Kena Pukulan Beruntun, PDIP Melawan!
Jakarta, MI - Pada 14 Desember, PDI-P resmi memecat Joko Widodo, presiden ketujuh Indonesia yang telah menjadi kader partai sejak 2014. Salah satu alasannya adalah ia dianggap telah "melakukan kegiatan yang merugikan nama baik dan kepentingan partai".
Di saat yang sama, PDI-P juga memberhentikan dua anggota keluarga Jokowi. Mereka adalah Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi yang kini jadi wakil presiden, dan Bobby Nasution, menantu Jokowi yang belum lama ini memenangkan pemilihan gubernur Sumatra Utara.
Pada 24 Desember, KPK menetapkan Hasto Kristiyanto, sekretaris jenderal PDI-P, sebagai tersangka di dua kasus berbeda.
Di kasus pertama, Hasto disebut menyediakan sebagian uang yang digunakan buron Harun Masiku pada akhir 2019 untuk menyuap Wahyu Setiawan, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), agar memuluskan jalan Harun sebagai anggota parlemen.
Di kasus kedua, Hasto diduga merintangi penyidikan kasus Harun, termasuk dengan mengarahkan saksi agar tidak memberikan keterangan sebenarnya dan meminta penjaga rumahnya menelpon Harun untuk melarikan diri saat operasi tangkap tangan KPK pada Januari 2020.
Juru bicara PDI-P, Chico Hakim, mengatakan kepada berbagai media nasional bahwa penetapan Hasto sebagai tersangka kental dengan "politisasi hukum". KPK menyangkal tudingan ini.
Pada 25 Desember, KPK mengumumkan telah terbit surat keputusan yang melarang Hasto dan Yasonna H. Laoly, ketua DPP PDI-P, bepergian ke luar negeri selama enam bulan.
Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, bilang keberadaan keduanya di Indonesia dibutuhkan untuk penyidikan kasus suap Harun.
Terkait hal itu, pakar ilmu politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) Ardli Johan Kusuma menilai pencekalan terhadap mantan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly, menjadi pukulan beruntun bagi PDI Perjuangan.
“Terlepas dari pembuktian secara hukum terkait keterlibatan Yasonna Laoly dalam kasus suap Harun Masiku, pencegahan terhadap Yasonna ke luar negeri ini dapat dilihat sebagai pukulan beruntun yang diterima PDIP,” ujar Ardli dikutip di Jakarta, Rabu (1/1/2024).
Selain itu, dia mengatakan pencekalan untuk Yasonna, dan ditambah penetapan tersangka terhadap Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto akan berdampak negatif terhadap citra PDIP di mata masyarakat. Oleh sebab itu, dia berpendapat PDIP sebagai salah satu partai besar di Indonesia akan mengambil langkah untuk membela kedua kadernya tersebut.
“Atau bahkan melakukan serangan balik, baik dengan langkah hukum maupun langkah-langkah politik terhadap pihak yang dianggap menjatuhkan PDIP melalui kasus tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand) Prof. Asrinaldi memandang pencekalan terhadap Yasonna menjadi langkah penting bagi kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan Harun Masiku. “Dan itu juga menjadi hal yang perlu diperhatikan bagi yang dicekal,” ujar Asrinaldi dikutip di Jakarta, Jumat (27/12/2024).
Selain itu, Asrinaldi mengatakan tidak ada persoalan terkait pencekalan bepergian ke luar negeri untuk Yasonna.
“Saya pikir itu sudah menjadi prosedur yang benar-benar sudah dilakukan secara baik dan sudah lama. Jadi, tidak ada persoalan menurut saya terkait dengan itu,” kata dia.
Lebih lanjut, ia menjelaskan pencekalan sudah menjadi prosedur bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membatasi perjalanan ke luar negeri agar tidak terdapat gangguan dalam proses pemeriksaan.
Selain Yasonna, KPK juga memberlakukan pelarangan terhadap tersangka kasus tindak pidana korupsi dan perintangan penyidikan, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Adapun Hasto telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) bernomor Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 bertanggal 23 Desember 2024.
Dalam sprindik itu, Hasto disebut terlibat tindak pidana korupsi bersama tersangka Harun Masiku dengan memberikan hadiah atau janji kepada Anggota KPU periode 2017-2022 Wahyu Setiawan terkait penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024.
Kemudian berdasarkan Sprin.Dik/152/DIK.00/01/12/2024 bertanggal 23 Desember 2024, Hasto juga menjadi tersangka perintangan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Harun Masiku tersebut.
Tak lama kemudia, pada 26 Desember, melalui berbagai akun media sosialnya, PDI-P mengunggah video Hasto menanggapi penetapannya sebagai tersangka. Di sana, Hasto bilang PDI-P menghormati keputusan KPK dan "menjunjung tinggi supremasi hukum".
Menurutnya, penetapannya sebagai tersangka adalah "risiko" dari mengkritisi "kekuasaan yang otoriter yang menindas rakyatnya sendiri".
Tak lama setelah video itu beredar, Guntur Romli sebagai juru bicara PDI-P mengatakan Hasto sebenarnya telah membuat puluhan video lain yang akan "membongkar dugaan keterlibatan petinggi-petinggi negara di kasus korupsi".
"Video-video ini, nanti itu kalau diliris akan menggemparkan, akan mengubah peta pemberantasan korupsi, opini publik," kata Guntur saat tampil di gelar wicara "Interupsi", Kamis malam (26/12/2024).
"Ini luar biasa, karena yang akan disebut nama-namanya dan bukti-buktinya nanti sungguh mencengangkan."
Masih di hari yang sama, Connie Rahakundini Bakrie, yang dikenal sebagai pengamat militer dan pertahanan, ikut mengomentari penetapan Hasto sebagai tersangka melalui unggahan di akun Instagram-nya.
Connie mengatakan ia prihatin melihat sahabatnya, Hasto, ditetapkan menjadi tersangka di malam Natal, sementara kasus yang menjeratnya disebut "tidak jelas".
Lebih lanjut, Hasto disebut sempat menitipkan sejumlah "dokumen penting" ke Connie saat nama terakhir pulang ke Indonesia dari luar negeri. Karena itu, katanya, tidak perlu khawatir dokumen-dokumen itu bakal "dihilangkan" pihak tertentu.
"Pada saat saya pulang ke Indonesia, saya dititipin beberapa dokumen penting, dan sudah saya amankan. Saya sudah notariskan di Rusia," kata Connie.
"Ya bisa saja itu jadi bom waktu. Kita lihat saja."
Selanjutnya, pada 28 Desember, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menanggapi ancaman PDI-P membongkar skandal korupsi para pejabat tinggi negara.
"Memangnya ada? Kalau ada, ya disampaikan saja," kata Prasetyo, seraya mengatakan segala tuduhan harus berdasarkan pada fakta dan proses hukum yang jelas.
Pada 30 Desember, Guntur dari PDI-P menyatakan bahwa Connie memang sempat pulang ke Jakarta pada 27 November, saat hari pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak. Bahwa kala itu, Hasto disebut sengaja menitipkan beberapa dokumen ke Connie agar diamankan.
Dokumen-dokumen itu diklaim berisi informasi penting soal penyalahgunaan kekuasaan dan skandal korupsi para pejabat tinggi negara.
Guntur bilang sejumlah data dan analisis di dokumen tersebut merupakan hasil kontribusi Connie dan Andi Widjajanto, yang pernah menjabat sekretaris kabinet (2014-2015) dan penasihat senior Kepala Staf Kepresidenan (2016-2022).
Guntur mengatakan pihaknya tidak mau menyerahkan berbagai video dan dokumen yang ada ke KPK. "Kita enggak percaya. Jangan-jangan kalau kita serahkan dokumen itu malah dugaannya bisa dihancurkan, dihilangkan," katanya.
Lebih baik Hasto merilis video dan dokumen tersebut langsung ke publik. Guntur belum bisa memastikan kapan, apalagi saat ini Hasto disebut masih fokus menghabiskan waktu bersama keluarga di tengah libur Natal dan tahun baru. "Sudah pasti akan dirilis, tapi nanti masih melihat waktunya. Ini adalah perlawanan terhadap kriminalisasi sekjen PDI-Perjuangan."
Di hari yang sama, mantan presiden Jokowi mengatakan tidak ambil pusing soal ancaman Hasto dan PDI-P. Dia bahkan siap memberi keterangan bila dibutuhkan. "Ya diberi keterangan [kalau perlu]," kata Jokowi di kediamannya di Solo, Jawa Tengah.
Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai pernyataan bahwa Hasto Kristiyanto akan merilis video dan dokumen soal skandal korupsi para pejabat tinggi negara hanyalah "gertak sambal".
Menurutnya, pernyataan itu hanyalah reaksi pihak yang terpojok—dalam hal ini PDI-P setelah Hasto jadi tersangka KPK—untuk melakukan serangan balik.
"Ini ingin 'menyerang balik', ingin mengatakan tidak cuma dia yang melakukan permainan-permainan yang berbahaya, yang melanggar hukum. Yang lain-lain juga melakukan pelanggaran, kenapa dia doang yang jadi tersangka? Bahasa kasarnya mungkin 'tiji tibeh': mati siji, mati kabeh," bebernya.
Namun, kata Zaenur, bukan tidak mungkin "gertak sambal" itu berubah jadi kenyataan. Apalagi, PDI-P sudah kepalang basah dan kini menghadapi tuntutan publik untuk merilis bukti-bukti yang dijanjikan.
Bila itu benar terjadi, imbuhnya, publiklah yang akan diuntungkan dari pertengkaran para elite politik. "Elite-elite bertengkar sendiri dan syukur-syukur ya pertengkaran itu bisa membuka borok-borok konsolidasi elite yang dulu dilakukan, bahwa kemudian ternyata ada banyak kejahatan-kejahatan yang saling dilindungi di antara mereka," kata Zaenur.
Gertakan belaka?
Muhammad Fatahillah Akbar, dosen hukum pidana UGM, juga cenderung melihat pernyataan soal video-video skandal korupsi ini sebagai gertakan belaka. Apalagi, katanya, hingga kini belum ada "kisi-kisi" mengenai isi video yang dimaksud atau kasus apa yang bakal disasar.
Guntur Romli hanya mengatakan video-video yang disiapkan Hasto bakal membahas kasus-kasus lama dan baru. Kasus-kasus lama, kata Guntur, adalah kasus dengan nilai kerugian negara miliaran hingga triliunan rupiah yang sudah pernah jadi bahan perbincangan publik, tapi tidak jelas kelanjutannya hingga kini.
Sementara itu, Guntur bilang contoh kasus baru yang bukti-buktinya akan diungkap adalah yang terkait kriminalisasi Anies Baswedan, salah satu calon presiden di pemilu lalu. "Ini lebih besar dari kasus 'Watergate' yang di Amerika Serikat. Kalau 'Watergate' kan jelas, itu penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan, memanfaatkan alat negara, sadap, untuk membunuh lawan politik. Nah, kira-kira yang dilakukan terhadap Anies Baswedan juga seperti itu."
Menanggapi penjelasan Guntur soal kasus kriminalisasi Anies, Zaenur dari Pukat UGM mengatakan: "Itu semua orang juga sudah tahu."
Bagi Fatahillah, ancaman penyebaran video ini tak meyakinkan juga karena rekam jejak Hasto sendiri.
Pada 17 Agustus silam, Hasto sempat memperdengarkan rekaman suara Joko Widodo kepada para wartawan. Rekaman itu seakan menunjukkan bagaimana Jokowi menyalahgunakan hukum untuk mengintimidasi pihak tertentu.
"Kalau masih ada yang main-main, sekali lagi, yang gigit saya sendiri. Lewat cara saya. Bisa lewat KPK? Bisa. Bisa lewat Polri. Bisa lewat kejaksaan. Akan saya bisikin saja, di sana ada yang main-main," kata Jokowi dalam rekaman yang diperdengarkan Hasto itu.
Setelah ditelusuri, ternyata itu adalah rekaman pidato Jokowi dari sebuah acara di Sentul, Bogor, dari November 2019, yang dipotong tanpa konteks.
Lima tahun silam, Jokowi mengatakan hal itu dalam rangka mengingatkan aparat penegak hukum agar tidak "menggigit" pejabat atau pelaku usaha yang sedang berinovasi, misalnya dengan memeras mereka.
Bagaimana membuktikannya?
Agustinus Pohan, pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, juga mempertanyakan pernyataan Connie Rahakundini Bakrie soal dokumen penting titipan Hasto yang katanya sudah diamankan dan "dinotariskan" di Rusia.
"Anda bisa paham enggak, bagaimana bukti dinotariskan? Maksudnya apa?" tanya Agustinus sembari tertawa kecil.
Menurutnya, ada berbagai cara untuk mengamankan bukti berupa dokumen fisik, entah dengan membuat salinannya atau sesederhana mengambil fotonya sehingga ia menjadi bukti elektronik.
"Dalam kaitan dengan tindakan korupsi, bukti elektronik kan juga termasuk alat bukti. Terus di mana masalahnya? Kenapa harus dibawa jauh-jauh ke Rusia? Takut dibakar orang? Foto saja, atau fotokopi," katanya.
Dari sana, Agustinus menilai ucapan Connie tidak mencerminkan kata-kata seorang pengamat atau akademisi. Pernyataan itu, katanya, lebih kental unsur politisnya.
Dan, pernyataan Guntur dari PDI-P soal video-video yang "akan mengubah peta pemberantasan korupsi" pun dilihat sebagai ancaman yang belum jelas kebenarannya.
"Jangan-jangan kan lebih bombastis pernyataannya daripada kasusnya. Kalau ada kejahatan, ya laporkan. Kalau diomongin kan cuma jadi ancam-mengancam," kata Agustinus Pohan, pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan.
Apalagi, kata Agustinus, sekarang PDI-P atau secara lebih spesifik Hasto Kristiyanto tidak bisa mundur lagi. Mau tidak mau, mereka harus melaporkan bukti-bukti yang katanya dimiliki.
"Karena dia sudah menyampaikan di depan publik, maka dia ada tanggung jawab sosial untuk menuntaskannya," ujar Agustinus.
Laporkan ke APH dong!
Zaenur Rohman, peneliti Pukat UGM, juga mengatakan seseorang wajib melaporkan ke aparat penegak hukum bila mengetahui terjadinya tindak pidana, meski tidak ada sanksi bila ia memutuskan tidak melapor.
Pilihannya ada tiga. PDI-P disebut bisa melaporkan ke Polri, Kejaksaan Agung, atau KPK. "Laporan tersebut harus berisi uraian pidana yang telah terjadi beserta alat bukti yang dimiliki," kata Zaenur.
Setelah mendapat laporan, imbuhnya, institusi penegak hukum terkait biasanya akan melakukan telaah untuk menentukan apakah memang ada indikasi kuat bahwa telah terjadi tindak pidana. "Kalau iya, maka akan ditindaklanjuti, akan dicari alat-alat bukti pendukungnya," kata Zaenur.
Laporan tersebut kemudian bisa ditingkatkan menjadi penyelidikan, yang dapat berkembang lagi menjadi penyidikan. Bila memang PDI-P menolak melaporkan ke institusi penegak hukum yang ada dan memilih merilis langsung bukti-bukti yang mereka punya ke publik, Zaenur mendukungnya.
"Mengapa? Karena publik bisa ikut menilai dan mengawasi, apakah informasi yang disampaikan itu valuable? Apakah informasi yang disampaikan itu logis? Apakah informasi yang disampaikan itu didukung oleh bukti-bukti, oleh data-data? Saya pikir publik akan mendapatkan manfaat kalau informasi tersebut benar-benar dibuka kepada publik," jelasnya.
Zaenur menyarankan PDI-P jangan terburu-buru. Tetapkan kasus yang akan dilaporkan, petakan tindak pidana yang telah terjadi dan pelakunya, jelaskan bagaimana itu bisa terjadi, dan siapkan alat-alat buktinya dengan matang, kata Zaenur.
Lalu, PDI-P disebut bisa mengadakan konferensi pers untuk menyampaikan data dan informasi yang mereka punya atau membagikannya melalui media sosial.
"Kalau sudah dibuka kepada publik, bahkan aparat penegak hukum itu tidak harus mendapatkan laporan. Aparat penegak hukum itu bisa melakukan inisiatif sendiri [untuk menindaklanjuti]," kata Zaenur.
Ada sejumlah risiko yang menghantui PDI-P bila apa yang disampaikannya kepada publik ternyata tidak valid. Misal, kata Agustinus, perwakilan partai bisa dilaporkan ke polisi, entah karena dianggap mencemarkan nama baik atau menyiarkan kabar bohong yang menimbulkan keributan.
Di sisi lain, imbuhnya, bila apa yang disampaikan PDI-P benar, publik pun bisa jadi bertanya-tanya, mengapa bukti-bukti yang ada baru diungkap sekarang setelah Hasto jadi tersangka? "Jadi, buat saya, kalau benar saja mereka salah, apalagi kalau enggak benar. Benar saja salah, karena harusnya dari dulu kan diungkapnya?"
Menanggapi hal ini, Guntur Romli dari PDI-P mengatakan pada dasarnya pihaknya tak punya kewajiban mengumpulkan bukti dan mengungkap kasus korupsi. Maka, ia heran bila niat membuka skandal korupsi pejabat negara justru dipertanyakan.
"Tugas pemberantasan korupsi kan bukan di kami. Itu di KPK harusnya."
KPK bisa apa?
Lakso Anindito, Ketua IM57+ Institute, organisasi anti-korupsi yang didirikan mantan pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan pada 2021, mengatakan ancaman penyebaran video-video skandal korupsi pejabat tinggi negara adalah bentuk upaya PDI-P untuk melakukan negosiasi politik.
Guntur Romli, juru bicara PDI-P, menepis hal ini. Ia menegaskan apa yang terjadi adalah bentuk "perlawanan terhadap kriminalisasi sekjen PDI-Perjuangan".
Namun, Lakso bilang benar atau tidaknya hal ini dapat dilihat dari bagaimana KPK menangani kasus Harun Masiku—yang kini melibatkan Hasto Kristiyanto—ke depan.
"Kalau KPK memang menangani kasus Hasto Kristiyanto tanpa pesanan apa pun dari siapa pun, maka KPK harusnya tidak akan terpengaruh dengan adanya ancaman video tersebut. Kalau KPK terpengaruh dengan video itu, maka dapat dipastikan bahwa memang KPK dalam menangani kasus Hasto Kristiyanto memiliki agenda politik," bebernya.
Egi Primayogha, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), menyampaikan hal senada. Ia menegaskan KPK harus profesional dan independen dalam menangani kasus ini, serta berani untuk tidak terpengaruh oleh tekanan politik dari mana pun.
Apalagi, imbuhnya, penanganan kasus Harun selama ini yang berlarut-larut telah memicu kecurigaan bahwa ada sejumlah pihak yang melindunginya.
"Penetapan tersangka Hasto bisa membawa pada ditangkapnya Harun. Tidak kalah penting, ini bisa membawa pada terbukanya kejahatan korupsi yang lebih besar," kata Egi.
Di sisi lain, Lakso menilai KPK harus mendorong Hasto untuk merilis video-video skandal korupsi yang kata Guntur telah dibuatnya. Dan, bila ada indikasi kuat terjadinya korupsi yang dilakukan pejabat negara dari video-video itu, KPK disebut mesti segera menanganinya secara independen.
Muhammad Fatahillah Akbar, dosen hukum pidana UGM, juga menggarisbawahi hal ini. Menurutnya, informasi apa pun yang disampaikan Hasto atau kubunya semestinya tidak memengaruhi proses penegakan hukum yang sedang berjalan terhadapnya.
"Sekalipun dia punya informasi apa pun itu kan enggak menghapus pertanggungjawaban pidana dia terhadap proses yang sudah berjalan," kata Fatahillah.
PDIP kembali koar-koar
Setelah ancaman itu ramai diberitakan, PDIP kembali koar-koar dengan menyinggung soal rilis Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Bahwa dikutip dari publikasi yang diterbitkan di situs resmi OCCRP, selain Jokowi, beberapa nama yang disebutkan di antaranya Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, Mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasin, dan pebisnis India Gautam Adani.
PDI Perjuangan (PDIP) meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan menyikapi rilis OCCRP itu.
Juru Bicara DPP PDIP, Guntur Romli menilai laporan OCCRP bisa menjadi petunjuk bagi aparat penegak hukum seperti KPK, Kepolisian, maupun Kejaksaan untuk menindaklanjuti adanya dugaan korupsi.
"Dengan pengalaman dan jaringan KPK, tentu bisa bekerja sama dengan OCCRP untuk menyelidiki dan memeriksa," kata Guntur dalam keterangannya, Selasa (31/12/2024).
Menurutnya, KPK seharusnya memprioritaskan adanya laporan yang termuat dalam OCCRP itu ketimbang memeriksa kasus Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.
Pasalnya sebagai Jokowi adalah Presiden ke-7 RI yang masih memiliki akses.
Buktikan saja!
Mantan Presiden RI ke-7 itu justru menganggap hal itu fitnah dari pihak-pihak membencinya.
"Sekarang kan banyak sekali fitnah, banyak sekali framing jahat, banyak sekali tuduhan-tuduhan tanpa ada bukti. Itu yang terjadi sekarang kan?," kata Jokowi di Solo, Jawa Tengah (Jateng), Selasa (31/12/2024).
Jokowi pun mempertanyakan apa yang dikorupsinya. Bahkan dia meminta OCCRC membuktikannya. "Terkorup? Terkorup apa? Yang dikorupsi apa? Ya dibuktikan, apa," tegasnya.
Soal adanya muatan politis dibalik nominasi pimpinan terkorup, ia melemparkan tawa terhadap wartawan. "Ya ditanyakan saja. Orang bisa pakai kendaraan apapun lah, bisa pakai NGO, bisa pakai partai," katanya.
Bahkan menurut dia, pihak tertentu bisa memanfaatkan organisasi masyarakat untuk melemparkan tuduhan tersebut. "Bisa pakai ormas untuk menuduh, untuk membuat framing jahat, membuat tuduhan jahat-jahat seperti itu ya," demikian mantan kader PDI Perjuangan itu. (wan)
Topik:
PDIP Hasto Yasonna Harun Masiku Jokowi