Krisis Radioaktif Cikande Bukti Negara Kecolongan di Gerbang Industrinya Sendiri

Iskandar Sitorus - Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

KRISIS kontaminasi radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Cikande, Serang, Banten, bukan sekadar kecelakaan industri. Ia adalah cermin 20 tahun kegagalan negara dalam pengawasan limbah berbahaya dan perdagangan bahan bekas impor (scrap metal).
Dari pelabuhan hingga pabrik, dari kementerian teknis hingga pengelola kawasan industri, semuanya ikut membiarkan satu hal: negara kehilangan kendali atas bahan berisiko tinggi yang kini meracuni tanah dan reputasi Indonesia.
Potret kegagalan pengawasan negara
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) telah memastikan: 22 fasilitas industri di Cikande terpapar zat radioaktif Cs-137. Zat ini berumur paruh 30 tahun dan lazim digunakan di fasilitas nuklir, medis, dan industri baja luar negeri. Artinya, bahan berbahaya itu masuk ke Indonesia melalui impor scrap metal yang lolos dari pemeriksaan radiasi.
Kelemahan ini bukan baru terjadi.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Semester II Tahun 2011, disebutkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup belum memiliki sistem deteksi dini yang memadai terhadap masuknya limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari luar negeri, termasuk bahan logam bekas yang berpotensi mengandung radioaktif.
Peringatan itu berulang lagi dalam LHP BPK tahun 2018 atas Kinerja Pengawasan Limbah B3, yang menegaskan tidak terdapat basis data nasional yang terintegrasi antara KLHK, BAPETEN, dan Bea Cukai untuk memantau pergerakan limbah B3 lintas pelabuhan.
Dan akhirnya diperkuat dalam LHP BPK tahun 2020, yang menyebutkan secara eksplisit: “Kementerian LHK belum memiliki mekanisme lintas lembaga yang efektif dalam pengawasan limbah B3 lintas negara, khususnya bahan scrap impor yang berpotensi mengandung zat radioaktif dan belum memiliki SOP deteksi dini di pelabuhan utama.”
Krisis Cikande adalah buah dari pembiaran selama dua dekade itu. Negara membiarkan sistem rusak tanpa koreksi nyata.
Dasar hukum dan tanggung jawab negara
Konstitusi di pasal 28H ayat 1 UUD 1945 menjamin hak warga atas lingkungan hidup yang sehat.
Ketika radiasi Cs-137 menyebar di kawasan industri dan sekitarnya, itu bukan kecelakaan biasa, melainkan pelanggaran hak konstitusional warga.
Dasar hukum untuk menjerat pihak yang lalai sudah sangat jelas:
1. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menegaskan prinsip strict liability, bahwa pelaku pencemaran wajib bertanggung jawab bahkan tanpa pembuktian kesalahan.
2. UU No. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran mewajibkan izin penyimpanan dan penggunaan bahan radioaktif.
3. PP No. 61 tahun 2013 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif mengatur tanggung jawab penuh operator dan pemerintah.
4. UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara mewajibkan pejabat negara menanggung kerugian akibat kelalaian jabatan.
Maka KLHK, BAPETEN, Bea Cukai, serta pengelola kawasan industri Cikande tak bisa lepas dari tanggung jawab hukum dan keuangan negara.
Potensi kerugian negara dan ekonomi
Kerugian negara bersifat multidimensi, terhadap fiskal dan keuangan negara, maka berdasar simulasi BPK dalam LHP 2022 tentang Pengelolaan Limbah B3 Nasional, biaya remediasi dan dekontaminasi lahan terpapar radioaktif berkisar Rp300–600 miliar per lokasi.
Sehingga dengan 22 fasilitas terpapar, potensi kerugian negara dapat mencapai Rp6–13 triliun.
Terhadap ekonomi dan reputasi ekspor, setelah kasus Cs-137 mencuat, FDA Amerika Serikat memperketat pengawasan terhadap ekspor udang dan rempah Indonesia, itu dua sektor bernilai USD 2,1 miliar per tahun.
Dalam LHP BPK 2017 dan 2021, tercatat lemahnya sistem pengawasan mutu ekspor hasil laut dan pangan olahan, yang kini berujung pada hilangnya kepercayaan internasional.
Bagi sosial dan ekologis radiasi Cs-137 berumur paruh 30 tahun dan dapat mencemari tanah serta air tanah. Dalam LHP Kinerja BPK tahun 2018 atas BAPETEN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ditemukan lemahnya sistem pengawasan terhadap peredaran sumber radiasi dan limbah bahan berbahaya beracun (B3), termasuk dalam mekanisme inspeksi terhadap industri dan impor bahan logam bekas.
Lemahnya pengawasan yang tercatat dalam audit BPK tersebut kini menemukan manifestasi nyatanya dalam krisis kontaminasi Cs-137 di Cikande, yang menjadi bukti konkret dari kelalaian institusional lintas tahun.
LHP BPK Kinerja 2018 menyebut bahwa lemahnya transparansi pemerintah dalam menangani pencemaran berisiko tinggi “menyebabkan penurunan rasa aman publik dan meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.” Artinya, kerugian psikologis dan sosial tak kalah berat dari kerugian fisik.
Lebih jauh, BPK juga mencatat lemahnya koordinasi antara BAPETEN, KLHK, dan Kementerian Perdagangan dalam pengawasan barang impor yang berpotensi mengandung zat radioaktif atau limbah industri berbahaya.
Pengawasan di pelabuhan dan kawasan industri masih bersifat administratif, bukan berbasis risiko. Hal inilah yang membuka celah masuknya scrap logam terkontaminasi ke dalam negeri tanpa terdeteksi dini.
Kelemahan pengawasan yang sudah diperingatkan oleh BPK sejak 2018 kini terbukti nyata akibat bahan baku impor yang lolos dari pengawasan. Ini bukan sekadar insiden teknis, tetapi buah langsung dari kelalaian struktural yang sudah lama diidentifikasi namun diabaikan.
Kerugian keuangan negara
Dari sisi keuangan negara, kejadian ini memenuhi unsur kerugian negara akibat kelalaian pejabat publik, sebagaimana diatur dalam UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 1 tahun 2004 tentang Keuangan Negara.
Dalam konteks ini, pejabat pengawas lintas kementerian, mulai dari BAPETEN, KLHK, hingga Bea Cukai, dapat dimintai pertanggungjawaban administratif dan bahkan pidana apabila terbukti lalai hingga menimbulkan dampak kerugian nyata.
Secara sosial dan psikologis, krisis Cs-137 ini menimbulkan ketakutan publik yang mendalam. Bagi pekerja industri dan masyarakat sekitar, stigma “terpapar radiasi” menciptakan trauma dan rasa tidak aman terhadap lingkungan kerja.
Masyarakat sekitar kawasan industri kini hidup dalam bayang-bayang risiko yang tidak kasat mata. Ketidakpastian dan ketakutan ini adalah bentuk nyata dari kerugian non-fiskal akibat kelalaian pengawasan negara.
Krisis ini menjadi cermin kegagalan sistemik lintas lembaga, bukan hanya dalam aspek hukum dan tata kelola, tetapi juga dalam tanggung jawab moral negara terhadap keselamatan rakyatnya.
Karena itu, penerapan pasal-pasal hukum pidana lingkungan, ketenaganukliran, hingga keuangan negara harus dijalankan secara simultan, agar tidak ada celah bagi siapapun untuk berkelit dari tanggung jawab.
Siapa yang bisa dijerat hukum?
Krisis ini membuka ruang penegakan hukum yang sangat kuat. Penegak hukum dapat menjerat korporasi, pejabat publik, dan pihak pengimpor menggunakan kombinasi pasal berikut:
Pertama, pada pasal 98–99 UU No. 32 tahun 2009 (PPLH) bisa menjerat perusahaan pengimpor scrap dan pengelola kawasan industri yang lalai memastikan bahan bebas radiasi. Ancaman hukuman, penjara hingga 10 tahun dan denda Rp10 miliar.
Kedua, dengan pasal 42 dan 45 UU No. 10 tahun 1997 (Ketenaganukliran) bisa menjerat pihak yang menyimpan atau menggunakan bahan radioaktif tanpa izin BAPETEN. Ancaman penjara 5 tahun dan denda Rp500 juta.
Ketiga, UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 1 tahun 2004 dapat menjerat pejabat publik yang lalai hingga menimbulkan kerugian negara. Jika ditemukan unsur kesengajaan atau pembiaran, dapat dinaikkan ke ranah Tipikor (Tindak Pidana Korupsi).
Keempat, pasal 359–360 KUHP bisa menjerat pejabat atau pelaku korporasi yang karena kelalaiannya menyebabkan bahaya bagi nyawa orang lain.
Dengan kombinasi pasal lintas undang-undang ini, tidak ada ruang bagi siapa pun untuk berkelit. Kepolisian, Kejaksaan, bahkan KPK, memiliki dasar hukum kokoh untuk membuka penyelidikan terpadu.
Rantai kelalaian yang harus disidik
Indonesian Audit Watch mendesak penyidik kepolisian untuk menelusuri rantai kelalaian sebagai berikut:
1. Importir scrap metal yang tidak menyertakan sertifikat bebas radiasi.
2. Pejabat Bea Cukai yang lalai melakukan uji radiasi di pelabuhan.
3. Pejabat BAPETEN yang lalai memverifikasi izin penyimpanan bahan radioaktif.
4. Kementerian LH dan BKPM atas lemahnya koordinasi pengawasan bahan impor.
5. Manajemen Kawasan Industri Cikande yang membiarkan aktivitas tanpa pengujian lingkungan berkala.
Seluruh mata rantai ini dapat dijerat secara kolektif dalam konsep corporate crime sebagaimana diatur Pasal 116 UU PPLH.
Dampak psikologis dan sosial
Bagi masyarakat sekitar, krisis ini menimbulkan trauma ekologis. Rasa takut terhadap air, tanah, dan udara kini menjadi keseharian.
Dalam LHP BPK Kinerja 2018, ditemukan bahwa kurangnya komunikasi risiko dan keterbukaan informasi dalam penanganan pencemaran “mengakibatkan meningkatnya rasa cemas publik dan melemahkan kepercayaan terhadap institusi negara.” Cikande kini adalah contoh hidup dari kalimat itu.
Rekomendasi Indonesian Audit Watch
1. Audit investigatif nasional oleh BPK terhadap KLHK, BAPETEN, Bea Cukai, dan BKPM.
2. Penyidikan khusus oleh Bareskrim Polri dengan dasar Pasal 98–99 UU PPLH dan Pasal 42 UU Ketenaganukliran.
3. Penerapan tanggung jawab korporasi sesuai pasal 116 UU PPLH agar direksi dan komisaris turut bertanggung jawab hukum.
4. Pembentukan Satgas Nasional Dekontaminasi Cs-137 di bawah Presiden.
5. Pendampingan psikososial dan kompensasi bagi warga terdampak langsung.
6. Audit kebijakan perdagangan scrap metal impor oleh Kementerian Perdagangan dan Kemenkeu.
7. Diplomasi perdagangan aktif untuk memulihkan reputasi ekspor Indonesia di pasar global.
Dua dekade pembiaran harus berakhir
Krisis Cs-137 bukan bencana alam, melainkan bencana administrasi dan pengawasan.
Sejak LHP BPK pertama kali mengingatkan pada 2005 hingga kini, negara gagal memperbaiki sistem lintas lembaga. Kini waktunya hukum bekerja tanpa pandang bulu.
Presiden Prabowo Subianto memikul tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan Indonesia tidak menjadi negara yang kalah oleh kelalaiannya sendiri. Jika hukum gagal lagi menegakkan keadilan dalam kasus Cikande, maka sejarah akan mencatat: kita bukan hanya tercemar secara radioaktif, tapi juga secara moral.
Topik:
Cikande