Permintaan Maaf Jokowi Tidak Menghilangkan Pidana, Apabila Ada

Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Diperbarui 3 Agustus 2024 2 jam yang lalu
Joko Widodo (Jokowi) (Foto: Istimewa)
Joko Widodo (Jokowi) (Foto: Istimewa)

JOKOWI menyampaikan minta maaf kepada masyarakat Indonesia. Jokowi memberi alasan, bahwa tidak ada manusia yang sempurna, sehingga tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan.

Jokowi minta maaf, karena merasa bersalah, boleh-boleh saja. Tetapi, apakah rakyat mau memaafkan, belum tentu. Mungkin banyak kelompok masyarakat yang tidak bisa menerima permintaan maaf Jokowi. Khususnya mereka yang merasa dijahati, dizholimi, atau dikhianati oleh kebijakan Jokowi. Dan banyak lagi alasan yang membuat masyarakat kelompok tertentu berat memberi maaf kepada Jokowi.

Misalnya, masyarakat kelompok bawah mungkin tidak bisa memaafkan Jokowi karena kebijakannya yang pro oligarki memberi dampak langsung memiskinkan mereka. Seperti, kebijakan memberi insentif bebas PPN untuk kendaraan bermotor tetapi menaikkan pajak PPN konsumsi (dari 10 persen menjadi 11 persen). Atau menaikkan harga BBM (bersubisidi) pada September 2022 di tengah kenaikan penerimaan negara yang cukup tinggi, mencapai hingga 40 persen.

Terlepas dari reaksi masyarakat, permintaan maaf seseorang tidak bisa menghapus kesalahan atau pelanggaran tindak pidana. Bahkan dalam hal pelanggaran hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidananya, seperti diatur Pasal 4 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31/1999): Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Untuk hal ini, masyarakat mencatat, Jokowi terindikasi melanggar cukup banyak peraturan perundang-undangan, termasuk pelanggaran konstitusi, yang tidak bisa dihapus dengan permintaan maaf.

Pertama, Jokowi terindikasi menetapkan UU dengan melanggar konstitusi, antara lain UU IKN, UU Cipta Kerja, PERPPU (UU) Covid-19. Ada dua konsekuensi atas pelanggaran konstitusi ini. 1) Kalau terbukti melanggar konstitusi, maka pelanggar konstitusi termasuk kategori pengkhianat negara, sesuai definisi di penjelasan Pasal 169 huruf d, UU tentang Pemilu. 2) Kalau pelanggaran konstitusi mengakibatkan kerugian keuangan negara, maka termasuk tindak pidana korupsi dan diancam pidana.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti apakah dugaan masyarakat benar, bahwa antara lain UU IKN, UU Cipta Kerja, UU (PERPPU) Covid-19 melanggar konstitusi, dan apakah merugikan keuangan negara.

Konsep otorita di dalam UU IKN diduga melanggar konstitusi Pasal 18. Karena, menurut pasal 18, bentuk pemerintah daerah adalah Provinsi, Kabupaten dan atau Kota, dengan kepala daerah masing-masing dinamakan Gubernur, Bupati atau Walikota, yang dipilih secara demokratis, dan mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang juga dipilih secara demokratis.

Maka itu, pemerintah daerah dalam bentuk Otorita, dengan kepala daerah dinamakan Kepala Otorita, yang diangkat oleh Presiden, serta tidak mempunyai Dewan (DPRD), secara nyata melanggar konstitusi. Sebagai konsekuensi, anggaran negara (APBN) yang dikeluarkan untuk Otorita IKN, kemungkinan besar, merugikan keuangan negara, dan karena itu diancam pidana.

Kemudian, UU (PERPPU) Cipta Kerja terindikasi juga melanggar konstitusi, karena pada akhir tahun 2022 tidak ada kegentingan memaksa yang dapat dijadikan dasar penetapan PERPPU Cipta Kerja. Dalam hal ini, Jokowi diduga melakukan manipulasi faktor “kegentingan memaksa”.

Selain itu, penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menggunakan UU Cipta Kerja sebagai dasar hukum, juga melanggar konstitusi, yaitu melanggar Hak Asasi Manusia, Pasal 28H. Khususnya, apabila penetapan PSN digunakan sebagai dasar untuk mengusir masyarakat setempat secara paksa, seperti yang sedang terjadi di PIK 2.

Pasal 28H ayat (1) UUD berbunyi:
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Pasal 28H ayat (4) UUD berbunyi:
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Kalau dugaan pelanggaran konstitusi seperti dijelaskan di atas terbukti, dan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, maka Jokowi dapat dicap sebagai pengkhianat negara, dan dapat diancam pidana. Permintaan maaf Jokowi tidak bisa menghapus kesalahan pidana tersebut.