Dongkrak Skandal Korupsi BPDPKS, Siapa Tergelincir?

Aswan LA
Aswan LA
Diperbarui 21 Maret 2024 21:00 WIB
Ilustrasi tumpukan drum biodiesel (Foto: MI/Getty Images/Istimewa)
Ilustrasi tumpukan drum biodiesel (Foto: MI/Getty Images/Istimewa)

Jakarta, MI - Sejak berdiri pada tahun 2015, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS mengumpulkan pungutan atas ekspor produk kelapa sawit, termasuk minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya.

Sebagian besar dana itu lalu disalurkan kepada produsen biodiesel sebagai insentif untuk menutup selisih antara harga indeks pasar biodiesel dan solar. Mudahnya, insentif diberikan agar harga biodiesel bisa kompetitif di pasaran.

Penting diketahui, bahwa biodiesel adalah bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani. Di Indonesia, CPO merupakan bahan baku utama biodiesel.

Perlu digarisbawahi, bahwa BPDPKS dibentuk berdasarkan amanat pasal 93 Undang-Undang No. 39/2014 tentang perkebunan, yang mengatur penghimpunan dana dari pelaku usaha dan tujuan penggunaan dana tersebut.

Problemnya adalah pasal itu tak pernah menyebut bahwa dana yang terkumpul akan digunakan untuk insentif biodiesel. Tujuan yang disebutkan di sana adalah untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, dan pengadaan sarana dan prasarana perkebunan.

Pemberian insentif biodiesel baru dibahas di Peraturan Presiden No. 61/2015. Ini lantas diadopsi dalam misi BPDPKS. 

Berdasarkan catatan Monitorindonesia.com, setidaknya ada puluhan perusahaan yang sempat menerima dana sekitar Rp57,7 triliun sepanjang 2016-2020, adalah sebagai berikut:

1. PT Anugerahinti Gemanusa merupakan anak usaha dari PT Eterindo Wahanatama pada tahun 2016 menerima insentif biodiesel sebesar Rp49,48 miliar.

2. PT Batara Elok Semesta Terpadu menerima insentif dari BPDPKS senilai Rp1,13 trilun sepanjang 2017-2020. Rinciannya, pada tahun 2017 menerima Rp241 miliar, Rp109,83 miliar diterima pada 2018, Rp56,45 miliar pada 2019, dan Rp728 miliar diterima pada tahun 2020.

3. PT Bayas Biofuels menerima insentif biofuel sebesar Rp3,5 triliun sepanjang 2016-2020. Pada 2016, perusahaan ini menerima Rp438 miliar. Selanjutnya, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp866 miliar pada 2018, Rp487,8 miliar pada 2018, Rp129,9 miliar pada 2019, dan Rp1,58 triliun pada 2020.

4. PT Dabi Biofuels menerima insentif biofuel sebesar Rp412,3 miliar pada 2017-2020. Rinciannya, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp110,5 miliar pada 2017, Rp171,3 miliar pada 2018, Rp80,82 miliar pada 2019, dan Rp49,68 miliar pada 2020.

5. PT Datmex Biofuels menerima insentif biodiesel sebesar Rp677,8 miliar pada 2016. Lalu, Rp307,5 miliar pada 2017. Selanjutnya, perusahaan ini menerima insentif sebesar Rp143,7 miliar pada 2018, Rp27 miliar pada 2019, dan Rp673 miliar pada 2020.

6. PT Cemerlang Energi Perkasa mendapatkan insentif sebesar Rp615,5 miliar pada 2016, lalu Rp596 miliar pada 2017, lalu Rp371,9 miliar pada 2018, Rp248,1 miliar pada 2019, dan Rp1,8 triliun pada 2020.

7. PT Ciliandra Perkasa menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS lebih dari Rp2,18 triliun sepanjang 2016-2020. Rinciannya sebesar Rp564 miliar diterima pada 2016, Rp371 miliar pada 2017, Rp166 miliar pada 2018, Rp130,4 miliar pada 2019, dan Rp953 miliar pada 2020.

8. PT Energi Baharu Lestari menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS lebih dari Rp302,47 miliar sepanjang 2016-2018. Rinciannya, sebesar Rp126,5 miliar pada 2016, Rp155,7 miliar pada 2017, dan Rp20,27 miliar pada 2018.

9. PT Intibenua Perkasatama menerima insentif sebesar Rp381 miliar pada 2017. Kemudian, Rp207 miliar pada 2018, Rp154,29 miliar pada 2019, dan Rp967,69 miliar pada 2020.

10. PT Musim Mas mendapatkan insentif biodiesel sebesar Rp7,19 triliun sepanjang 2016-2020. Tercatat, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp1,78 triliun pada 2016, Rp1,22 triliun pada 2017, Rp550,3 miliar pada 2018, Rp309,3 miliar pada 2019, dan Rp3,34 triliun pada 2020.

11. PT Sukajadi Sawit Mekar menerima lebih dari Rp1,32 triliun sepanjang 2018-2020. Rinciannya, perusahaan mengantongi insentif sebesar Rp165,2 miliar pada 2018, Rp94,14 miliar pada 2019, dan Rp1,07 triliun pada 2020.

12. PT LDC Indonesia menerima insentif sekitar Rp2,77 triliun pada 2016-2020. Tercatat, BPDPKS mengucurkan insentif sebesar Rp496,2 miliar pada 2016, Rp596,68 miliar pada 2017, Rp231,1 miliar pada 2018, Rp189,6 miliar pada 2019, dan Rp1,26 triliun pada 2020.

13. PT Multi Nabati Sulawesi menerima insentif sebesar Rp259,7 miliar pada 2016. Begitu juga dengan tahun berikutnya sebesar Rp419 miliar. Lalu,  kembali mengantongi insentif sebesar Rp229 miliar pada 2018, Rp164,3 miliar pada 2019, dan Rp1,09 triliun pada 2020.

14. PT Wilmar Bioenergi Indonesia mendapatkan insentif biofuel dari BPDPKS sebesar Rp1,92 triliun pada 2016, Rp1,5 triliun pada 2017, dan Rp732 miliar pada 2018. Kemudian, perusahaan kembali menerima dana insentif sebesar Rp499 miliar pada 2019 dan Rp4,35 triliun pada 2020.

15. PT Wilmar Nabati Indonesia mendapatkan dana insentif sebesar Rp8,76 triliun selama 2016-2020. Rinciannya, Wilmar Nabati menerima insentif sebesar 2,24 triliun pada 2016, Rp1,87 triliun pada 2017, Rp824 miliar pada 2018, Rp288,9 miliar pada 2019, dan Rp3,54 triliun pada 2020.

16. PT Pelita Agung Agriindustri dalam periode 2016-2020 menerima dana insentif sekitar Rp1,79 triliun. Terdiri dari Rp662 miliar pada 2016, Rp245 miliar pada 2017, Rp100,5 miliar pada 2018, Rp72,2 miliar pada 2019, dan pada Rp759 miliar pada 2020.

17. PT Permata Hijau Palm Oleo menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS sebesar Rp2,63 triliun sepanjang 2017-2020. Angka itu terdiri dari Rp392 miliar pada 2017, 212,7 miliar pada 2018, Rp109,8 miliar pada 2019, dan Rp1,35 triliun pada 2020.

18. PT Sinarmas Bio Energy dalam periode 2017-2020 menerima sekitar Rp1,61 triliun. Besaran itu terdiri dari insentif sebesar Rp108,54 miliar pada 2017, Rp270,24 miliar pada 2018, Rp98,61 miliar pada 2019, dan Rp1,14 triliun pada 2020.

19. PT SMART Tbk dalam periode 2016-2020 menerima sekitar Rp2,41 triliun. Besaran itu terdiri dari insentif sebesar Rp366,43 miliar pada 2016, Rp489,2 miliar pada 2017, Rp251,1 miliar pada 2018, Rp151,6 miliar pada 2019, dan Rp1,16 triliun pada 2020.

20. PT Tunas Baru Lampung Tbk menerima insentif dari BPDPKS sekitar Rp2,08 triliun sepanjang 2016-2020. Angka itu terdiri dari insentif Rp253 miliar pada 2016, Rp370 miliar pada 2017, Rp208 miliar pada 2018, Rp143,9 miliar pada 2019, Rp1,11 triliun pada 2020.

21. PT Kutai Refinery Nusantara mendapatkan aliran dana dari BPDPKS sebesar Rp1,31 triliun sejak 2017 sampai 2020. Rinciannya, Kutai Refinery mengantongi insentif sebesar Rp53,93 miliar pada 2017, Rp203,7 miliar pada 2018, Rp109,6 miliar pada 2019, dan Rp944 miliar pada 2020.

22. PT Primanusa Palma Energi hanya mendapatkan insentif biofuel sebesar Rp209,9 miliar pada 2016.

23. PT Indo Biofuels menerima dana insentif biofuel sebesar Rp22,3 miliar pada 2016.

Dari jumlah perusahaan itu, sudah ada beberapa yang masuk dalam daftar pemeriksaan Kejaksaan Agung (Kejagung). Misalnya, pada Selasa (31/10/2023) Kejagung memeriksa Manager Produksi PT Pelita Agung Agriindustri dan PT Permata Hijau Palm Oleo.

Selanjutnya, pada Kamis (2/11/2023), Kejagung memeriksa saksi dari pihak PT Multi Nabati Sulawesi, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Multimas Nabati Asahan. Pemeriksaan yang dilakukan pada kamis (2/11) itu melalui manager produksinya yakni inisial CADT.

Selasa (7/11/2023), Kejagung memeriksa Manager PT Cemerlang Energi Perkasa, FA dan PT Sari Dumai Sejahtera. Selain FA, Kejagung memeriksa dua saksi lainnya yakni, HM diduga Hartono Mitra selaku Manager Produksi PT Jhonlin Agro Raya (JARR) milik H. Isam dan AC selaku Operation Supply Chain PT Pertamina tahun 2014.

Kamis (9/11/2023) Kejagung masih terus mengulik perusahaan yang mengelola sawit yakni PT Sinarmas Bio Energy dan PT Smart Tbk. Saksi itu berinisial HIS selaku Manager Produksi PT Sinarmas Bio Energy dan PT Smart Tbk.

Politically Exposed Persons 

Berdasarkan hasil studi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Auriga Nusantara dan Satya Bumi menemukan ada setidaknya 18 politically exposed persons atau PEP dalam jajaran petinggi perusahaan di grup Wilmar, Sinar Mas, dan Jhonlin.

Rinciannya, ada sembilan PEP di grup Jhonlin, lima orang di Sinar Mas, dan empat orang di Wilmar. Ketiga grup itu secara akumulatif menerima insentif biodiesel sebesar Rp72,5 triliun dari BPDPKS pada periode 2015-2023.

"Keberadaan PEP dalam struktur kepengurusan maupun [sebagai] pemilik manfaat terindikasi memiliki pengaruh terhadap jumlah subsidi yang diterima," tulis Auriga Nusantara dan Satya Bumi di laporan berjudul Politically Exposed Person Dalam Jejaring Biodiesel Indonesia yang dirilis pada Rabu (13/3/2024).

Total pengeluaran BPDPKS pada 2015-2023 menyentuh Rp176,1 triliun, dengan 91,3% disalurkan pada para produsen biodiesel sebagai insentif untuk menutup selisih antara harga indeks pasar biodiesel dan solar.

Sementara itu, persentase pengeluaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, serta untuk pengembangan sumber daya manusia (termasuk pelatihan untuk para petani kecil dan beasiswa untuk anak-anak mereka) masing-masing hanya menyentuh 0,37% dan 0,27%.

"Alokasi dana BPDPKS jelas menunjukkan keberpihakan dana sawit untuk pengusaha dan sangat tidak berimbang dibanding untuk petani kecil," kata Putra Adhiguna, analis dan managing director Energy Shift Institute.

Padahal, studi CDP yang dirilis pada 2021 mempertanyakan kredensial hijau biodiesel. Keputusan Indonesia untuk terus meningkatkan produksi biodiesel, menurut CDP, akan berujung pada kian tingginya permintaan atas minyak sawit, yang akhirnya mengancam keberadaan hutan karena kian masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Dalam pernyataan tertulisnya, grup Wilmar dan Sinar Mas menyatakan orang-orang yang disebut dalam laporan Auriga Nusantara dan Satya Bumi tidak terlibat dalam operasi bisnis mereka. Keduanya pun sama-sama bilang, mereka menjunjung standar integritas tertinggi.

Menurut Auriga Nusantara dan Satya Bumi, bahwa pada 2015-2023, sejumlah perusahaan dalam grup Wilmar secara akumulatif telah menerima insentif sebesar Rp56,6 triliun, sementara entitas grup Sinar Mas mendapat Rp14 triliun. Dua grup ini tercatat sebagai penerima insentif terbesar pertama dan kelima sejak BPDPKS terbentuk.

Sementara itu, grup Jhonlin baru menerima insentif pada 2022-2023. Namun, hanya dalam dua tahun ia telah mendapat insentif relatif besar dengan angka Rp1,86 triliun.

Orang Dalam (Ordal)

"Orang dalam" yang dimaksud adalah mereka yang sedang atau pernah memegang jabatan publik, termasuk sebagai kepala negara, pejabat senior di kantor pemerintahan dan BUMN, perwira tinggi polisi dan militer, atau politisi senior, beserta keluarga dan orang-orang dekatnya.

Dalam laporannya, dua LSM itu merujuk definisi PEP yang dirumukan Gugus Tugas Aksi Keuangan (FATF), organisasi internasional yang fokus memberantas tindak pencucian uang serta pendanaan untuk terorisme dan senjata pemusnah massal.

PEP disebut sebagai seseorang yang sedang atau pernah mendapat kepercayaan untuk menjalankan fungsi publik, entah sebagai kepala negara, pejabat senior di kantor pemerintahan dan BUMN, perwira tinggi polisi dan militer, atau politisi senior. Anggota keluarga dan rekan dekat orang ini pun bisa dikategorikan sebagai PEP.

"Di Indonesia tidak ada pengaturan tegas tentang berapa lama pejabat publik yang telah pensiun dapat menjabat di perusahaan swasta," tulis dua LSM tersebut dalam laporannya.

"Sehingga dalam penulisan [laporan] ini, setiap orang yang teridentifikasi sebagai pejabat publik dan telah pensiun akan tetap disebutkan sebagai PEP."

Grup Wilmar

Ada empat PEP yang tercatat sedang atau pernah memegang jabatan di sejumlah perusahaan yang terkait grup Wilmar, merujuk temuan Auriga Nusantara dan Satya Bumi yang dikonfirmasi data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM.

Tiga di antaranya adalah mantan petinggi Polri serta mantan jaksa agung muda. Mereka kini masuk jajaran dewan komisaris di PT Mustika Sembuluh dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

PT Wilmar Nabati Indonesia adalah produsen biodiesel di grup Wilmar yang rutin mendapat alokasi dana insentif dari BPDPKS setiap tahunnya dalam periode 2015-2023.

Ada pula mantan bupati di Sumatra Utara, yang sempat menjadi komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, tapi kini dipenjara karena kasus korupsi minyak goreng.

"Empat orang yang disebut itu pernah atau sedang menjabat sebagai komisaris independen di berbagai perusahaan Wilmar di Indonesia. Mereka tidak memegang jabatan eksekutif di perusahaan-perusahaan tersebut, dan tidak terlibat di manajemen operasi grup usaha kami," kata Wilmar International dalam pernyataan tertulisnya.

Wilmar pun mengatakan pihaknya menjunjung standar integritas tertinggi.

Grup Sinar Mas

Ada lima PEP di berbagai perusahaan di grup Sinar Mas, merujuk temuan Auriga Nusantara dan Satya Bumi yang dikonfirmasi data AHU Kemenkumham dan laporan tahunan perusahaan terkait.

Mereka adalah mantan petinggi Angkatan Darat, tiga petinggi polda, dan staf khusus mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Data AHU Kemenkumham menunjukkan, empat di antaranya kini masuk jajaran direksi dan komisaris di sejumlah anak usaha atau perusahaan yang terafiliasi grup Sinar Mas.

Sementara itu, satu orang lainnya saat ini menjadi penasihat senior di Golden Agri-Resources, perusahaan induk PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (Smart) yang mendapat insentif BPDPKS pada periode 2016-2023.

Dalam pernyataan tertulisnya, PT Smart mengatakan pihaknya mematuhi seluruh peraturan dan kebijakan yang ada dalam setiap interaksinya dengan BPDPKS.

Selain itu, tambahnya, tidak ada satu pun dari lima nama yang disebut dalam laporan Auriga Nusantara dan Satya Bumi yang terlibat dalam operasi bisnis biodiesel perusahaan.

"Seluruh karyawan diharapkan memenuhi standar integritas tinggi dan pedoman etika perusahaan serta mematuhi semua peraturan yang relevan di wilayah kami beroperasi," kata PT Smart, yang dikenal pula dengan merek Sinar Mas Agribusiness and Food.

Grup Jhonlin

Ada sembilan PEP yang tercatat di berbagai perusahaan di grup Jhonlin, merujuk temuan Auriga Nusantara dan Satya Bumi yang dikonfirmasi data AHU Kemenkumham.

Di sana, ada mantan petinggi Polri dan tiga petinggi Polda di Kalimantan dan Jawa Barat. Selain itu, ada pula yang pernah menjadi staf khusus mantan panglima TNI, ketua pengadilan tinggi di Kalimantan, dan ketua Mahkamah Agung.

Dua lainnya adalah anak mantan petinggi Polri serta salah satu komisaris PT PLN yang saat ini masih menjabat. Sembilan orang itu kini masuk jajaran komisaris atau memiliki sebagian kecil saham perusahaan-perusahaan yang menjadi bagian dari atau terafiliasi dengan grup Jhonlin.

Keberadaan orang yang sedang atau pernah memegang jabatan publik di perusahaan swasta berpotensi besar menghadirkan konflik kepentingan, menurut Auriga Nusantara dan Satya Bumi.

"Keberadaan PEP dalam struktur perusahaan membuat perusahaan tersebut memiliki potensi dalam penyalahgunaan kekuasaan, praktik korupsi dan suap serta pencucian uang," tulis Auriga Nusantara dan Satya Bumi.

Sementara itu menurut Egi Primayogha, koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, para "orang dalam" serta keluarga dan orang-orang dekatnya dapat menggunakan pengaruh dan jaringannya untuk membantu pihak tertentu mendapat sejumlah keistimewaan.

"Ia bisa mengubah aturan maupun anggaran untuk memfasilitasi kejahatan korupsi seperti penggelapan pajak atau pencucian uang. Itu bisa dilakukan olehnya atas motif telah menerima suap, balas budi pasca-pemilu, menguntungkan partai politik dirinya, dan sebagainya," katanya.

"Dalam konteks industri biodiesel Indonesia, para PEP bisa membantu perusahaan mengamankan dana insentif biodiesel dari BPDPKS atau, bila memiliki kewenangan perpajakan, dapat memfasilitasi "kecurangan pajak," tambah Egi.

Apa Problemnya?

Penyaluran dana insentif biodiesel untuk grup usaha besar seperti Wilmar dan Sinar Mas justru selalu mendominasi anggaran belanja BPDPKS.

Menurut catatan Auriga Nusantara dan Satya Bumi, setidaknya ada empat perusahaan dalam grup Wilmar dan dua dalam grup Sinar Mas yang pernah menerima insentif biodiesel dalam periode 2015-2023.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perusahaan ini sempat diperiksa penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda (JAM) bidang Pidana Khusus (Pidsus).

Hampir seluruh perusahaan itu rutin mendapat alokasi insentif biodiesel setiap tahunnya selama tujuh hingga sembilan tahun terakhir. Sementara itu, hanya ada satu perusahaan dari grup Jhonlin, yaitu PT Jhonlin Agro Raya, yang pernah mendapat insentif.

Kata Auriga Nusantara dan Satya Bumi, meski baru menerima insentif pada 2022-2023, PT Jhonlin Agro Raya langsung mendapat alokasi yang terhitung cukup besar. Dari sana, muncul indikasi bahwa kehadiran PEP di tiga grup usaha tersebut membantu mengamankan alokasi insentif biodiesel, pun memudahkan operasi para perusahaan terkait di lapangan.

"Keberadaan PEP bisa saja mengindikasikan hal itu. Untuk itu menjadi penting agar, pertama, pemerintah menegaskan batasan dari PEP itu sendiri, supaya tidak semua orang dikategorikan sebagai PEP. Kedua, pihak korporasi wajib mendeklarasikan PEP - jika di perusahaannya ada pejabat/mantan pejabat/keluarga pejabat - sebagai bentuk transparansi," kata Sesilia Maharani Putri, peneliti Auriga Nusantara.

Apa kata Ombudsman?

Indonesia memang belum mengatur soal masa jeda bagi seseorang setelah melepas jabatan publik, sebelum ia bisa mengambil jabatan di perusahaan swasta. Sejumlah negara lain telah mengatur hal ini. 

Karena belum ada peraturan yang jelas soal ini di Indonesia, Wakil Ketua Ombudsman, Bobby Hamzar Rafinus, menilai penunjukan para PEP di perusahaan telah menjadi strategi korporasi dalam upaya mendapatkan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah.

"Dari kacamata Ombudsman, strategi ini tidak bermasalah sejauh tidak mendorong timbulnya maladministrasi pada instansi pemerintah pemberi fasilitas. Maladministrasi tersebut dapat berupa penyimpangan prosedur, diskriminasi, pelanggaran hukum, serta KKN." kata Bobby.

Sementara itu, Agus Cahyono Adi, juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, enggan mengomentari temuan Auriga Nusantara dan Satya Bumi. "Itu ranahnya APH [aparat penegak hukum] dan Ombudsman," kata Agus.

Bagaimana nasib korupsi BPDPKS yang Ditangani Kejagung?

Sempat tidak terdengar kabar lagi soal kasus ini. Kemarin, Monitorindonesia.com telah menanyakan perkembangan kasus ini kepada Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Ketut Sumedana, namun seolah diabaikannya.

Adapun kasus dugaan korupsi pengelolaan dana sawit oleh BPDPKS tahun 2015-2022 itu naik ke tahap penyidikan pada 7 September 2023 lalu. Hingga saat ini belum ada yang ditersangkakan.

Kendati, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kuntadi pada Rabu (3/1/2024), menyatakan, kasus tersebut statusnya masih tetap berjalan dan tidak dihentikan oleh penyidik. ”Masih jalan,” singkatnya.

Meski disebut telah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, hingga saat ini penyidik belum menetapkan tersangka dalam kasus tersebut. Sementara, pemanggilan terhadap saksi tercatat terakhir dilakukan pada November 2023. Namun, Kuntadi tidak menjawab ketika ditanya tentang proses penetapan tersangka dalam kasus tersebut.

Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai kasus tersebut penting karena terkait dugaan manipulasi penggunaan dana sawit yang tidak sesuai antara perencanaan dengan kenyataan. Akibatnya, diduga terjadi kerugian negara terkait pengembangan biodiesel.

Menurutnya, dugaan manipulasi minyak sawit mentah tersebut berakibat pada mahalnya harga minyak goreng di masyarakat. Sementara, industri diduga menikmati keuntungan melalui ekspor minyak sawit mentah (CPO).

Penyidik, tegas dia, diharapkan lebih mendalami dugaan manipulasi dana sawit sebagai sebuah dugaan tindak pidana korupsi. Itu yang harus dikejar dan tidak boleh di-SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), harus segera dibawa ke pengadilan. 

”Ini yang harus diutamakan sehingga nanti iuran yang digunakan dalam memproduksi biodiesel dapat tersalurkan dengan baik karena iuran dana sawit itu sudah menjadi uang negara,” kata Boyamin kepada Monitorindonesia.com belum lama ini.

Menurut Boyamin, penyidikan kasus dugaan pengelolaan dana sawit di BPDPKS tersebut merupakan kelanjutan dari kasus korupsi kelangkaan minyak goreng dan kasus korupsi perkebunan sawit Duta Palma Group yang disidik Kejagung. 

Namun, Kejagung dinilai hanya mendalami terkait pemanfaatan dana sawit terkait dengan sumbangan atau dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Penyidik, kata Boyamin, diharapkan lebih mendalami dugaan manipulasi dana sawit sebagai sebuah dugaan tindak pidana korupsi. ”Itu yang harus dikejar dan tidak boleh di-SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), harus segera dibawa ke pengadilan,” katanya.

Senayan Bicara

Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron, mengaku kecewa atas kasus ini. "Dari dulu saya sudah minta bahwa pengelolaan dana kelapa sawit itu sesuai dengan undang-undang perkebunan itu dikelola dalam satu lembaga dibawah Kementerian, supaya apa? Supaya ada mitra kerjanya, tau terkait dengan penggunaan anggaran, perencanaannya apa untuk ke depan," kata Herman kepada Monitorindonesia.com di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (2/11/2023) lalu.

Herman mengaku, sebagai ketua Panitia Kerja (Panja) UU Perkebunan saat itu sudah berinisiasi untuk melahirkan norma. Sebab, nilai produksi kelapa sawit milik rakyat waktu itu masih jauh jika dibandingkan oleh kelapa sawit yang dimiliki korporasi. 
 
"Karena kami dulu bahkan Ketua panjanya adalah saya membuat peraturan itu, membuat klausul dalam undang-undang itu dimanfaatkan untuk melakukan peremajaan kelapa sawit rakyat yang secara produktifitas masih jauh dibawah rata-rata kelapa sawit yang dimiliki oleh korporasi," ujarnya. 

"Nah, setelah kemudian penggunaannya banyak digunakan untuk mensubsidi bio diesel. Ya, tentu saya sebagai ketua panja revisi Undang-Undang perkebunan yang melahirkan institusi ini merasa kecewa," lanjutnya. 

Herman mengatakan kelapa sawit rakyat yang dikembangkan oleh rakyat itu sendiri justru anggarannya dimakan oleh korporasi-korporasi besar. "Karena apa? yang sesungguhnya kelapa sawit rakyat yang dikembangkan malah kemudian anggaran ini diserap oleh korporasi-korporasi besar," ungkapnya sesal.

Untuk itu, Herman meminta, ke depan tupoksinya harus dipindahkan ke Kementerian yang terafiliasi oleh DPR, karena saat ini BPDPKS barada dibawah Kemenko perekonomian sehingga tidak masuk dalam portofolio kemitraan dengan DPR.

"Ke depan saya kira harus dimasukkan ke dalam Kementerian sehingga pengawasannya lebih akuntabel, bisa dijalankan oleh DPR mengawasi dana-dana, sebenarnya itu kan dana partisipasi korporasi yang ditujukan untuk meningkatkan produktifitas sawit rakyat," jelasnya.

Ditegaskan Herman, Kejagung harus memeriksa semua perusahaan yang sempat menerima dana insentif triliunan rupiah itu. "Ya silahkan saja seluruh yang terkait dengan penggunaan dana kelapa sawit yaa harus diperiksa donk. Dan sejauh mana mereka menggunakan dana kelapa sawit itu," kata Herman.

"Karena itu kan dana tidak ada yang mengawasi, kalau gak ada yang mengawasi yaa saya teriak-teriak dari luar," timpalnya.

Herman pun menyerahkan sepenuhnya kasus korupsi di BPDPKS kepada penegak hukum. Namun, ia menyesalkan anggaran sebesar itu seharusnya bisa dirasakan oleh para petani sawit.  

"Kalau untuk urusan korupsi, penyalahgunaan kewenangan dan lain sebagainya, silahkan ke penegak hukum. Tapi esensinya bagi kami adalah supaya anggaran itu betul-betul bermanfaat bagi rakyat khususnya para petani sawit rakyat," jelasnya.

Jangan Seenaknya!

Herman menegaskan, sejak awal dirinya menyarankan untuk melakukan investigasi pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dia pun mendukung langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan penyidikan dugaan korupsi dana bio diesel di BPDPKS.

“Sejak dari dulu saya sampaikan, audit investigasi BPDPKS sampai ke akar-akarnya. Jangan seenaknya menggunakan dana itu untuk yang lain-lain,” ujarnya kepada Monitorindonesia.com, Sabtu (16/9).

Dana tersebut seharusnya diperuntukan untuk kepentingan petani sawit. Dia pun tidak pun bisa dapat menutupi kekecewaannya. “Karena saya sebagai pimpinan panja UU Perkebunan dulu berinisiasi melahirkan norma itu untuk peremajaan sawit rakyat dan kepentingan petani sawit,” bebernya.

Seharusnya ada badan yang memang secara fokus mengurusi dana BPDPKS ini. Sehingga, dana tersebut dapat dikelola dengan baik. Dan, para petani sawit sejahtera. “Benar sekali, sebaiknya ada kemitraan yang jelas sehingga dapat diawasi dan jelas pertanggungjawabannya,” ujarnya.

Kinerja BPDPKS Amburadul

Menurut anggota Komisi III DPR RI Santoso, jika manajemen BPDPKS baik, maka tidak akan terjadi dugaan kasus tindak pidana korupsi (tipikor). 

"Kinerja amburadul, terbukti besarnya nilai dugaan korupsi dari dana yang dikelola BPDPKS sangat besar. Jika manajemennya baik akan sulit pihak direksi melakukan korupsi yang besar itu," katanya saat dihubungi Monitorindonesia.com, Kamis (2/11).

Dugaan tipikor itu terjadi karena minimnya pengawasan kepada BPDPKS, lanjut politikus partai Demokrat ini, terlebih instansi yang membawahi BPDPKS tentu ikut terlibat dalam tipikor tersebut.  

"Peristiwa korupsi itu terjadi bisa saja karena pengawasan dari oknum instansi yang membawahi BPDPKS ikut terlibat dan kecipratan dana yang dikorupsi itu. Karena modus korupsi tidak dilakukan oleh seorang diri melainkan dilakukan secara bersama- sama," jelasnya.

Terlebih lagi komoditas sawit sangat menjanjikan dan menjadi primadona untuk mendapatkan dana besar.  "Komoditas sawit adalah primadona dalam mendapat dana baik untuk pajak dan juga iuran dari perusahaan yang bergerak di bidang sawit kepada BPDPKS," bebernya.

Mirip Kasus BTS Kominfo

Santoso pun menegaskan, Komisi III DPR akan memanggil aparat penegak hukum terkait apabila kasus penanganan tersebut tidak berjalan sesuai prosedur, apalagi jika sampai terhenti di tengah jalan. 

"Akan dipanggil jika penanganan kasus hukumnya tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku apalagi sampai berhenti tanpa adanya kejelasan," tegasnya. 

Kata Santoso, dugaan kasus tipikor di BPDPKS terbilang mirip dengan kasus BTS di Kominfo. Untuk itu, setiap aliran dana yang keluar harus diperiksa kemana tujuan dan asalnya. 

"Praktek korupsi ini hampir mirip dengan kasus BTS di Kominfo, dimana uang iuran perusahaan yang bergerak di bidang tertentu dananya disalahgunakan oleh pengelola. Namun, menteri yang membawahi badan tersebut harus diperiksa juga, apakah mengalir dana korupsi itu kepada pimpinan yang ada di atasnya," tukasnya.

Menananggapi dugaan rasuah itu, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan, pihaknya menghormati proses yang tengah dilakukan Kejaksaan Agung. 

“Pada prinsipnya BPDPKS menghormati dan akan kooperatif terhadap langkah hukum yang saat ini dilakukan oleh Kejagung terkait dengan pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh BPDPKS,” ujar Eddy Kamis (21/9/2023).

Monitorindonesia.com telah mengonfirmasi lagi ke BPDPKS pada beberapa waktu lalu soal kasus ini, namun belum mendapatkan respons.