Alat Bukti Pemerasan Firli yang Disajikan Polisi Dinilai Tak Sesuai Putusan MK dan Pasal 184 KUHAP!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 17 Desember 2023 19:11 WIB
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Foto: MI/Aswan)
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Pihak Polda Metro Jaya telah menetapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Firli Bahuri sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL). Penetapan ini berujung pada gugatan praperadilan yang diajukan kubu Firli Bahuri. Hasilnya akan diumumkan pekan depan.

Penetapan tersangka terhadap mantan jenderal polisi bintang tiga itu didasarkan pada pemeriksaan terhadap 91 saksi, keterangan dari delapan ahli, sebuah foto atau potret pertemuan antara Firli Bahuri dengan SYL yang tersebar di dunia maya dan surat anonim tertanggal 1 Oktober 2023 yang berjudul ‘Kronologi’ sebagai alat bukti surat.

Kendati demikian, pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menilai bahwa alat bukti yang disajikan Polda Metro Jaya itu tidak seusai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 dan pasal 184 KUHAP. Kenapa demikian?

Yusril menjelaskan, jika dari 91 saksi tersebut tidak ada satupun saksi yang melihat, mendengar dan mengalami secara langsung tindak pidana yang terjadi, maka alat bukti inipun menjadi tidak sah secara hukum.

Menurut Yusril, terhadap 1 keterangan saksi atau saksi tunggal yang tidak didukung dengan keterangan saksi lainnya atau alat bukti surat yang sah yang dapat membuktikan kebenaran fakta terjadinya suatu tindak pidana berlaku asas Unus Testis Nullus Testis.

“Sehingga alat bukti keterangan saksi yang berdiri secara tunggal yang berbentuk pengakuan secara sepihak dari satu orang saja tanpa didukung dengan alat bukti keterangan saksi lainya dan/atau alat bukti surat yang sah lainnya (Pasal 184 KUHAP), maka keterangan saksi tunggal tersebut tidak dapat dinilai dan dijadikan sebagai alat bukti keterangan saksi sebagaimana yang dimaksud dalam Putusan MK 21/2014,” jelas Yusril dikutip pada Minggu (17/12).

Apa bila hanya didasarkan seperti itu, usril menegaskan, maka dengan sendirinya penetapan tersangka terhadap Firli adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Karena tidak sesuai dengan ketentuan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang telah berubah atau berlaku setelah adanya Putusan MK tersebut,” bebernya.

Sementara terkait keterangan delapan orang ahli yang dijadikan alat bukti, Yusril mengatakan, keterangan ahli dalam proses penyelidikan dan penyidikan juga harus dinilai dan digunakan secara hati-hati oleh penyelidik dan penyidik. “Keterangan yang dikemukakan oleh ahli pada tahapan proses penyelidikan dan penyidikan hanyalah didasarkan pada hal-hal yang masih bersifat abstrak dan hipotetik."

"Sehingga ahli berfikir dalam konteks speculative thinking, bukan mengungkapkan pikirannya dengan keyakinan yang bersifat positive-conclusive yang didasarkan atas fakta-fakta atau alat bukti lain yang terungkap di dalam persidangan,” tambahnya.

Dengan begitu, jika keterangan ahli digunakan oleh penyidik sebagai alat bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan. Maka, tegas Ysuril, hakim Praperadilan berkewajiban untuk menilai fakta-fakta yang terungkap guna memastikan bahwa peningkatan status penyelidikan menjadi penyidikan itu benar-benar berdasarkan alasan dan pertimbangan hukum yang kokoh ataupun tidak.

“Jika penetapan tersangka itu menggunakan alat bukti berupa keterangan ahli yang tentunya didengar pada tahap penyelidikan, maka Hakim Praperadilan berkewajiban untuk menilai keterangan ahli itu dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi."

"Karena keterangan itu mengandung sifat speculative-thinking yang mungkin berguna pada tataran filsafat, lebih-lebih dalam metafisika,  tetapi tidak banyak manfaatnya dalam konteks penerapan hukum yang konkret, yang memerlukan tingkat kepastian yang tinggi,” jelasnya.

Demikian pula alat bukti surat berupa foto atau potret yang dijadikan sebagai alat bukti surat, Yusril menilai bahwa barang itu tidak dapat dijadikan alat bukti surat berdasarkan Pasal 184 KUHAP. “Potret atau foto itu tidak menerangkan apa-apa kecuali menunjukkan dua orang yang sedang duduk yang dikenal sebagai Firli dan SYL,” ujarnya.

Yusril menambahkan, foto atau potret itu hanya dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk bahwa memang ada pertemuan yang secara fisik dan faktual terjadi antara Firli dengan SYL. “Sebagai alat bukti petunjuk, alat bukti seperti itu baru bisa ditampilkan dengan dihubungkan dengan alat-alat bukti yang lain yang terungkap dalam persidangan,” tuturnya.

Yusril menegaskan, dalam tahap penyelidikan, alat bukti berupa potret atau foto tidak menerangkan apa-apa untuk dijadikan sebagai alat bukti.

Kemudian, Yusril mengungkapkan, terkait dokumen berupa surat anonim tertanggal 1 Oktober 2023 berjudul ‘Kronologi’ yang tidak dapat dipertanggungjawabkan siapa pembuat dan pengirimnya serta harus diuji kebenaran informasinya, maka surat tersebut semestinya tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti.

“Karena bisa saja surat tersebut merupakan surat yang ditujukan untuk memfitnah, karena surat tersebut tidak dapat membuktikan fakta kebenaran telah terjadinya suatu perbuatan/tindak pidana sesuai Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B UU Tipikor yang seolah-olah dilakukan oleh Firli,” tandasnya.

Sebagai informasi bahwa:

Pasal 184 ayat (1) KUHAP mengatur tentang alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, yang bunyinya sebagai berikut:
Alat bukti yang sah ialah:
keterangan saksi;
keterangan ahli;
surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa.

Kemudian, kekuatan alat bukti dapat membuktikan putusan pengadilan bahwa putusan itu benar, sehingga si tersangka dinyatakan bersalah. Dalam penyelesaian perkara pidana, seseorang dianggap bersalah apabila sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Kekuatan alat bukti inilah yang mendukung putusan hakim di pengadilan dalam memutuskan perkara.

Selain itu, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang. Namun, dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. Selanjutnya, menurut Pasal 184 ayat (2) KUHAP, hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Putusan MK No.21/PUU-XII/2014, pada dasarnya telah mencerminkan penjaminan hak asasi tersangka atau terdakwa dengan dimasukkannya sah tidaknya penetapan status tersangka, penyitaan, dan penggeledahan sebagai objek yang dapat diajukan praperadilan. 

Dalam putusan MK No.21/PUU-XII/2014 juga memperjelas mengenai frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup dalam KUHAP harus dimaknai minimal dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 KUHAP ditambah keyakinan penyidik secara objektif. 

Namun demikian, mengenai Putusan MK No.21/PUU-XII/2014 yang menyatakan memperluas objek Praperadilan tidak dapat diartikan begitu saja menjadi kepastian hukum bahwa pasal 77 KUHAP telah berubah. Walaupun putusan MK bersifat final and binding namun tidak secara otomatis merubah KUHAP, oleh karena itu perlu diadakannya revisi KUHAP. (Wan)