Kasus BLBI, CBA Soroti Hilangnya Sertipikat 452 Hektare Jaminan dalam Perjanjian BI dengan Bank Swasta

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 5 Januari 2025 13:01 WIB
Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi (Foto: Dok MI/Antara)
Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi (Foto: Dok MI/Antara)

Jakarta, MI - Dugaan rekayasa penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 1998 hingga hilangnya sertipikat lahan ratusan hekatare tengan menjadi sorotan.

Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi menyatakan bahwa Bank Indonesia (BI) terlibat dalam praktik penggunaan rekening rekayasa untuk menampung dana dan memanipulasi transaksi antarbank. Praktik ini dianggap merugikan negara dan mengancam integritas sistem perbankan nasional.

Rekening rekayasa tersebut digunakan oleh BI dalam transaksi antarbank, termasuk kliring, yang seharusnya hanya dapat dilakukan oleh bank-bank terdaftar. 

Namun, adanya rekening khusus yang melanggar regulasi ini memungkinkan transaksi dilakukan tanpa prosedur yang sah. “Rekening ini memungkinkan uang negara berputar tanpa mekanisme yang sah. Ini adalah pelanggaran serius terhadap aturan perbankan,” kata Uchok kepada Monitorindonesia.com, Minggu (5/1/2025).

Uchok mejelaskan, skema transaksi menggunakan rekening rekayasa ini dikenal sebagai call money overnight, di mana bank pembeli uang mengembalikan dana ke rekening bank penjual keesokan harinya dengan bunga tinggi. 

Namun, kenyataannya, bank penjual tidak pernah mengeluarkan uang, melainkan menerima uang dan bunga dari bank pembeli, yang bersumber dari rekening rekayasa.

Soal hilangnya sertipikat lahan seluas 452 hektar yang menjadi jaminan dalam perjanjian Bank Indonesia dengan salah satu bank swasta, Uchok megatakan bahwa lahan tersebut, yang terletak di Cianjur, Jawa Barat, terdiri dari lima sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT Varia Indo Permai. 

Meskipun BI mengklaim telah menyerahkannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Kepala KPKNL Jakarta 1, Rofli Edi Purnomo, mengungkapkan bahwa sertifikat tersebut tidak pernah diterima oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

“Keberadaan sertifikat ini harus dijelaskan secara transparan. BI, BPPN, dan DJKN Kementerian Keuangan harus bertanggung jawab atas penggelapan ini,” beber Uchok.

Dia menambahkan, lahan tersebut yang sebelumnya bernilai sekitar Rp350 miliar, kini diperkirakan memiliki nilai yang jauh lebih besar.

Olehnya itu, CBA mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung segera melakukan investigasi mendalam terhadap kedua kasus besar ini. 

“Penyalahgunaan wewenang yang terjadi dalam lembaga keuangan negara bisa merusak kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan negara jika tidak segera ditindaklanjuti,” tegas Uchok. 

CBA menambahkan, dalam pengusutan kasus itu diperlukan investigasi transparan untuk menemukan pihak-pihak yang bertanggung jawab. "Serta memastikan bahwa BI menjalankan mekanismenya dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas," pungkas Uchok.

Topik:

BLBI BCA KPK Kejagung