Cegah Pemborosan Anggaran Negara dalam Pengelolaan Vaksin

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 1 Maret 2022 11:18 WIB
Monitorindonesia.com - Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati meminta pemerintah mencegah terjadinya pemborosan anggaran negara dalam pengelolaan vaksin. "Jangan sampai jumlah dosis vaksin kadaluarsa bertambah banyak karena anggaran negara sudah digunakan dalam proses penerimaan, distribusi hingga penyimpanan," ujar Politikus PKS itu dalam keterangan tertulis, Selasa (01/3/2022). Meskipun vaksinnya gratis, kata dia, tapi proses dari diterima, distribusi hingga penyimpanan memakai anggaran negara. "Kalau akhirnya kadaluarsa dan tidak bisa digunakan bisa mubazir sekaligus pemborosan anggaran negara. Harus dipertimbangkan mata rantai hingga proses vaksinasi dari sisi kadaluarsanya," tandasnya. Untuk menyiasati persoalan tersebut, Mufida mendorong agar percepatan vaksinasi terus dilakukan. Sebab hingga 27 Februari 2022, baru sembilan provinsi yang sudah mencapai vaksin lengkap dosis kedua. “Secara nasional saja kita masih kurang sedikit untuk vaksin lengkap dua suntikan baru 69 persen. Bahkan ada tiga provinsi yang cakupan vaksin dosis pertamanya di bawah 70 persen yakni Maluku, Papua Barat dan Papua. Artinya masih ada warga negara Indonesia yang masuk dalam program vaksin tapi belum mendapat satupun dosis vaksin,” ungkap Mufida. Ia menyebut percepatan vaksinasi bisa dilakukan dengan beberapa cara. Beberapa jenis vaksin yang mendekati kadaluarsa bisa digunakan sebagai vaksin booster yang capaiannya baru 4,7 persen secara nasional. “Kemarin sudah ada percepatan untuk Lansia vaksin booster cukup menunggu tiga bulan sejak vaksin kedua tidak harus enam bulan. Ini bisa dikaji untuk petugas publik dan kelompok rentan lainnya bisa tidak cukup tiga bulan jaraknya untuk booster. Tapi ini harus melalui kajian sains dan kesehatan, jika memungkinkan kenapa tidak dilakukan,” ujar Mufida. Strategi kedua guna menghindari kemubaziran adalah mengukur diri dan realistis dengan mempertimbangkan dari faktor distribusi dan penyimpanan ke 34 provinsi yang medannya tidak sama serta kesiapan tenaga vaksinator. “Negara-negara Afrika saja berani menolak saat mau diberikan vaksin gratis yang tanggal kadaluarsanya tidak lama lagi dengan alasan realistis. Kita juga seharusnya bisa mengukur kemampuan penggunaan Vaksin agar tak terjadi kemubaziran. Vaksin ini bukan hal yang baru, seharusnya kita bisa lebih berpengalaman. Mampu tidak mengjangkau wilayah yang luas dengan waktu yang tersedia. Ini persoalannya dengan penggunaan anggaran negara. Kalau memang tidak mampu berani untuk menolak,” beber Mufida. Mufida juga meminta untuk daerah-daerah yang cakupannya masih kecil agar dilakukan pendekatan sesuai kulturalnya dan dengan komunikasi intensif kepada tokoh masyarakat setempat. Hal ini berhasil ia lakukan saat turun ke daerah-daerah dan melakukan pendekatan ke tokoh setempat agar bersedia dilakukan vaksinasi di daerah tersebut. “Butuh pendekatan persuatif dan intensif memang akhirnya butuh ketelatenan. Seperti di Papua masih minim sekali capaiannya bisa lakukan dengan pendekatan kultur,” tandas Mufida. (Aswan)
Berita Terkait