KPK Cari Tersangka Baru Korupsi E-KTP, Mencuat Nama Pramono, Ganjar hingga Legislator
Jakarta, MI - Potensi tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi proyek E-KTP yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011-2013 terbuka lebar.
Teranyar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa 3 mantan narapidana dalam kasus ini. Adalah eks Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman Zahir, mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Dirjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto dan eks anggota DPR dari Partai Hanura, Miryam S. Haryani.
Pemeriksaan untuk memperkuat bukti dan melengkapi berkas perkara ini menjadi pintu masuk lembaga anti rasuah itu menyeret tersangka baru.
“Penyidikan masih awal berjalan, tapi potensi tersangka lain dalam kasus ini terbuka,” kata Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu kepada wartawan, dikutip pada Minggu (12/1/2025).
Koalisi Masyarakat Anti Korupsi menuntut KPK agar menuntaskan kasus yang merugikan negara 2,3 triliun rupiah itu.
“Dalam persidangan e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto disebutkan bahwa dana sebesar 500 ribu US dollar diduga dialihkan ke Pramono Anung dan Ganjar Pranowo,” kata Koordinator Koalisi Masyarakat Anti Korupsi, Zikri Putra Pratama, Minggu (12/1/2025).
Namun berdasarkan catatan Monitorindonesia.com, bahwa Pramono Anung saat menjabat sebagai Sekretaris Kabinet sekaligus politikus PDIP membantah menerima aliran dana USD 500 ribu terkait proyek e-KTP. Pramono mengaku tak pernah membahas proyek e-KTP semasa menjadi pimpinan DPR.
"Saya pimpinan DPR yang membawahi Komisi IV sampai Komisi VII. Sama sekali tak berkaitan dengan Komisi II dan sama sekali tak berkaitan dengan Banggar. Kalau ada yang memberi, logikanya wewenang jabatan kedudukan. Saya nggak pernah ngomong satu pun tentang e-KTP," ujar Pramono di Istana Negara, Jakarta, Kamis (22/3/2018) silam.
Pada periode 2009-2014, Pramono menjabat sebagai Wakil Ketua DPR bidang industri dan pembangunan. "Termasuk semua pejabat yang diperiksa, tak ada satu pun yang bicara e-KTP dengan saya. Ketiga, karena saya tak melihat langsung tapi mendengar dari online, tapi Pak Nov selalu katanya, katanya, katanya, tapi mengenai dirinya tak ingat," kata Pramono.
Sebelumnya, Setya Novanto menyebut adanya aliran uang proyek e-KTP ke Puan Maharani dan Pramono. Masing-masing disebut menerima USD 500 ribu.
Uang tersebut, menurut Setya Novanto, diberikan oleh Made Oka yang merupakan orang kepercayaan Novanto. Puan saat itu berstatus Ketua F-PDIP dan Pramono Wakil Ketua DPR dari F-PDIP.
"Oka menyampaikan dia menyerahkan uang ke dewan, saya tanya 'wah untuk siapa'. Disebutlah tidak mengurangi rasa hormat, saya minta maaf, waktu itu ada Andi untuk Puan Maharani 500 ribu dan Pramono 500 ribu dolar," kata Setya Novanto ketika menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa kasus korupsi proyek e-KTP dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat.
Terpisah, Novanto juga menyebut mantan koleganya di Dewan Perwakilan Rakyat, Ganjar Pranowo, turut menerima aliran dana proyek e-KTP. Novanto mengungkap hal itu saat Ganjar Pranowo menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Kamis, 8 Februari 2018 silam.
Menurut Setya Novanto, informasi bahwa Ganjar menerima duit e-KTP senilai US$ 500 ribu didapatnya dari mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Mustokoweni Murdi; politikus Hanura Miryam S. Haryani; dan terpidana e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Yang pertama pernah Mustokoweni saat ketemu saya menyampaikan uang dari Andi untuk dibagikan ke DPR dan itu disebut namanya Pak Ganjar," kata Novanto.
Selain Mustokoweni, menurut dia, Miryam menyampaikan keterangan yang sama. Adanya pemberian uang itu semakin diperkuat dengan pengakuan Andi kepada Setya Novanto.
Saat menyambangi rumah mantan Ketua DPR itu, Andi mengaku telah memberikan uang untuk beberapa politikus di Komisi II DPR, termasuk Ganjar.
"Untuk itu saya ketemu, penasaran apakah sudah selesai dari teman-teman. Pak Ganjar bilang itu yang tau Pak Chairuman Harahap (Ketua Komisi II DPR saat itu)," ujar Setya Novanto.
Adapun pengakuan Novanto ini menanggapi adanya pertemuan tak disengaja antara dia dan Ganjar. Dalam kesaksiannya hari ini, Ganjar mengaku pernah bertemu Setya di lounge keberangkatan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali, pada 2011 atau 2012.
Saat itu, Setya mengatakan agar Ganjar tidak galak-galak sehubungan dengan proyek e-KTP. Namun, Ganjar tak menjelaskan rinci apa maksud pernyataan Setya. "Dia (Setya) pernah bilang, 'Ganjar sudah selesai. Jangan galak-galak lah'," kata Ganjar menirukan ucapan Novanto.
Sementara Jaksa penuntut umum(JPU) KPK memiliki bukti arsip perjalanan Setya dan Ganjar. Keduanya memang hendak meninggalkan Denpasar dengan tujuan keberangkatan yang berbeda pada 6 Februari 2011.
Meski begitu, Ganjar telah membantah pernyataan Setya. Menurut dia, Mustokoweni justru pernah menjanjikan uang, tapi ditolak. Begitu juga dengan Miryam Haryani.
Ganjar menjelaskan, penyidik senior KPK, Novel Baswedan, pernah menghadirkan dia dan Miryam pada waktu bersamaan. Keduanya dikonfrontasi untuk dimintai keterangan soal proyek e-KTP.
Saat itu, Miryam mengaku tak memberikan uang ke Ganjar.
Pada 2017, Miryam menjadi terpidana karena memberikan keterangan palsu dalam perkara korupsi e-KTP. Atas perbuatannya, dia mendapatkan hukuman lima tahun penjara.
Pada 2019, KPK menetapkan Miryam sebagai tersangka kasus e-KTP. Dalam konstruksi perkara, pada Mei 2011, KPK menduga Miryam meminta uang sebesar USD 100 ribu kepada Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Norman Irman.
Uang itu akan digunakan untuk membiayai kunjungan kerja Komisi II ke beberapa daerah. Permintaan itu disanggupi Kemendagri. Uang tersebut lalu diserahkan kepada perwakilan Miryam di sebuah SPBU di Pancoran, Jakarta Selatan.
Sepanjang 2011-2012, Miryam juga diduga menerima uang beberapa kali dari Irman, serta Sugiharto selaku Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri.
Nama Miryam baru belakangan ditetapkan sebagai tersangka. Bersama dengan Miryam, KPK juga menetapkan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Elektronik, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Husni Fahmi sebagai tersangka. Dua tersangka lainnya berasal dari swasta, yakni Direktur Utama Perum Percetakan Negara dan Ketua Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia, Isnu Edhi Wijaya dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos.
Wajar KPK gas kasus ini lagi
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, tidak heran KPK membuka kembali penyidikan kasus korupsi e-KTP. Sebab, banyak politisi yang menikmati bancakan.
Dalam catatan ICW, tiga partai politik diduga terlibat menerima uang bancakan: Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDIP. Merujuk dakwaan jaksa, sedikitnya ada Rp 150 miliar yang mengalir ke Demokrat dan Golkar serta Rp 80 miliar ke PDIP. “Duit suap ini diduga masuk ke kas partai, bukan sekadar ke kocek pribadi anggota parlemen,” kata Egi, Kamis (9/1/2025).
Dari catatan ICW pula, bancakan proyek jumbo pengadaan e-KTP ini direncanakan jauh sebelum proyeknya dimulai pada 2009. Pada April tahun itu, sejumlah politikus Partai Demokrat dan Golkar, disebut Egi bertemu di restoran di Jakarta Selatan.
Dari Demokrat, yang hadir adalah Anas Urbaningrum, Muhammad Nazarudin, Ignatius Mulyono dan Zainal Abidin. Dari Golkar, ada hadir Mustokoweni Murdi, yang membawa Andi Narogong. Nama terakhir yang disebut adalah pengusaha yang dekat dengan politisi dan sering mengerjakan proyek di Kemendagri.
“Andi meminta proyek e-KTP tak dipecah-pecah anggarannya supaya mudah dikoordinasi,” kata Egi yang merujuk dakwaan persidangan.
Agar proyek itu mulus, Andi meminta para politisi tersebut mendorong penggantian Dirjen Dukcapil yang saat itu dijabat Rasyid Saleh. Andi mendesak Rasyid diganti oleh Irman, yang kala itu berstatus direktur di Kemendagri. Walhasil, Irman pun menjadi Plt. Dirjen Dukcapil dan langsung diarahkan untuk kepentingan proyek.
Kata Egi, gerilya memuluskan proyek ini kian intens ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Bupati Solok Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri.
Para politisi yang terlibat dalam pertemuan dengan Andi di sebuah restoran di kawasan Jakarta Selatan itu, mengatur strategi siapa saja pihak yang harus didekati agar proyek ini lancar. Mereka adalah insitusi sekaliber Badan Anggaran, Kementerian Keuangan dan Kemendagri.
Andi yang menjadi katalisator antara Kemendagri dan DPR meminta Irman menemui Ketua Fraksi Golkar, Setya Novanto. “Di sini, pertemuan awal antara pihak Kemendagri dengan pimpinan DPR selaku pihak yang menyetujui anggaran,” kata Egi.
Tak lama pertemuan itu, rentang waktu Februari hingga Mei 2010, Komisi Pemerintah DPR membahas proyek e-KTP beserta anggarannya. Rapat di DPR menyepakati sejumlah hal krusial, seperti memutuskan anggaran Rp 384 miliar untuk pemutakhiran data penduduk dan pemberian nomor induk.
“Anggarannya kan kurang lebih Rp 384 miliar untuk dua input proyek itu dan anggaran pengadaan KTP disepakati Rp 2,46 triliun pada APBN 2011 dan Rp 3,8 triliun pada 2012,” jelas Egi.
Politisi Demokrat yang berada di Badan Anggaran DPR, yakni Mirwan Amir, kata Egi, diminta Anas Urbaningrum untuk membahas dan memberi persetujuan atas angka tersebut.
Adapun Badan Anggaran baru menyetujui pengajuan anggara triliunan itu pada September 2010 dengan skema memakai kas tahun jamak. “Nah setelah keluar anggaran, barulah dibagi-bagi,” beber Egi.
Rinciannya, Rp 2,6 triliun sebagai modal kerja, Rp 2,5 triliun sebagai keuntungan. Kata Egi, keuntungan proyek kemudian dibagi-bagi untuk pejabat Kementerian, anggota DPR, dan konsorsium pemenang tender.
Egi masih ingat betul dakwaan jaksa yang menyebut sediktinya ada 60 anggota DPR periode 2009-2014 menerima gelontoran duit untuk memuluskan penganggaran proyek e-KTP.
“Kan ada dari pimpinan DPR, Ketua Badan Anggaran hingga pimpinan komisi pemerintah termasuk di dalamnya 37 anggotanya. Nilanya dari satu miliar sampai puluhan miliaran rupiah menurut jaksa,” tuturnya.
Sementara Ombudsman RI mengendus adanya potensi maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik khususnya terkait dengan pelayanan penerbitan dan pencetakan KTP elektronik (KTP-el) pada kelompok masyarakat di daerah tertinggal, masyarakat adat dan anak asuh yang sudah wajib KTP di panti asuhan.
Temuan potensi maladministrasi itu tercantum dalam kajian Ombudsman, yang sudah diserahkan ke pihak Kemendagri pada akhir Desember 2024. Pimpinan Ombudsman RI, Jemsly Hutabarat mengatakan potensi maladministrasi terkait inklusivitas dalam pelayanan KTP terjadi di 8 provinsi, yang meliputi 10 kabupaten/kota.
Jemsly menjelaskan terdapat beberapa potensi maladministrasi diantaranya potensi maladministrasi dalam perjanjian kinerja sesuai dengan Keputusan Mendagri No. 100.4.6-635 Dukcapil Tahun 2024. Dalam beleid itu, Kemendagri mesti menyelesaikan pendataan dan perekaman NIK penduduk.
“Target capaian kinerja penyelesaian perekaman dan pencetakan KTP-el belum secara jelas membedakan antara capaian pencetakan KTP-el pertama kali dengan pencetakan KTP-el karena perubahan data atau penggantian KTP-el dan belum optimalnya sebagian pelayanan administrasi kependudukan di desa terkait dengan penyelesaian masyarakat yang belum memiliki NIK,” kata Jemsly.
Lain itu, Ombudsman juga menemukan adanya keterbatasan akses lokasi dan sarana prasarana perekaman dan pencetakan KTP-el dimana pelayanan pencetakan KTP-el sebagian besar hanya dapat dilakukan di Kantor Disdukcapil.
Padahal, berdasarkan Permendagri No. 120 Tahun 2017 tentang Unit Pelaksana Teknis Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab/Kota menyebutkan bahwa UPT Disdukcapil Kab/Kota atau tempat pelayanan KTP-el di kecamatan memiliki kewenangan untuk menerbitkan KTP-el.
Dari temuan di lapangan, beberapa alat rekam dan cetak KTP-el rusak dan usia alat yang sudah lama mengakibatkan penurunan pemanfaatan penggunaan dan menghambat perekaman data penduduk. “Sehingga saat melakukan perekaman dan pencetakan harus dibatasi jumlah penggunanya," ucap Jemsly.
Adapun keterbatasan yang ditemukan Ombudsman mulai dari keterbatasan akses karena kondisi geografis, keterbatasan anggaran jemput bola, jaringan internet yang mempengaruhi proses pengiriman dan penyimpanan data penduduk di Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
Menurut Jemsly, temuan ini sudah masuk sebagai potesni maladministasi. "Terhadap temuan tersebut, Ombudsman RI memberikan beberapa saran untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya maladministrasi pada proses perekaman dan pencetakan KTP-el dalam mewujudkan inklusivitas dalam pelayanan KTP-el," tandas dia.
Sekadar tahu, bahwa Proyek E-KTP adalah proyek di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Proyek ini telah dimulai sejak 2006. Pada saat itu, Kemendagri telah menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional.
Kemendagri juga menyiapkan dana senilai Rp 258 miliar untuk biaya pemutakhiran data kependudukan seluruh Indonesia demi pembuatan e-KTP berbasis NIK pada 2010.
Kasus ini terendus berkat laporan Muhammad Nazaruddin, terpidana 7 tahun kasus suap proyek Wisma Atlet kepada KPK. Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu mengklaim telah menyampaikan informasi tentang sejumlah kasus korupsi kepada KPK, termasuk dugaan mark-up proyek e- KTP tersebut.
Elza Syarief, pengacara Nazaruddin, mengklaim proyek e-KTP itu senilai Rp 5,8 triliun dengan mark-up sebesar 4-5 persen. Elza mengatakan terdapat indikasi gratifikasi berkaitan dengan proyek tersebut. “Juga bagi- bagi uang pada sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat,” kata dia saat itu.
Setelah melakukan serangkaian penyelidikan, KPK menemukan kerugian negara sebesar Rp 2,314 triliun gara-gara proyek ini.
Setelah melakukan berbagai penyelidikan sejak 2012, KPK saat itu akhirnya menetapkan sejumlah tersangka, beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi DPR. Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana dan Setya Novanto.
Topik:
KPK EKTP E-KTP Korupsi E-KTP