Malam Tahun Baru Identik Bakar-bakar, Apa Dampaknya?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 31 Desember 2023 02:16 WIB
Ilustrasi - Bakar sate di malam tahun baru (Foto: MI/Net/Ist)
Ilustrasi - Bakar sate di malam tahun baru (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Malam pergantian tahun, dari 2023 ke 2024 tinggal beberapa jam lagi. Di malam tahun baru nanti, tidak lengkap rasanya tanpa bakar-bakar. Pecinta kuliner dengan pengolahan dibakar, seperti ikan bakar, ayam bakar, atau sate, mungkin setelah ini, harus mengurangi frekuensi sering mengonsumsi makanan yang dibakar.

Walaupun rasanya sangat nikmat, ada bahaya di balik pengolahan makanan tersebut.

Di lain sisi, tradisi tiap tahun ini ternyata dapat mempegaruhi perubahan iklim. Apalagi bakar-bakar dengan arang. Sebagaimana dikutip Monitorindonesia.com, Minggu (31/12) dari Washinton Post, penelitian di seluruh dunia telah menemukan bahwa beberapa hal buruk yang dimasukkan ke dalam arang, termasuk logam berat. 

Produksi arang juga merupakan penyebab utama deforestasi di banyak negara tropis.

Brasil, produsen arang terbesar di dunia, bersama Nigeria, Tanzania, dan Republik Kongo membuka lahan hutan untuk perkebunan kayu, bahan produksi arang. Setiap orang kiranya mempunyai preferensi pribadi mengenai jenis pemanggang yang ingin digunakan.

Namun, jika menyangkut dampak lingkungan, masih belum jelas apakah pemanggang berbahan bakar gas atau arang yang lebih ramah lingkungan. Mengutip Good Housekeeping, analisis yang dilakukan para ahli di Universitas Illinois menyoroti fakta bahwa arang mengeluarkan dua kali lipat emisi karbon ketika dibakar dibanding propana yang digunakan untuk menyalakan gas.

Propana sendiri berasal dari bahan bakar fosil dan akan ada dampak lingkungan terkait proses pemurniannya. Namun, laporan ini juga mencatat bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) dari alat pemanggang, baik arang maupun gas, hanya menyumbang sebagian kecil dari total emisi GRK.

Barbekyu, kata fisikawan Greg Blonder, adalah tentang asap, dan hampir semua orang salah paham. "Saya memulai ilmu pangan 20 tahun lalu karena saran dalam buku masak yang salah," katanya. "Itu melanggar termodinamika atau tidak ada bukti di balik pernyataan tersebut. Seluruh bidang ini lemah berdasarkan kenyataan. Itu adalah kumpulan ide-ide buruk."

Menurut Blonder, inti dari memasak dengan arang, adalah menciptakan jenis asap yang tepat untuk memberi rasa khas pada makanan. Karenanya, jika berencana mengolesi iga dengan saus yang dibeli di toko atau menumpuk burger dengan mustard, saus tomat, bawang bombai, dan bahan lain, itu mungkin enak, tapi Anda tidak memerlukan asap.

Asap untuk memberi rasa terbaik, menurut perkiraannya, dihasilkan bara kayu keras dengan suhu antara 343 dan 399 derajat celcius. "Barbekyu, menurut sebagian besar definisi, berarti memasak dengan api kecil dan lambat, serta secara tidak langsung mematikan api," kata Blonder. "Tujuannya adalah api dari kayu berpendar merata dan memberi rasa smoky."

Bongkahan kayu keras merupakan "arang asli." Namun, arang tidak harus berasal dari pohon. Ini adalah karbon yang mudah terbakar, yang mana bisa diubah dengan tanaman atau bahan organik yang dipanaskan dalam lingkungan rendah oksigen.

Arang di dalamnya terbuat dari kayu yang memenuhi standar terkait pengelolaan hutan bertanggung jawab, pelestarian keanekaragaman hayati, dan perlakuan adil terhadap pekerja.

Tidak hanya dari pemanggang, dalam rangkaian bakar-bakar, hindari penggunaan plastik sekali pakai. Peralatan makan sekali pakai memang berarti lebih sedikit mencuci, namun juga berarti lebih banyak sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 35,93 juta ton timbulan sampah pada 2022. Jumlah tersebut naik 22, 04 persen dari 29,44 juta ton sampah pada 2021.

Dari jumlah tersebut, 22,45 juta ton atau 62,49 persen di antaranya telah terkelola. Sisanya, ada 37,51 persen atau 13,47 juta ton sampah yang belum terkelola sepanjang tahun lalu. Menurut jenisnya, mayoritas timbulan sampah pada 2022 berupa limbah makanan dengan proporsi 40,5 persen, disusul 17,9 persen sampah plastik.

Secara data, produksi plastik di seluruh dunia tercatat meningkat dan telah menciptakan lebih banyak polusi. Kepala Lingkungan Hidup PBB pun memperingatkan bahwa manusia tidak bisa hanya mendaur ulang untuk keluar dari permasalahan sampah.

Japan Today telah menyerukan perubahan total dalam menggunakan plastik. Direktur Program Lingkungan Hidup PBB, Inger Andersen, menggarisbawahi pentingnya menghilangkan sebanyak mungkin plastik sekali pakai. "Menghilangkan hal-hal yang sejujurnya tidak diperlukan, seperti benda-benda yang dibungkus plastik yang sama sekali tidak ada gunanya," katanya mengutip AFP.

Selain itu, juga disarankan menekan volume sampah makanan. Sekitar sepertiga makanan yang diproduksi secara global untuk konsumsi manusia dibuang begitu saja. 

Hal ini merupakan pemborosan besar sumber daya yang digunakan untuk memproduksinya, dan apapun yang berakhir di TPA dapat mengeluarkan metana saat membusuk.

Badan Standar Makanan Inggris merekomendasikan agar makanan yang telah dikeluarkan dari lemari es selama empat jam atau lebih harus dibuang. Karena itu, segera simpan sisa makanan ke lemari es secepat mungkin untuk membantu memastikan makanan tersebut tidak terbuang percuma.

Sementara itu, mengutip World Economic Forum, tercatat bahwa sekitar sepertiga dari semua makanan yang diproduksi hilang atau terbuang setiap tahun, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Karenanya, salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan PBB adalah mengurangi separuh limbah pangan global.

Juga, mengurangi kehilangan pangan dalam produksi dan pasokan pada 2030. Sebuah studi menilai emisi kehilangan dan pemborosan makanan di setiap rantai pasokan, mulai dari saat makanan dipanen hingga berakhir di TPA atau kompos.

Bahaya Konsumsi Makanan yang Dibakar

Selain berdampak pada perbuhan iklim, bakar-bakar juga ternyata berdampak pada tubuh. Yakni makanan yang yang dibakar itu. Menutip dari lama resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ayosehat.kemenkes.go.id, berikut bahaya terlalu sering mengonsumsi makanan yang dibakar:

Kanker

Makanan yang pengolahannya dengan cara dibakar bisa menyebabkan kanker. Kandungan protein pada ayam, ikan, dan daging dapat bereaksi dengan suhu tinggi dari pembakaran dan membentuk senyawa karsinogenik.

Senyawa inilah yang dapat merusak komposisi DNA dalam gen Anda, sehingga dapat memicu perkembangan sel kanker. Untuk mengurangi pembentukan senyawa tersebut, dapat merendam daging dalam bumbu tradisional dan alami serta menghindari memasak daging dalam waktu lama pada suhu tinggi.

Kandungan gizi menghilang

Kandungan protein tinggi terdapat pada semua jenis daging. Protein dibutuhkan tubuh sebagai sumber energi. Namun, pengolahan dengan cara dibakar pada suhu yang tinggi bisa menghilangkan kandungan protein tersebut. 

Langkah pencegahannya adalah membakar daging pada suhu rendah atau dengan api kecil dalam jangka waktu yang lama agar seluruh bagian daging dapat matang secara lebih merata tanpa menghilangkan kandungan protein.

Asam lambung

Kinerja lambung menjadi lebih berat ketika mencerna makanan yang dibakar, sehingga asam lambung menjadi naik dan meningkat. Oleh karena itu, orang yang memiliki penyakit lambung dan maag tidak disarankan untuk terlalu sering mengonsumsi makanan yang dibakar.

Cacing yang masih tertinggal dalam daging

Proses memasak daging dengan dibakar tidak sepenuhnya membuat daging matang dengan sempurna. Hal ini dapat menimbulkan potensi cacing atau larva/telur cacing yang masih hidup di dalam daging tersebut.