Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) di Perpres No 59 Tahun 2024

Timboel Siregar - Koordinator Advokasi BPJS Watch

Timboel Siregar - Koordinator Advokasi BPJS Watch

Diperbarui 13 Mei 2024 19:56 WIB
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch (Foto: Ist]
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch (Foto: Ist]

PERATURAN Presiden (Perpres) No. 59 tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memang mengatur KRIS dengan ruang perawatan mengarah ke satu ruang perawatan dengan maksimal 4 tempat tidur, dan 12 kriteria ruangan.

Pelaksanaan KRIS dilakukan secara bertahap hingga 1 Juli 2025. Tentunya selama proses pentahapan ini pelayanan kelas 1, 2 dan 3 masih berjalan. Mengenai iuran dan pelaksanaan teknis KRIS akan diatur lagi dalam Permenkes.

Menurut saya pelaksanaan KRIS nantinya akan menjadi masalah bagi peserta JKN dan menjadi kontraproduktif. Beberapa alasan yang dibangun adalah:

1. Pelaksanaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) berpotensi akan menghambat akses peserta JKN pada ruang perawatan. Pelaksanaan KRIS akan merujuk pada PP no. 47 tahun 2021, yang di pasal 18-nya disebutkan RS Swasta dapat mengalokasikan ruang perawatan KRIS minimal 40 persen dari total yang ada, dan RS Pemerintah minimal mengalokasikan 60 persen.

Bila sebuah RS swasta mengalokasikan 50 persen, maka itu sudah memenuhi PP no. 47 tersebut. Jadi yang bisa diakses peserta JKN hanya 50 persen sementara 50 persen lagi untuk pasien umum.

Demikian juga bila RS Pemerintah memasang 80 persen untuk KRIS maka 80 persen untuk pasien JKN dan 20 persen untuk pasien umum.

Ini artinya terjadi pembatasan akses bagi peserta JKN ke ruang perawatan di RS. Saat ini saja, dimana ruang perawatan kelas 1, 2 dan 3 diabdikan semuanya untuk pasien JKN, masih terjadi kesulitan mengakses ruang perawatan, apalagi nanti dengan KRIS. Akan terjadi ketidakpuasan untuk layanan JKN dari peserta JKN.

2. Iuran peserta Mandiri akan menjadi satu (single tarif) karena satu ruang perawatan sehingga iuran kelas 1 dan 2 akan turun, seementara kelas 3 akan naik. Bagi kelas 1 dan 2 akan membayar lebih rendah sehingga menurunkan potensi penerimaan iuran, sementara kelas 3 yang naik akan berpotensi meningkatkan peserta yang menunggak.

3. Akan terjadi ketidakpuasan bagi peserta Penerima Upah swasta dan Pemerintah yang selama ini kelas 1 dan 2, yang ruang perawatannya dua atau tiga tempat tidur.

4. RS swasta akan mengalami kesulitan modal untuk merenovasi ruang perawatan sesuai KRIS. Kalau RS pemerintah tinggal nunggu alokasi APBN atau APBD. Seharusnya Pemerintah memberikan pinjaman tanpa bunga bagi RS swasta untuk merenovasi ruang perawatannya.

Sebelum lahirnya Perpres 59 ini, kami sudah meminta Pemerintah melibatkan masyarakat peserta JKN dalam pembuatan regulasi KRIS. Namun Pemrerintah jalan sendiri. Kami sudah meminta Pemerintah mengkaji ulang KRIS dengan melakukan standarisasi ruang perawatan klas 1, 2 dan 3, bukan membuat KRIS menjadi satu ruang perawatan.

Saat ini KRIS sudah diregulasikan di Perpres 59 tahun 2024 dan oleh karenanya Pemerintah (Kemenkes dan Dinkes) dan BPJS Kesehatan harus memiliki program untuk memastikan peserta JKN mendapat kemudahan dalam mengakses ruang perawatan. 

Tidak boleh ada lagi peserta JKN mengalami kesulitan mengakses ruang perawatan, sehingga menjadi pasien umum yang bayar sendiri. JKN jadi tidak bisa digunakan.

Bila di sebuah RS memang kamar perawatannya penuh, Pemerintah (Kemenkes dan Dinkes) dan BPJS Kesehatan harus segera mencarikan RS yang mampu merawatnya, dan merujuk ke RS tersebut, dengan ambulan yang dibiayai JKN. Jangan biarkan pasien JKN atau keluarganya yang mencari sendiri RS yang bisa merawat mereka.

Sayangnya, di Perpres 59 ini tidak ada klausula yang mewajibkan Pemerintah (Kemenkes dan Dinkes) serta BPJS Kesehatan yang mencarikan RS yang bisa merawat, bila pasien JKN mengalami masalah di sebuah RS.

Saya berharap di Permenkes KRIS nanti klausula tersebut disebutkan secara eksplisit, sehingga Pemerintah dan BPJS Kesehatan benar-benar menjamin pasien JKN mudah mengakses ruang perawatan KRIS.