Erick Thohir Dorong Investigasi Sebab Serangan Server PDNS Seret PT Telkom Indonesia

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 11 Juli 2024 18:47 WIB
Erick Thohir (Foto: Dok MI)
Erick Thohir (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mendorong investigasi soal indikasi penyebab serangan siber Ransomware di server Pusat Data Nasional (PDN) Sementara yang menyeret nama PT Telkom Indonesia. 

Adapun dibobolnya server PDNS turut menjadi perhatian Komisi I DPR RI dalam rapat bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN). Telkom ikut disorot karena menjadi penyedia layanan komputasi awan PDNS 2.

Erick mengatakan, guna menjawab isu adanya kelalaian pegawai Telkom, diperlukan adanya investigasi audit secara menyeluruh.

"Baru indikasi. Saya mendorong yang namanya investigasi audit. Tapi saya tidak mau berpolemik politik, saya bukan orang politik, saya orang profesional. Mendorong pembersihan individu yang korup atau individu yang tidak baik, ya kita dorong," jelas Erick ditemui di Kantor Pos kawasan Kota Tua, Jakarta, Rabu (10/7/2024).

Erick turut mengulas mundurnya Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika (Aptika) Kemkominfo, Samuel Abrijani Pengerapan imbas kasus ransomware PDNS 2. 

Dia turut mendukung kebijakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto untuk mengoreksi semua pihak yang tak kompeten.

Termasuk jika terbukti ada keterlibatan dari pihak-pihak di tubuh perusahaan pelat merah. Dia tak segan memberikan sanksi tegas.

"Kemarin sudah mundur Dirjennya dari Kominfo. Saya mendukung kebijakan yang dipakai Pak Hadi untuk mengoreksi semua pihak yang tidak kompeten," ucap dia.

"Dan itu sesuai arahan Presiden. Pak Budi Arie sudah melakukan. Yang pasti, kita mendukung. Kalau ada yang tidak kompeten, ya kita copot juga," tambahnya.

Terkait hal ini, pihak PT Telkom Indonesia 'tiarap', tak banyak komentar.

"Untuk sementara kami belum bisa mengeluarkan statement, All statement hanya via Menkopolhukam, arahan Kominfo," kata AVP External Communication Telkom Indonesia Sabri Rasyid saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Kamis (11/7/2024) pagi.

Sebelumnya, serangan ransomware dari kelompok peretas Brain Cipher dipastikan tergolong tindakan terorisme siber. 

Namun, penetapan insiden serangan ini, apabila pemerintah ingin menetapkan sebagai aksi terorisme siber, perlu dikaji secara mendalam dengan melibatkan para praktisi keamanan siber dan pakar terorisme serta persetujuan DPR RI.

“Serangan siber jenis ransomware adalah salah satu modus utama serangan terorisme siber di mana tujuan teror dan keuntungan ekonomi penyerang dapat sekaligus dicapai dalam satu kali aksi,” tegas Deputy of Operation Indonesia Security Incident Response Team on Internet and Infrastructure (CSIRT.ID) MS Manggalany dikutip Minggu (7/7/2024).

Manggalany memaparkan, berdasarkan Peraturan Presiden No 82 Tahun 2022 tentang Perlindungan Infrastruktur Informasi Vital, PDNS 2 termasuk dalam definisi infrastruktur vital. Hal ini karena PDNS 2 diisi oleh ribuan aplikasi pelayanan publik yang ditujukan untuk kepentingan umum, yang diselenggarakan oleh 282 instansi pemerintah, baik kementerian, Lembaga, serta pemerintah daerah.

Oleh karena itu, gangguan dalam bentuk apapun, kerusakan dan atau kehancuran yang dialami oleh infrastruktur informasi vital PDNS 2 ini dapat dikategorikan sebagai serangan terstruktur (aksi teror) terhadap pemerintah atau negara.

Menurut Manggalany, definisi terorisme siber – berbeda dengan kriminalisme siber (cyber crime) - masih terus berkembang dan dinamis mengikuti perubahan motivasi, modus, jenis target, dan dampak dari berbagai serangan siber. Namun, terorisme siber setidaknya harus memenuhi enam unsur (aktor, motivasi, tujuan, sarana, dampak, dan korban), yakni:

Pertama, aktor pelaku baik aktor yang bukan didukung oleh inisiatif negara (non state actor), aktor yang didukung oleh inisiatif negara dan bisa dianggap sebagai pernyataan perang (cyber war), dan aktor yang berafiliasi dengan kelompok separatis.

Unsur kedua adalah motivasi, baik ideologis, sosial, ekonomi atau politik. “Seringkali motivasi ini menjadi kombinasi kepentingan, karena dalam berbagai kasus, sebuah serangan siber dengan alasan terorisme, dilakukan oleh kelompok profesional yang punya motif dan tujuan ekonomi kriminal siber biasa," kata dia.

Unsur ketiga adalah tujuan, apakah tujuannya untuk alat kampanye memaksakan tuntutan perubahan, keyakinan/ideologis tertentu, dan gangguan sebagai alat untuk memenuhi motivasi tertentu.

Unsur keempat adalah sarana berupa ancaman siber (cyber threat), serangan siber (cyber attack), propaganda siber (cyber propaganda), dan lain sebagainya.

Unsur kelima berupa dampak yang diharapkan oleh si kelompok penyerang berupa cyber power dan cyber violence, berupa disrupsi layanan digital publik, kebocoran data, kerugian ekonomi, ancaman psikologis ketakutan, ketidakpastian, dan keraguan, hingga kerusakan fisik.

Terakhir, menurut Manggalany, adalah korban, baik kelompok masyarakat sipil, swasta, industri, organisasi, pemerintah, dan non-pemerintah, penyelenggara infrastruktur digital maupun fisik.

Menurut Manggalany, pemerintah harus memetakan motivasi dari serangan siber apabila ingin menetapkan sebagai tindakan terorisme, yakni mengungkap apakah ada kepentingan ideologi atau politik dan ekonomi sekaligus. 

“Serangan siber jenis ramsomware adalah salah satu modus utama serangan terorisme siber dimana tujuan teror dan keuntungan ekonomi penyerang dapat sekaligus dicapai dalam satu kali aksi. Apalagi secara teknis, serangan ransomware ke PDNS 2 sudah memenuhi semua kriteria unsur terorisme siber,” tegas dia.

Dia menegaskan, apabila sang pelaku memiliki motivasi ideologi dan politik atas serangannya, maka pemerintah memiliki tantangan baru, mengingat sesuai UU tentang terorisme, penanganan terorisme dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang belum memiliki kemampuan kontra terorisme siber, termasuk pengampu serta penyelenggara layanan di semua sektor infrastruktur vital, termasuk PDNS 2, belum memiliki protokol kontra terorisme siber.

“Perlu ditegaskan bahwa manajemen krisis siber untuk mengatasi serangan terorisme siber berbeda dengan prosedur protokol untuk merespons aksi kriminal siber biasa. Penindakan atas terorisme siber bisa penegakan hukum sekaligus protokol retaliasi, dimana BNPT bisa melakukan serangan ofensif terhadap aktor teroris dan sumber dayanya,” tegas Manggalany.

Konsekuensi tindakan retaliasi siber dapat mengakibatkan implikasi dan komplikasi luas baik secara teknis, diplomasi antar negara - bila penindakan tersebut melibatkan skema lintas batas (cross border), yang harus mempertimbangkan dampak gepolitik, sosial dan ekonomi. 

Secara teknis, retaliasi siber mungkin saja mendapatkan perlawanan yang mengakibatkan situasi saling serang yang mengakibatkan dampak luas dan korban yang tak diinginkan (collateral damage) karena ruang siber saling terkait.

Menurut Manggalany, karena ini menyangkut suatu kepentingan yang sangat luas dan kemungkinan dampak jangka panjang, apabila Pemerintah mempertimbangkan pilihan yang akan menetapkan insiden serangan Ransomware ke PDNS sebagai aksi Terorisme Siber, maka harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlebih dahulu dan mendengarkan masukan masyarakat khususnya para praktisi Keamanan Siber.