapil I Sumatera Selatan.
Namun, PDIP justru mengajukan Harun Masiku yang menempati posisi keenam. Harun diajukan sebagai pengganti Nazarudin melalui proses Pergantian Antar Waktu (PAW).
PDIP bahkan sempat mengajukan fatwa ke MA dan menyurati KPU agar melantik Harun.
Tapi KPU keukeuh dengan keputusan untuk melantik Reizky lantaran Harun tidak memenuhi syarat menggantikan Nazaruddin.
Selanjutnya, Harun Masiku mencoba melobi komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan untuk membatalkan keputusan KPU.
Pun Wahyu menyanggupi permintaan Harun. Tapi dengan catatan, Wahyu meminta dana operasional sebesar Rp900 juta.
Kemudian, Harun Masiku mengirimkan uang sebesar Rp850 juta kepada Wahyu melalui staf sekretariat DPP PDIP bernama Saeful Bahri.
Uang tersebut diterima Wahyu melalui anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina yang juga merupakan orang kepercayaan Wahyu.
Bertempat di sebuah restoran di Mall Pejaten Village, Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina melakukan pertemuan dengan Saeful Bahri.
Dalam pertemuan itu Saeful Bahri meminta bantuan Wahyu Setiawan agar dapat mengupayakan kepentingan Harun Masiku terkait proses PAW dari Riezky Aprilia sebagai anggota DPR Dapil Sumsel I kepada Harun Masiku sesuai surat permohonan DPP PDIP. Wahyu pun juga menyanggupinya.
Pada tanggal 8 Januari 2020, Wahyu Setiawan menghubungi Agustiani Tio Fridelina agar mentransfer sebagian uang yang telah diterima dari Saeful Bahri sebesar Rp50 juta ke rekening Bank Negara Indonesia (BNI) atas nama Wahyu Setiawan.
Namun sebelum mentransfer uang tersebut, Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina dicokok penyidik KPK beserta barang bukti sejumlah uang dalam bentuk Sing$ 38,350 dari Agustiani Tio Fridelina.
Sementara orang yang diburu penyidik KPK, Harun Masiku berada di Singapura.
Harun melakukan perjalanan ke Singapura dua hari sebelum penangkapan Wahyu dan Agustiani.
Buntut kasus ini, Wahyu divonis 7 tahun penjara dan masuk bui terhitung sejak Januari 2020.
Majelis hakim menilai Wahyu terbukti menerima uang senilai total Rp600 juta terkait penetapan PAW anggota DPR RI periode 2019-2024, sebagaimana dakwaan primair.
Namun setelah menjalani masa tahanan 3 tahun 9 bulan, atau pada Oktober 2023, Wahyu mendapat pembebasan bersyarat.
Belakangan penyidik KPK melanjutkan proses penyidikan dengan memeriksa saksi.
Diantaranya Hasto Kristiyanto diperiksa semula dalam kapasitasnya sebagai saksi dalam perkara suap yang melibatkan Harun Masiku.
Merespons pemeriksaan tersebut, Hasto menegaskan bakal memenuhi panggilan penyidik KPK.
Sebagai Sekjen PDIP, Hasto menegaskan partai tempatnya bernaung bakal taat pada supremasi hukum. Sementara sebagai warga negara, Hasto bakal merespons serius panggilan penyidik KPK.
Tak lama kemudian, Hasto memenuhi panggilan penyidik pada 10 Juni 2024. Saat pemeriksaan, ponsel Hasto disita penyidik.
Penyidik KPK mengambil barang Hasto yang dibawa sang asisten, Kusnadi, kala sedang menunggu di lobi Gedung Merah Putih. Hal itu membuat PDIP protes.
Kini, Hasto Kristiyanto dan kader PDIP bernama Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka.
Donny menjadi pihak yang diperintahkan Hasto untuk melobi Wahyu Setiawan agar KPU menetapkan Harun sebagai pihak yang menggantikan Nazarudin.
Donny diumumkan sebagai tersangka setelah menyerahkan uang suap kepada Wahyu atas perintah Hasto.
Menurut Ketua KPK Setyo Budiyanto, uang tersebut diserahkan melalui Agustina sebagai eks Anggota Badan Pengawas Pemilu.
Untuk saat ini, KPK menjerat Hasto dengan dua perkara, yaitu perkara suap dan perintangan penyidikan atau obstruction of justice. KPK menjerat Sekjen PDIP tersebut dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Untuk pelanggaran terhadap kasus perintangan penyidikan, Hasto dikenai Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (an)
Topik:
KPK Harun Masiku