Budi Karya dan Fredie Tan dalam Pusaran Kasus BUMD DKI Jakarta

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 7 Desember 2025 5 jam yang lalu
Mantan Menteri Perhubungan (Menhub) yang juga mantan Dirut PT Jakpro, Budi Karya Sumadi (Foto: Dok MI/Antara)
Mantan Menteri Perhubungan (Menhub) yang juga mantan Dirut PT Jakpro, Budi Karya Sumadi (Foto: Dok MI/Antara)

Jakarta, MI - Di balik kemegahan Ancol, pada tahun 2019 silam sempat dikejutkan 3 perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut). 

Pertama, gugatan Nomor 791/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Utr didaftarkan tanggal 9 Desember 2019, PT Mata Elang Internasional Stadium sebagai penggugat.

Untuk tergugat adalah Budi Karya Sumadi (mantan Direktur Utama PT Jakarta Propertindo) dan Fredie Tan  Awi (pemilik PT.Wahana Agung Indonesia Propertindo). Sementara turut tergugat adalah PT. Pembangunan Jaya Ancol Tbk.

Kedua, gugatan Nomor 779/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Utr., didaftarkan tanggal 3 Desember 2019. PT. Mata Elang Internasional Stadium juga sebagai penguggat. Untuk tergugatnya adalah PT. Wahana Agung Indonesia Propertindo.

Ketiga, gugatan Nomor 772/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Utr., didaftarkan tanggal 2 Desember 2019. Lagi-lagi PT. Mata Elang Internasional Stadium sebagai penggugatnya.

PT. Wahana Agung Indonesia Propertindo dan Fredie Tan sebagai tergugat dan Edison Lingga turut tergugat.

Selain perkara perdata, ternyata ada juga perkara praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor 148/Pid.Pra/2019/PN JKT.SEL yang didaftarkan pada tanggal 26 November 2019 dengan objek praperadilan sah atau tidaknya penghentian penyidikan terhadap Fredie Tan alias Awi dalam tindak pidana penipuan pasal 378 KUHPidana dengan Pemohon atas nama Hendra Lie 

Sementara pihak Termohon adalah Kapolda Metro Jaya Cq Ditreskrimum Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Kala itu, kuasa hukum PT. Mata Elang Internasional Propertindo, Tonin Tachta Singarimbun pada Kamis, (12/12/2019) silam menyatakan bahwa sejak tanggal 26 Mei 2014 kegiatan konser di Ancol tersebut dihentikan dengan dilakukannya penggembokan ramp pintu masuk kedalam Stadium Musik ABC di area PT. Pembangunan Jaya Ancol Tbk., tersebut dan setelah berlalu 5  tahun.

Maka PT. Mata Elang Internasional Propertindo menunjuk kuasa hukumnya dari Andita’s Law Firm untuk mengajukan sengketa secara perdata dan secara pidana agar kerugian yang telah dialami akibat investasi sekitar Rp 300 miliar pada tahun 2011 – 2012 dapat kembali.

"Karena telah merasa adanya perbuatan wanprestasi, perbuatan melawan hukum dan perbuatan pidana pemalsuan surat/membuat keterangan palsu/menyembunyikan keadaan sebenarnya dalam akta otentik, menggunakan surat palsu, penipuan dan penggelapan yang terjadi dengan pelaku dugaan pidana Fredie Tan selaku pribadi dan pengurus perseroan sebagaimana diuraikan dalam memori gugatan perdata dan laporan polisi di SPKT Bareskrim Mabes Polri dengan Surat Tanda Terima Laporan Nomor: STTL/0573/XII/2019/BARESKRIM sebagai Laporan Polisi Nomor: LP/B/1040/XII/2019/BARESKRIM tanggal 10 Desember 2019 dalam tindak pidana Penipuan/ Perbuatan Curang UU Nomor 1 tahun 1946 tentang KUHP pasal 378 KUHP, Penggelapan UU Nomor 1 tahun 1946 tentang KUHP pasal 372 KUHP," jelas Tonin.

Sebagaimana dikutip dari perkara pidana dan perdata tersebut ternyata Fredie Tan alias Awi membuat modusnya dengan membuat perseroan yaitu:

1. PT. Putra Teguh Perkasa Propertindo,

2. PT. Wahana Agung Indonesia (WAI) dengan Akta Notaris Daniel Parganda Marpaung no. 86 tgl. 20-08-2001, SK Pengesahan : C-13482 HT.01.01.TH.2001 tgl. 16-11-2001,

3. PT. Paramitha Bangun Cipta Sarana (PBCS) oleh Notaris Edison Jingga SH nomor 19 tgl 10/12/2003, SK Menteri Hukum dan HAM nomor: C-01517 HT.01.01.TH.2004 tgl 20/01/2004

4. PT. Wahana Agung Indonesia Propertindo (WAIP) dengan Akta Notaris Edison Jingga SH no. 55 tgl. 16-11-2006, SK Pengesahan : W7-02741 HT.01.01-TH.2007 tgl. 20-03-2007.

PT  Putra Teguh Perkasa Propertindo pada tanggal 12 Januari 2004 dengan surat nomor 001/Prop/PTPP/I/04 perihal Pengembangan Ancol Beach Mall and Convention Center mengajukannya kepada Turut Tergugat yang mana surat tersebut ditanda tangani oleh Ali Yoga Setiawan selaku Direktur Utama dan dengan terjadinya pergantian Direktur Utama PT. Pembangunan Jaya Ancol Tbk menjadi Budi Karya Sumadi maka dapat dibuat Akta oleh Notaris Sutjipto SH Mkn., Nomor 50 tgl. 10-08-2004 Tentang Pembangunan, Pengalihan dan Pengoperasian Music Stadium di Area PT. Pembangunan Jaya Ancol Tbk., dengan Fredie Tan sebagai Direktur Utama PT. Paramitha Bangun Cipta Sarana dengan jangka waktu 25 tahun. 

"Dan ternyata Fredie Tan tidak dapat melakukan pembangunan konstruksi Music Stadium maka oleh Budi Karya Sumadi dengan menyuruh Bambang Riyanto MM pada tanggal 17 Oktober 2006 dengan surat no. 291/DIR-PJA/X/2006 memutus/pengakhiran kerjasama dengan PT Paramitha Bangun Cipta Sarana dengan segala akibat hukumnya paling lama tanggal 16 November 2006," ungkap Tonin.

Tonin menilai ada kejanggalan dalam peristiwa penandatanganan Akta oleh Notaris Sutjipto SH Mkn., Nomor 50 tgl. 10-08-2004 Tentang Pembangunan, Pengalihan dan Pengoperasian Music Stadium di Area PT. Pembangunan Jaya Ancol Tbk., oleh Fredie Tan dan Budi Karya Sumadi.

Sementara pengakhiran/pemutusan kontrak antara Harjanto Widjaja dengan Bambang Riyanto dan kejanggalan tersebut menjadi terjawab dengan lahirnya kembali Akta Notaris Sutjipto SH nomor 208 tanggal 26-04-2007 tentang Pengalihan Kerjasama Pembangunan, Pengalihan dan Pengoperasian Music Stadium di Area PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk.

Itu ditanda tangani oleh 3 pihak yaitu: PT. Pembangunan Jaya Ancol diwakili oleh Budi karya Sumadi Direktur Utama dan Djumhana Tjakrawiralaksana selaku Direktur dan Winarto selaku Direktur dengan PT Paramitha Bangun Cipta Sarana (PBCS) diwakili oleh Sim Antony Komisaris PBCS dan mewakili PBCS sebagai kuasa dari Harjanto Widjaja selaku Direktur Operasional berdasarkan Surat Kuasa dibawah tangan tanggal 26 April 2007 dan Fredie Tan selaku Direktur Utama PT. Wahana Agung Indonesia. 

Menurut Tonin, hal ini menjadi jelas saat pemutusan keduanya menguasakan kepada orang lain agar dapat masuk lagi Fredie Tan dengan baju perusahaan yang dan melakukan tanda tangan dengan Budi Karya Sumadi selaku Direktur Utama 4 bulan kemudian (16-11-2006 ke 26-04-2007). 

"Tidak diketahui mengapa setelah akta nomor 2008 tersebut dibuat perjanjian di bawah tangan tentang Pengalihan Kerjasama Pembangunan, Pengalihan dan Pengoperasian Musik Stadium (Build, Transfer, Operate) di Area PT. Pembangunan Jaya Ancol Tbk., tanggal 28 Agustus 2009 antara PT. Pembangunan Jaya Ancol Tbk. diwakili oleh Budi Karya Sumadi selaku Direktur Utama, Wishnu Subagia Yusuf selaku Direktur dan Winarto selaku Direktur dengan PT. Wahana Agung Indonesia (WAI) diwakili oleh Johnson Yaptonaga dan Bernardi Lukmansyah selaku Direktur yang mana juga ke-2 penandatangan juga selaku Direktur pada WAIP, dan PT Wahana Agung Indonesia Propertindo (WAIP) diwakili oleh Fredie Tan yang mana juga selaku Direktur Utama pada WAI," beber Tonin.

Lantas apa sebenarnya yang menyebabkan dan ada kesepakatan dapat terjadinya Fredie Tan berganti payung perseroan dan dengan mudahnya PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. diwakili oleh Budi Karya Sumadi mau melakukannya sehingga dari Akta Notaris dapat menjadi perjanjian di bawah tangan?

Menurut Tonin keadaan 4 perseroan, adanya putus sambung Fredie Tan dengan Budi Karya Sumadi yang tidak pernah dijelaskan oleh Notaris Edison Jingga dalam Akta nomor 78 tanggal 21 Maret 2012 tentang perjanjian sewa menyewa antara Fredie Tan dan Hendri Lie masing-masing sebagai Direktur Utama telah berakibat kliennya kena tipu.

Sehingga mau menginvestasikan sampai sekitar Rp 300 miliar dari tahun 2011-2012 dan kena tipunya menjadi nyata saat tanggal 26 Mei 2014 jalan masuk telah ditutup dengan menggembok ramp dan dikuatkan lagi mengenai tidak didukungnya klien untuk mendapatkan HO (Ijin Gangguan) akibat PT. Wahana tidak mau memenuhi syarat untuk mendapatkan HO dimaksud dan memperkeruh keadaan ini dengan membuat laporan kepada Polisi dan Satpol PP klien tidak memiliki HO.

"Sehingga dengan hanya berjalan sekitar 2 tahun kontrak sewa lantai 3, 4 dan 5 dari 25 tahun yang disepakati sementara investasi yang dibuat untuk jangka waktu 25 tahun bukan untuk 3 tahun maka perbuatan melawan hukum, wanprestasi dan perbuatan pidana secara patut diajukan secara terbuka," ungkap Toni.

Lebih lanjut, Toni menyatakan bahwa berdasarkan laporan keuangan PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk., yang dipublikasikan maka dapat dibaca mengenai pergerakan dari tahun ke tahun mengenai perjanjian yang ditanda tangani oleh Budi Karya Sumadi dengan Fredie Tan termasuk kewajiban Rp 80 miliar perseroan yang diwakili oleh Fredie Tan kepada PT. Pembangunan Jaya Ancol yang terbayar 40 milyar dan mengenai sisanya tidak pernah tersebut, demikian juga dengan adanya pengalihan Rp 40 miliar tersebut ke rekening Escrow.

"Sehingga dapat dipergunakan dan tidak diketahui lagi kemana uang tersebut dicatatkan dalam laporan tahunan dan ditemukan juga laporan pengalihan asset yang di BOTkan tersebut menjadi investasi propersti dalam laporan tahunan tersebut," kata Tonin.

Konsekuensi beralihnya pencatatan/pembukuan tersebut menurut Julianta Sembiring Gurukinayan selaku kuasa hukum PT MEIS menjadi tidak jelasnya sekarang kerja sama/ perjanjian dibawah tangan oleh 3 pihak pada tanggal 28 Agustus 2009 antara PT. Pembangunan Jaya Ancol Tbk. dengan PT. Wahana Agung Indonesia (WAI) dan PT. Wahana Agung Indonesia Propertindo (WAIP)..

"Sehingga jelas, PT. MEIS yang tidak pernah lagi dapat beroperasi sejak Mei 2014 dibuat untuk hengkang tanpa pernah dapat kembali investasinya sekitar Rp 300 miliar, sehingga diakhir tahun 2019 menuju tahun 2020 akan dilakukan perlawanan secara hukum," kata Julianta.

Fredie Tan muncul di persidangan

Direktur Utama PT Wahana Agung Indonesia Propertindo (Ancol Beach City) Fredie Tan alias Awi yang sempat menjadi tersangka Kejaksaan Agung (Kejagung) pada tahun 2014 soal kasus dugaan korupsi tampil sebagai saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) pada Kamis (17/7/2025) lalu. 

Saat itu, dia hadir bersama saksi lain bernama Salim Saputra dalam sidang perkara pidana Nomor: 457/Pid.Sus/2025/PN.Jkt.Utr, yang justru menyeret peniup peluit (whistleblower) Hendra Lie (HL) sebagai terdakwa atas tuduhan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE.

Dalam kesaksiannya, Fredie Tan menyatakan tidak mengetahui dirinya pernah menjadi tersangka kasus korupsi. Padahal, kuasa hukum (whistleblower) Hendra Lie (HL), Hendri Yosodiningrat dan tim, menunjukkan bukti penetapan tersangka atas nama Fredie Tan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara berdasarkan surat Nomor: 53/Pen.Pid/2015/PN.Jkt.Utr. 

Penetapan tersebut pernah menjadi dasar izin penggeledahan sebelum penyidikan dihentikan Kejaksaan Agung RI pada 2015 tanpa penjelasan.

Hendra menjadi terdakwa setelah menyampaikan informasi dalam sebuah podcast yang dipandu Rudi S. Kamri. Dalam siaran itu, HL mengungkap berbagai dugaan korupsi yang melibatkan Fredie Tan, termasuk temuan maladministrasi oleh Ombudsman RI terkait kerja sama antara PT. Pembangunan Jaya Ancol (PT. PJA) dan PT. WAIP milik Fredie Tan.

Meski LAHP Ombudsman No. 0173/LM/IV/2020/JKR tertanggal 20 Mei 2020 menyarankan peninjauan ulang kerja sama karena potensi kerugian negara dan praktik bisnis BUMD yang tak sehat, Fredie Tan membantah isi podcast dan menyebut dirinya tak pernah diperiksa oleh Ombudsman. Padahal, fokus LAHP adalah tata kelola PT. PJA, bukan perorangan.

Fredie Tan bahkan mengklaim mengalami kerugian hingga Rp20 miliar akibat podcast tersebut. Namun, klaim itu tidak disertai bukti kuat dalam persidangan. Ia juga sempat berupaya membangun narasi sebagai korban dengan meminta belas kasihan hakim, meski sebelumnya mengaku dalam kondisi sehat.

Selain soal Ancol, HL juga mengungkap informasi mengenai kerja sama PT. Graha Agung Karya Utama—perusahaan milik Fredie Tan—dengan PD. Pasar Jaya dalam pengelolaan pasar HWI/Lindeteves. 

Menurut Rekomendasi Ombudsman tahun 2014, kerja sama tersebut merugikan ratusan pedagang kecil karena praktik sewa gedung yang tidak adil.

Hendra juga menyampaikan informasi dari berbagai sumber termasuk media online bahwa Fredie Tan pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi lain, namun dibebaskan Kejaksaan Agung pada 2014 tanpa alasan yang jelas. 

Selain itu, Fredie Tan diduga melakukan penggelapan aset dalam kerja sama dengan PT. Jakarta Propertindo (Jakpro), yang disinyalir merugikan negara hingga belasan triliun rupiah.

Atas dasar informasi yang disampaikan secara terbuka demi kepentingan publik, Hendra juga seharusnya memperoleh perlindungan sebagai whistleblower, sesuai prinsip jurnalisme dan UU Pers yang menjamin kerahasiaan narasumber. 

Di lain sisi, Hendra juga telah melaporkan kasus-kasus ini ke Ombudsman, KPK, Komisi Kejaksaan, hingga Kemendagri melalui kuasa hukumnya dan lembaga anti-korupsi Kompak Indonesia.

Sementara Hendri Yosodiningrat saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com pada Minggu (7/12/2025) membenarkan apa yang disampaikan di atas. "Ya itulah ceritanya," singkat Yoso sapaannya.

Desakan untuk KPK dan Gubernur DKI Jakarta

Ketua Kompak Indonesia, Gabriel Goa, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung agar mengusut tuntas kasus dugaan korupsi dan maladministrasi sesuai hasil temuan Ombudsman RI pada perusahaan BUMD di Pemda DKI Jakarta. 

Gabriel menyebut, perusahaan BUMD yang diduga terlibat dalam perkara Tipikor tersebut yakni PT. Jakarta Propertindo (Perseroda), PD Pasar Jaya, dan PT. Pembangunan Jaya Ancol Tbk.

Perusahaan-perusahaan tersebut, kata Gabriel, diduga melakukan kerjasama dengan setidaknya 7 perusahaan swasta dengan pemiliknya diduga atas nama Fredie Tan (FT).

"Ketujuh perusahaan tersebut telah bekerjama dengan perusahaan BUMD milik Pemda DKI Jakarta dalam kurun waktu antara tahun 2002 sampai dengan saat ini," kata Gabriel, Jumat (20/6/2025).

Adapun temuan Ombudsman RI sudah disampaikan dalam bentuk Rekomendasi Ombudsman RI dan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang sudah disampaikan kepada pemerintah DKI Jakarta pada tahun 2014 dan 2020, namun belum ada penyelesaian yang tuntas.

Menurutnya, modus operandi dugaan korupsi dan maladministrasi tersebut yakni melakukan penggelapan aset, kerjasama pembangunan dan pengelolaan aset dengan harga jauh di bawah harga pasar dan menjual dengan harga yang sangat tinggi (markdown), kerja sama dengan penunjukkan langsung tanpa ada lelang atau tender, penggelapan pajak.

Selain itu, diduga ada keterlibatan mantan Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Budi Karya Sumadi, Direktur Keuangan hingga mantan pejabat Kejagung.

Adapun Direktur Keuangan dan oknum pejabat Kejaksaan Agung tersebut diketahui juga menjabat sebagai komisaris pada perusahaan milik Fredie Tan.

Dalam kasus tersebut kerugian negara ditengarai mencapai kurang lebih belasan triliun rupiah, mencakup sejumlah aset yang terletak:

1. Sentra Industri PIK
2. Jalan Kamal Muara Penjaringan
3. Town Office Home Office/TOHO
4. Mutiara Pluit
5. Samudera Raya Nomor 1A Ex Pondok Tirta
6. Fasilitas Umum di Muara Karang Blok 4Z8
7. Hotel Permata Indah
8. Rumah Susun Blok MN Pluit
9. Pacuan Kuda Pulomas (Pulomas Horse Race)
10. Bangunan Ex Diskotic Lucky Star
11. Ruko di Taman Permata Indah Ruko
12. Fasilitas Umum di Pluit, Jakarta Utara
13. Pengelolaan Pasar HWI/Lindeteves
14. Kerja sama pembangunan dan pengelolaan Gedung ABC di kawasan PT Pembangunan Jaya Ancol

Menurutnya, terkait dengan salah satu kerja sama pembangunan dan pengelolaan aset antara perusahaan BUMD dan perusahaan swasta dimaksud, pernah terjadi pengusutan dan penetapan tersangka korupsi atas nama Fredia Tan pada tahun 2014, oleh Kejagung.

Akan tetapi, kasus tersebut kemudian dihentikan penyidikannya oleh Kejaksaan Agung RI tanpa alasan yang jelas. 

"Patut diduga terdapat keterlibatan oknum pejabat Kejaksaan Agung RI pada saat itu yang juga menjabat sebagai komisaris pada salah satu perusahaan milik FT. Kasus tersebut telah menjadi sorotan publik dan pemberitaan media massa pada saat itu, namun kemudian tenggelam tanpa ada kejelasan," jelasnya.

Dengan demikian, di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, Kompak mendesak agar kasus ini dituntaskan. “Kami minta Gubernur Pramono segera mengevaluasi tata kelola BUMD, dan KPK mengusut secara transparan semua pihak yang terlibat. Jangan sampai kerugian keuangan negara terus berlanjut,” tandas Gabriel.

Adapun laporan Kompak sudah disampaikan ke gubernur DKI dan KPK sejak Maret 2025, namun hingga kini belum ada tindak lanjut.

Sekadar tahu bahwa nama Budi Karya juga muncul dalam sidang kasus dugaan korupsi di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) pada 13 Januari 2025. 

Dalam persidangan itu, seorang pejabat Kemenhub menyebut pada 2019, Budi Karya memberi tugas khusus untuk mengumpulkan dana Rp 5,5 miliar guna kebutuhan pemilihan presiden. Kini KPK berencana akan memeriksa Budi Karya lagi.

Monitorindonesia.com telah berupaya meminta konfirmasi dan/atau komentara kepada Budi Karya Sumadi, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, Direktur Utama PT Jakpro Iwan Takwin hingga Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu. Namun hingga tenggat waktu berita ini diterbitkan, mereka belum memberikan respons. 

Topik:

Budi Karya Sumadi Fredie Tan Awi PT Jakarta Propertindo Jakpro Ancol Korupsi BUMD DKI Jakarta KPK Kejagung Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung