Negara "Tuli" atas Kerugian Rp1,253 T di Kasus ASDP!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 4 Desember 2025 21 jam yang lalu
Pada 13 Februari 2025 silam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penahanan terhadap tiga orang tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT JN oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019-2022. Para tersangka tersebut adalah IP selaku Direktur Utama PT ASDP tahun 2017-2024, HMAC selaku Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP tahun 2020-2024, dan MYH selaku Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP tahun 2019-2024
Pada 13 Februari 2025 silam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penahanan terhadap tiga orang tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT JN oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019-2022. Para tersangka tersebut adalah IP selaku Direktur Utama PT ASDP tahun 2017-2024, HMAC selaku Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP tahun 2020-2024, dan MYH selaku Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP tahun 2019-2024

Jakarta, MI - Putusan pengadilan telah dijatuhkan. Kerugian negara telah dihitung secara resmi. Angkanya bukan receh: Rp1.253.431.651.169.

Tapi anehnya, setelah palu Hakim diketuk, negara justru seperti kehilangan alamat untuk menagih. Terpidana dipulihkan, kerugian dibiarkan menggantung. Inilah satu-satunya negara di dunia yang bisa memiliki putusan pidana korupsi, tetapi kehilangan subjek yang harus membayar.

Ini bukan cerita fiksi. Ini potret nyata dari perkara korupsi pengadaan kapal di PT ASDP Indonesia Ferry. Korupsinya nyata. Putusannya nyata. Tapi pertanggungjawaban finansialnya tiba-tiba seperti dihapus oleh kabut administratif bernama rehabilitasi.

Padahal, dalam sistem hukum positif Indonesia, tidak ada satu pun norma yang membenarkan penghapusan kewajiban membayar kerugian negara hanya karena status pidana seseorang dipulihkan.

Justru di sinilah kewajiban negara dimulai

Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tegas menyatakan dalam pasal 18: terpidana wajib membayar uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika tidak dibayar, harta disita dan dilelang. Jika tidak cukup, diganti dengan pidana penjara. Artinya sederhana: korupsi bukan hanya soal badan dipenjara, tetapi juga soal uang negara yang wajib kembali.

Namun yang terjadi di kasus ASDP justru terbalik. Status pidana dipulihkan, tetapi uang negara dibiarkan menjadi yatim piatu hukum! Jaksa kehilangan subjek eksekusi. Negara kehilangan keberanian menagih. Dan rakyat kehilangan hak atas uangnya sendiri.

KPK berhenti hanya jadi museum berkas perkara

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa berlindung di balik kalimat “perkara sudah diputus”. UU momor 30 tahun 2002 tentang KPK yang telah diubah dengan UU nomor 19 tahun 2019 memberi kewenangan yang sangat luas kepada KPK untuk menyelamatkan keuangan negara. KPK bukan sekadar mesin penjara, tetapi juga mesin pemulihan aset negara. KPK masih memiliki ruang hukum untuk:
– Mendorong penyitaan berdasarkan KUHAP pasal 38 dan 39,
– Mengaktifkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yakni UU nomor 8 tahun 2010,
– Menelusuri aliran dana ke PT Mahkota Pratama, PT Indonesia VIP, dan jaringan korporasi terkait,
– Serta membuka siapa sesungguhnya ultimate beneficial owner di balik perusahaan-perusahaan tersebut.

Jika KPK berhenti di putusan pidana, maka KPK secara tidak langsung sedang membangun preseden berbahaya, yakni negara boleh kalah dalam urusan uang, asalkan pelaku sempat dihukum.

Kejaksaan adalah eksekutor bukan penonton

Dalam hukum acara pidana, eksekutor putusan pengadilan bukan KPK, melainkan Kejaksaan, berdasarkan pasal 270 KUHAP dan Undang-Undang Kejaksaan. Jika ada uang pengganti dalam putusan, maka Jaksa wajib menagih. Jika tidak dibayar, wajib menyita dan melelang.

Jika subjek pidana dianggap “hilang” karena rehabilitasi administratif, maka Kejaksaan masih memiliki pintu hukum melalui gugatan perdata berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum. Negara tidak boleh menyerah hanya karena satu pintu ditutup. Masih banyak pintu hukum lain yang terbuka lebar!

BPKP jangan berhenti pada laporan angka

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), berdasarkan Perpres nomor 192 tahun 2014 dan UU nomor 15 tahun 2004, juga masih memiliki kewenangan audit investigatif dan audit forensik. BPKP tidak boleh berhenti pada angka kerugian semata. BPKP juga wajib menelusuri:
– Ke mana uang mengalir,
– Siapa yang menikmati,
– Skema kepemilikan sebenarnya,
– Dan bagaimana pola rekayasa transaksi dibangun.

Tanpa audit forensik lanjutan, negara hanya tahu “berapa yang hilang”, tetapi tidak tahu “siapa yang harus membayar”.

Mahkamah Agung, pertimbangan rehabilitasi tidaj boleh buta fiskal

UUD 1945 pasal 14 memberi kewenangan kepada Presiden untuk memberikan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Ini berarti MA tidak sekadar memberi pertimbangan formal. MA wajib mempertimbangkan dampak yuridis, sosial, dan keuangan negara.

Pertimbangan rehabilitasi tanpa menyinggung pemulihan kerugian negara adalah pertimbangan yang cacat secara konstitusional. MA seharusnya menegaskan prinsip fundamental, bahwa rehabilitasi tidak menghapus kewajiban perdata dan tidak mematikan hak negara untuk menagih.

Hak Presiden jangan sampai jadi penghapus kerugian korupsi

Presiden memang memiliki hak prerogatif administratif. Tetapi Presiden juga menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan yang bertanggung jawab atas keuangan negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Keuangan Negara. Sehingga saat menanda tangani keputusan rehabilitasi tanpa memastikan mekanisme pemulihan kerugian negara sama saja dengan mengirim sinyal berbahaya, idealnya di republik ini, status bisa dipulihkan, tetapi uang negara boleh dilupakan.

Ini bukan soal memusuhi individu. Ini soal menjaga marwah sistem hukum dan martabat keuangan negara.

Kekosongan tanggung jawab adalah bom waktu sistem hukum

Jika hari ini negara membiarkan kerugian Rp1,253 triliun tanpa pihak yang bertanggung jawab, maka yang sedang dibangun sesungguhnya adalah:
– Preseden impunitas finansial,
– Pelemahan eksekusi hukum pidana,
– Demoralisasi aparat penegak hukum,
– Serta pembenaran bagi korupsi model baru: korupsi yang selesai di meja administrasi.

Ini bukan hanya soal ASDP. Ini soal masa depan penegakan hukum korupsi di Indonesia.

Penutup: negara tidak boleh menjadi penonton kerugian negaranya sendiri

Putusan Tipikor adalah produk sah dari sistem hukum positif Indonesia. Ia tidak boleh dikalahkan oleh satu keputusan administratif. Jika KPK diam, Kejaksaan pasif, BPKP berhenti di laporan, MA memberi pertimbangan setengah hati, dan Presiden tidak mengoreksi, maka yang sesungguhnya sedang kalah bukan hanya keuangan negara, tetapi seluruh bangunan hukum republik ini.

Indonesian Audit Watch menegaskan: kerugian negara bukan angka di kertas. Kerugian negara adalah uang rakyat. Dan uang rakyat tidak boleh berubah menjadi anak yatim piatu karena negara memilih diam.

Jika hukum masih ingin dihormati, maka keberanian untuk menagih harus lebih besar daripada kenyamanan untuk membiarkan. IAW masih yakin bahwa Presiden Prabowo Subianto akan mencarikan solusi yang terbaik agar negara kita tidak rugi!

Iskandar Sitorus
Iskandar Sitorus

[Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)]

Topik:

ASDP IAW