Harga Minyak Terdongkrak, Ketegangan Laut Merah dan Produksi AS jadi Pemicu

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 9 Juli 2025 08:50 WIB
Harga minyak dunia melonjak pada Selasa (8/7/2025) (Foto: Ist)
Harga minyak dunia melonjak pada Selasa (8/7/2025) (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Harga minyak dunia melonjak pada Selasa (8/7/2025), menyentuh level tertinggi dalam dua pekan terakhir. Kenaikan ini dipicu oleh kombinasi sentimen negatif, mulai dari penurunan proyeksi produksi minyak Amerika Serikat (AS), serangan Houthi terhadap kapal di Laut Merah, hingga aksi beli teknikal untuk menutup posisi short.

Minyak mentah Brent naik 0,8 persen dan ditutup di level USD70,15 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) menguat 0,6 persen ke USD68,33 per barel. Keduanya mencetak penutupan tertinggi sejak 23 Juni dan memperpanjang reli untuk hari kedua berturut-turut.

“Revisi turun proyeksi produksi minyak AS memicu reli harga, dan sentimen itu terus berlanjut seiring kabar tarif tembaga serta memanasnya situasi di Laut Merah,” kata analis di Price Futures Group, Phil Flynn, dikutip Reuters.

Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) dalam proyeksi terbarunya memprediksi bahwa produksi minyak AS pada tahun 2025 akan lebih rendah dibandingkan estimasi sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh harga minyak yang melemah, sehingga banyak perusahaan memilih untuk mengurangi aktivitas produksi sepanjang tahun ini.

Presiden AS Donald Trump pada Selasa menyampaikan rencana untuk mengenakan tarif 50 persen atas tembaga guna mendorong produksi domestik logam yang penting bagi kendaraan listrik, peralatan militer, jaringan listrik, serta berbagai barang konsumsi. Keputusan ini mengejutkan pasar dan mendorong harga tembaga ke rekor tertinggi.

Di Laut Merah, tiga awak kapal tewas dalam serangan drone dan kapal cepat terhadap kapal kargo Eternity C berbendera Liberia dan dioperasikan Yunani, insiden kedua dalam sehari setelah beberapa bulan relatif tenang.

Serangan-serangan ini memaksa kapal-kapal pengangkut minyak, gas alam cair, dan komoditas energi lainnya menghindari kawasan tersebut, sehingga memicu lonjakan biaya energi.

Sejumlah analis juga mencatat bahwa pasar minyak didukung aksi short covering secara teknikal, setelah harga Brent menembus USD70 per barel, yang menjadi level psikologis sekaligus teknikal penting.

Selain itu, para trader energi juga mengamati lonjakan harga bensin dan solar AS dalam beberapa pekan terakhir. Hal ini mengerek selisih harga atau crack spread solar ke level tertinggi sejak Maret 2024, dan crack spread 3:2:1 ke posisi tertinggi dalam enam pekan terakhir. Crack spread digunakan untuk mengukur margin keuntungan kilang.

“Faktor paling positif bagi pasar energi saat ini adalah kemampuannya untuk tetap menguat, meskipun banyak kabar negatif yang biasanya akan menekan harga minyak,” ujar analis di perusahaan konsultan energi Ritterbusch and Associates.

Sentimen negatif itu antara lain rencana Trump untuk kembali meningkatkan perang dagang, serta rencana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya atau OPEC+ untuk menaikkan produksi sebesar 548.000 barel per hari pada Agustus.

Di sisi lain, analis memperkirakan cadangan minyak mentah AS menyusut sekitar 2,1 juta barel pada pekan lalu. Data resmi dari American Petroleum Institute (API) dan Energy Information Administration (EIA) dijadwalkan dirilis masing-masing pada Selasa dan Rabu waktu setempat.

Jika proyeksi tersebut terbukti akurat, maka ini akan menjadi penurunan stok keenam dalam tujuh minggu terakhir. Sebagai pembanding, pada periode yang sama tahun lalu, penarikan stok mencapai 3,4 juta barel, sedangkan rata-rata perubahan lima tahun terakhir (2020–2024) menunjukkan adanya kenaikan sebesar 1,9 juta barel.

Topik:

minyak-mentah harga-minyak