Ekonom: Jangan Rampok Tanah Rakyat Atas Nama Investasi

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 17 September 2023 14:40 WIB
Jakarta, MI - Ekonom Prof. Anthony Budiawan menegaskan bahwa pemberian hak atas tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau oleh pemerintah kepada perusahaan tidak boleh merampas hak tanah warga yang sudah tinggal sebelum Indonesia merdeka. Hal ini ia tegaskan merespons pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD yang menyatakan bahwa hal tanah Pulau Rempang sudah diberikan ke perusahaan pada 2001 dan 2022. "Menkopolhukam Mahfud MD bicara tidak jelas. Tidak berguna. Pemberian hak atas tanah di Rempang tidak boleh merampas hak tanah warga setempat yang sudah tinggal sejak dulu, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Jangan merampok tanah rakyat atas nama investasi," kata Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) itu dalam unggahannya di media sosial X, Minggu (17/9). Antohny menilai komentar Mahfud MD bahkan memperkeruh suasana, menjadi bertambah tidak jelas, siapa yang disebut diberi hak atas tanah sejak 2001, 2002? Apakah maksudnya PT MEG? Menurut Anthony, perjanjian antara otorita Batam, Pemko Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) pada 26 Agustus 2004 menyebut bahwa Kampung Tua di Pulau Rempang dan pulau-pulau lainnya harus dipertahankan, alias tidak termasuk area pengembangan kawasan oleh investor. Tetapi, sekarang kemudian berkembang menjadi “perampasan” hak tanah penduduk setempat oleh investor, difasilitasi pemerintah, kolonialisme dan invasi modern atas nama investasi. "Investasi “kolonialisme” ini tidak bisa dibiarkan, wajib dihentikan. Biarkan rakyat di sana tetap tinggal di tanah leluhur mereka. Tanah di Rempang begitu luas, mencapai 17.000 hektar, sedangkan jumlah penduduk sangat sedikit, kenapa harus disingkirkan?" tanyanya. "Oleh karena itu, tidak ada alasan apapun yang bisa membenarkan tindakan pengusiran ini, yang pada hakekatnya melanggar hak kepemilikan warga negara dan hak asasi manusia," imbuhnya. Sebelumnya pada Jum'at lalu (8/9), Mahfud MD mengatakan, pemberian hak tanah Pulau Rempang sudah diberikan ke perusahaan berdasarkan Surat Keputusan (SK) terkait pemberian hak atas tanah pada 2001 dan 2002. “Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu tahun 2001, 2002,” kata Mahfud. Namun pada 2004 hingga seterusnya kata Mahfud, menyusul beberapa keputusan hingga tanah tersebut diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Hal itu karena sebelum investor masuk, tanah tersebut belum digarap dan tidak pernah ditengok. Namun pada 2022, ketika investor datang, situasi menjadi rumit atas adanya kekeliruan pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Oleh karena itu kata Mahfud, kekeliruan tersebut pun diluruskan, sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002. "Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan. Tapi proses, karena itu sudah lama, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi. Meskipun, menurut hukum tidak boleh, karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun," pungkasnya. (An) #Investasi