PDIP Dinilai Siap "KO" Pilkada Jakarta, Ini Sebabnya

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 31 Agustus 2024 21:23 WIB
Kantor DPP PDI Perjuangan (Foto: Dok MI/Aswan)
Kantor DPP PDI Perjuangan (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Beberapa pengamat politik menilai PDIP sudah “siap kalah” alias KO di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta dengan mencalonkan Pramono Anung dan Rano Karno sebagai jagoannya. Kenapa bukan Ahok atau Anies?

Pesaing utama Pranowo dan Rano adalah Ridwan Kamil-Suswono atau pasangan RIDO yang didukung koalisi gemuk gabungan 15 parpol yaitu PKS, Golkar, PKB, PAN, NasDem, Demokrat, PPP, PSI, Gelora, Perindo, Partai Garuda, PKN, Prima, dan PBB.

Analis komunikasi politik dari Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio menilai, kans kemenangan RIDO lebih besar dibandingkan pasangan Pramono-Rano.

Salah satunya karena pasangan RIDO ikut didukung PKS yang menjadi parpol nomor satu dalam perolehan suara termasuk kursi parlemen di Jakarta pada pemilu legislatif 2024. PKS memperoleh 1 juta suara, dan 18 kursi di parlemen.

“Karena kekuatannya RK (Ridwan Kamil) sebetulnya ada di Suswono-nya, ada di PKSnya,” kata Hendri, Sabtu (31/8/2024).

Di sisi lain, PDIP akan tetap setia pada “DNA-nya”, yakni mengutamakan kadernya maju sebagai bakal cagub Jakarta. Urusan menang-kalah, belakangan.

“Mereka memang biasanya siap kalah. Jadi yang penting kader saja yang maju,” katanya.

Di sisi lain, kata Hendri, ada juga kemungkinan hitung-hitungan politik Megawati Soekarnoputri untuk “menurunkan tensi” di tengah ketegangan internal partai dalam menentukan pilihan bakal cagub Jakarta antara Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Kedua orang ini adalah rival Pilkada Jakarta 2017 silam. Oleh karena itu, memunculkan nama Pramono adalah jalan tengah. Tapi motif lainnya, mungkin juga ada deal-deal-an (kesepakatan tertentu) sama pemerintah. Tapi itu desas-desus,” beber Hendri.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago menilai, memasang Pramono-Rano untuk memenangkan Pilkada Jakarta adalah “tidak logis”.

Lawan sepadan pasangan RIDO adalah Anies dan Ahok. “Secara logika elektoral nggak masuk akal,” kata Arifki yang melihat koalisi besar di belakang RIDO termasuk elektabilitasnya.

Dilansir dari survei Litbang Kompas pertengahan Juni lalu, Anies Baswedan berada di urutan pertama dalam elektabilitas rujukan gubernur Jakarta.

Anies dipilih 29.08% responden, diikuti politikus PDIP sekaligus mantan gubernur Jakarta Ahok 20% responden. Adapun mantan gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil di urutan ketiga dengan 8.5%.

“Kalau memang Pramono-Rano ini adalah memang kuda hitam untuk bisa menandingi RK-Suswono, ini nggak logis. Makanya banyak penilaian, termasuk saya, melihat bahwa untuk mengalahkan RK itu adalah dengan Anies atau dengan Ahok,” beber Arifki.

Pun, Arifki menganalisis bahwa langkah PDIP mengusung Pramono-Rano sebagai “negosiasi jangka panjang”. Sejauh ini, PDIP ditinggalkan sendirian oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo-Gibran saat Pilpres 2024 lalu.

Belakangan KIM diperkuat dengan bergabungnya PKB, NasDem dan PKS. “Tentu banyak variabel yang menyebabkan bahwa PDIP akan berhitung lebih baik ke depan. Karena kan permasalahan PDIP selama ini kan dengan Jokowi, bukan dengan Prabowo… Bahwa mencoret Anis, maka ada negosiasi jangka panjang. Apakah masuk kabinet atau lainnya,” kata Arifki

Kenapa tidak Ahok atau Anies?

Selain itu, PDIP tidak memasang Ahok sebagai cagub Jakarta lantaran “bisa memperburuk hubungan PDIP dengan Jokowi dan Prabowo-Gibran. “Artinya ada upaya membentuk matahari Jakarta… (memasang) Ahok adalah simbol perlawanan kepada pemerintah pusat,” kata Arifki.

“Makanya saya rasa ini pencalonan PDIP di Jakarta mengusung Pramono Rano ini sebuah formalitas dan menghargai kader, dan juga agar PDIP tidak terpecah untuk melihat komunikasi politik jangka panjang berkomunikasi dengan Prabowo-Gibran," sambungya.

Anies, menurut dia, terlalu berisiko bagi PDIP. Musababnya, mantan gubernur DKI Jakarta ini bukanlah kader, dan belum tentu mau jadi bagian dari PDIP. Selain itu, Anies juga punya catatan “clash negatif” dengan Prabowo.

Memilih Anies, kata Arifki, juga akan mengganggu konstelasi politik di tahun 2029. Jika berlayar di Pilkada Jakarta dan menang, maka Anies akan menjadi lawan kuat dari Prabowo, Gibran, Puan Maharani, termasuk Ganjar Pranowo dan Ahok pada Pilpres 2029.

“Makanya mematikan kartu Anies lebih awal itu menguntungkan semua pihak. Apakah pihak di internal PDIP atau pihak di partai lain,” lanjut Arifki.

PDIP yakin menang

Di sisi lain, Sekretaris Tim Pemenangan Pilkada PDIP, Aria Bima menepis segala spekulasi soal pencalonan Pramono-Rano. Kata dia, “Tidak ada partai, apalagi ketua umum PDI Perjuangan yang merekomendasikan calon kepala daerah itu tidak untuk menang”.

Soal keyakinan bakal menang, Aria punya argumentasi. Ia menyinggung Pilkada Jakarta 2012 silam saat Jokowi melawan pesaing terberat Fauzi Bowo dan Pilkada Jawa Tengah 2013 di mana Ganjar Pranowo bersaing dengan Bibit Waluyo.

Kata Aria, contoh kedua pilkada ini lembaga survei meleset memproyeksikan pemenangnya. Pada Pilkada 2012 Jokowi keluar sebagai pemenang, begitupun Ganjar Pranowo–meski dalam survei suara mereka tidak begitu gemilang. “Saya yakin ada keraguan wajar, tapi justru keraguan itu yang ingin kita jawab selama dua bulan ini,” katanya.

Banteng utamakan kadernya

Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mengatakan, penunjukan Pramono-Rano oleh PDIP ini mengindikasikan bahwa partai banteng mengutamakan kadernya. "Artinya persoalan kalah atau menang itu adalah hasil dari suatu kerja-kerja politik di ujung," katanya, Rabu (28/8/2024).

Terlebih lagi, Adi melihat adanya kecenderungan dari PDIP di pelbagai pertarungan politik, yang menjadikan kader sebagai pemain utama. Ia mengungkapkan, keputusan mengusung kadernya sendiri di Jakarta ini tidak mengherankan. "PDIP sering disebut sebagai partai kader, kan," ucapnya.

Selain itu, Adi mengatakan bahwa PDIP ingin menunjukkan tidak terbuai dengan elektabilitas tinggi yang dimiliki oleh sosok Anies Baswedan. Ia menyebut kemungkinan PDIP menang di Pilkada Jakarta menjadi lebih besar jika mengusung Anies.

"Tapi bagi PDIP itu bukan hal penting ternyata. Karena untuk apa usung Anies, orang luar (partai), yang tak bisa, misalnya, diminta komitmen untuk memperjuangkan PDIP di masa mendatang," katanya.

Adi juga menilai, adanya perbedaan pandangan antara partai banteng dengan Anies. Menurut dia, batalnya PDIP mengusung Anies karena partai tersebut menganggap iman politiknya berbeda. "Karena memang konfrontasi politik di Pilkada 2017 sepertinya meninggalkan bekas luka yang sampai hari ini belum dihilangkan," tandasnya. (an)

Topik:

PDIP Pilkada Jakarta Rano Karno Pranowo Anung Ridwan Kamil Suswono