Revisi UU Pemilu, Komisi II DPR Dorong DKPP Lepas dari Kemendagri

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 4 Februari 2025 19:34 WIB
Mohammad Toha (dok. MI)
Mohammad Toha (dok. MI)

Jakarta, MI – Rencana revisi Undang-Undang Pemilu dinilai sebagai kesempatan emas untuk memperbaiki sistem politik nasional. Salah satu isu yang mencuat adalah usulan pemisahan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sebagaimana disampaikan oleh anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, Mohammad Toha.

Toha menegaskan bahwa selama DKPP masih berada di bawah Kemendagri, independensinya akan terus dipertanyakan. Sebagai lembaga yang menangani etika penyelenggara pemilu, DKPP seharusnya benar-benar mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan eksekutif.

"Saya meragukan independensi DKPP dalam menangani pelanggaran kode etik KPU dan Bawaslu jika masih di bawah Kemendagri. Sangat mudah bagi kementerian untuk mengintervensi putusan DKPP. Ini situasi yang tidak sehat, maka harus segera dipisahkan," ujar Toha, Selasa (4/2/2025).

Lebih lanjut, Toha menjelaskan bahwa secara hukum, DKPP memiliki kedudukan setara dengan KPU dan Bawaslu sebagai lembaga independen. Namun, kenyataannya DKPP masih berada dalam struktur Kemendagri. “KPU dan Bawaslu sudah berjalan sesuai jalurnya, tetapi status DKPP masih keliru. Ini harus diperbaiki, dan revisi UU Pemilu menjadi momen yang tepat untuk memastikan DKPP berdiri sebagai lembaga independen,” tambahnya.

Mantan Wakil Bupati Sukoharjo dua periode itu juga mendorong DKPP untuk mengambil langkah hukum jika diperlukan. “Kalau memang ada masalah dalam regulasi, DKPP bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Bagaimana mungkin lembaga yang bertugas menegakkan kode etik bisa bekerja optimal jika masih berada di bawah kementerian?” katanya.

Toha juga menyoroti adanya pemangkasan anggaran DKPP sebagai dampak dari kebijakan Presiden Prabowo Subianto melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025. Anggaran DKPP yang sebelumnya Rp 86 miliar dipotong drastis menjadi Rp 30 miliar.

"Untuk sebuah lembaga semi peradilan, pemangkasan anggaran hingga 75 persen itu tidak masuk akal. Saya tidak menemukan alasan rasionalnya," tegasnya.

Dalam laporan yang diterima DPR, DKPP mengaku mengalami kendala dalam menjalankan persidangan akibat keterbatasan anggaran. Banyak perkara yang menumpuk dan tidak bisa diselesaikan tepat waktu. Namun, Toha juga mengingatkan agar DKPP tetap profesional dalam menangani kasus.

“Tidak boleh ada lembaga peradilan yang menunda-nunda perkara. Harus ada kepastian hukum. DKPP juga tidak boleh tebang pilih dalam menangani kasus,” tandasnya.

Sebagai anggota DPR empat periode, Toha mengapresiasi beberapa keputusan DKPP yang tegas dalam menjatuhkan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik. Namun, ia tetap mengingatkan agar DKPP tetap menjaga netralitas dan transparansi.

"Kami memantau setiap putusan yang dibuat oleh DKPP. Jika ada indikasi ketidakwajaran, kami tidak akan ragu untuk menindaklanjutinya," pungkasnya.

Topik:

DPR DKPP Pemilu Politik