Partai Gelora Indonesia Menggugat Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 25 Februari 2022 23:34 WIB
Monitorindonesia.com - Partai Gelora Indonesia mengajukan gugatan berupa uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK), terhadap Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1). Gugatan tersebut, diajukan oleh Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta bersama Wakil Ketua Umum Fahri Hamzah dan Sekretaris Jenderal Mahfuz Sidik, pada Kamis (24/2/2024) petang dengan Nomor: 27/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022, dan telah tercatat dalam situs resmi Mahkamah Kontitusi. Amin Fahrudin selaku Ketua Bidang Hukum dan HAM DPN Partai Gelora Indonesia dalam keteranganya, Jumat (25/2/2022), mengatakan bahwa Partai Gelora berharap agar Pemilu 2024 tidak digelar serentak, karena ada preseden buruk pada pemilu 2019 adanya kematian sembilan ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara KPPS. "Selain itu, hasil Pemilu serentak yang diselenggarakan pada 2019 lalu, menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi. Ancaman tersebut kita rasakan belakangan ini, dimana mekanisme check and balance tidak berjalan dengan baik. Kekuasaan Presiden sebagai eksekutif begitu kuat mencengkeram DPR sebagai lembaga legislatif," kata Amin. Hal itu, menurut Amin, terjadi antara lain dalam pengesahan UU Cipta Kerja (Ciptaker) pada November 2020 lalu, yang telah mengubah begitu banyak aspek dunia usaha, ketenagakerjaan, pendidikan dan sebagainya. Apalagi secara formil UU Ciptaker telah dinyatakan konstitusional bersyarat oleh MK, karena menyalahi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3), sehingga berujung pada revisi. Proses legislasi yang mengikuti kemauan eksekutif juga terjadi pada pengesahan UU Ibu Kota Negara (IKN) baru pada 18 Januari 2022. Karena penyusunan UU tersebut tercepat, yakni selama 25 hari berlangsung saat masa reses dan diselesaian dalam waktu 42 hari, tanpa melibatkan partisipasi publik dalam proses penyusunan UU. "Ini menjadi bukti nyata betapa proses legislasi sebagai salah satu fungsi DPR tidak dijalankan dengan baik. Terkesan DPR tunduk pada pesanan eksekutif," katanya sembari menambahkan bahwa dari akar persoalan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 secara serentak antara Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg), yang juga akan diterapkan pada Pemilu 2024 ini, telah menciptakan berbagai persoalan. "Sebab, Pemilu serentak menyebabkan pemilih lebih berfokus pada pemilihan presiden. Hal ini bisa dilihat pada perbandingan suara tidak sah dalam pelaksanaan Pemilu 2019, dimana suara tidak sah untuk Pilpres mencapai 2,38% (3.75.905 suara). Sementara suara tidak sah untuk pemilihan anggota DPR mencapai 11,12% (29.710.175 suara) dan suara tidak sah untuk pemilihan anggota DPD mencapai 19,02% (17.503.393 suara)," bebernya. Bahkan, masih menurut Amin, Pemilu serentak memecah perhatian pemilih dimana perhatian lebih tertuju pada pemilihan presiden dibandingkan pemilihan anggota DPR maupun DPD. Pemilih datang pada bilik suara yang sama namun perbandingan suara tidak sah sangat jauh antara Pilpres dan Pileg. Karena itu, Partai Gelora menilai kenyataan ini jelas merugikan bagi keberlangsungan demokrasi. "Anggora legislatif yang terpilih bisa jadi adalah residu dari perhatian masyarakat yang tersedot pada Pilpres. Dampaknya kita rasakan saat ini dimana DPR tidak mampu mengimbangi presiden dalam proses jalannya pemerintahan. Presiden dapat melaksanakan kehendaknya secara bebas dan secara mudah mendapatkan stempel legitimasi dari DPR," tandasnya. Bukan itu saja, lanjut Amin, Pemilu serentak juga menyebabkan hilangnya nyawa petugas PPS dan PPK sebanyak 894 petugas PPS meninggal dunia dan 5.175 orang petugas pemilu mengalami sakit berat dalam Pemilihan Umum serentak 2019. Di samping itu, alasan keserentakan Pemilu untuk efisiensi anggaran juga tidak terbukti, karena faktanya dalam penyelenggaraan Pemilu serentak pada tahun 2019 justru terdapat pembengkakan biaya Pemilu, dimana total anggaran penyelenggaraan pemilu 2019 berjumlah Rp25,59 Triliun, naik Rp 10 Triliun dari anggaran pemilu tahun 2014. Partai Gelora berharap dukungan penuh dari masyarakat agar upaya melakukan reformasi sistem politik demi menjaga keberlangsungan demokrasi, dapat memberikan hasil yang baik dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. Uji materi Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ke MK ini dipimpin Amin Fahrudin selaku Ketua Tim Pengacara Partai Gelora Indonesia, beranggotakan Aryo Tyasmoro, Slamet, Andi Saputro, Guntur F Prisanto dan Ahmad Hafiz. (Ery)