Kejagung Tetapkan Eks Dirops PT Timah sebagai Tersangka Korupsi Komoditas Timah

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 8 Maret 2024 19:39 WIB
Ketut Sumedana, Kapuspenkum Kejagung (Foto: Dok MI)
Ketut Sumedana, Kapuspenkum Kejagung (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021, yang berinisial ALW sebagai tersangka ke-14 terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 sampai dengan tahun 2022 pada Kamis (7/3/2024) kemarin.

ALW juga merupakan Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019 sampai dengan 2020 PT Timah Tbk.

"Dengan tambahan satu orang tersangka tersebut, maka jumlah keseluruhan tersangka sampai saat ini yaitu 14 orang (termasuk tersangka dalam perkara obstruction of justice)," ujar Ketut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, Jum'at (8/3/2024).

Kasus Posisi

Adapun kasus posisi yang berkaitan dengan tersangka ALW yaitu pada tahun 2018, tersangka ALW selaku Direktur Operasi PT Timah Tbk periode 2017 sampai dengan 2018 bersama tersangka MRPT selaku Direktur Utama PT Timah Tbk dan tersangka EE selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan smelter swasta lainnya.

Hal itu diakibatkan oleh masifnya penambangan liar yang dilakukan dalam wilayah IUP PT Timah Tbk

Atas kondisi tersebut, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE yang seharusnya melakukan penindakan terhadap kompetitor, justru menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama dengan membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar yang ditetapkan oleh PT Timah Tbk tanpa melalui kajian terlebih dahulu.

Guna melancarkan aksinya untuk mengakomodir penambangan ilegal tersebut, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE menyetujui untuk membuat perjanjian seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter.

Pasal yang disangkakan kepada kedua tersangka adalah Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. 

"Tersangka ALW tidak dilakukan penahanan karena yang bersangkutan sedang menjalani penahanan dalam penyidikan perkara lain yang tengah diproses oleh Kejaksaan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung," tandas Ketut.

Pada Rabu (21/2/2024) lalu, tim penyidik Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) sudah terlebih dahulu menetapkan MRPT, dan EE sebagai tersangka dari PT Timah Tbk. Adapun para tersangka lainnya, dari kalangan swasta, juga sudah diumumkan ke publik satu per satu bergantian oleh penyidik sejak Januari-Februari 2024 lalu.

Di antaranya, tersangka Suwito Gunawan (SG) Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa, dan MB Gunawan (MBG) selaku Direktur PT Stanindo Inti Perkasa. Tersangka Hasan Tjhie (HT) selaku Dirut CV Venus Inti Perkasa (VIP). Tersangka Kwang Yung alias Buyung (BY) selaku mantan komisaris CV VIP.

Tersangka Robert Indarto (RI) sebagai direktur utama (Dirut) PT SBS, dan Tamron alias Aon (TN) sebagai pemilik manfaat atau benefit official ownership CV VIP. Tersangka Achmad Albani (AA) selaku manager operational CV VIP.

Tersangka Suparta (SP) selaku Dirut PT Rafined Bangka Tin (RBT), dan Reza Andriansyah (RA) selaku Direktur Pengembangan PT RBT. Serta Tersangka Rosalina (RL) selaku General Menager PT Tinindo Inter Nusa (TIN).

Semua tersangka tersebut dijerat dengan sangkaan yang sama. Yakni Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor 31/1999 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Sedangkan satu lagi, yakni Toni Tamsil (TT) merupakan tersangka pertama dalam penyidikan kasus ini.

Namun penetapan TT sebagai tersangka, pada Selasa (30/1/2024) terkait dengan perintangan penyidikan atau obstruction of justice (OOJ), Pasal 21 UU Tipikor.

Dalam penyidikan korupsi penambangan timah di lokasi IUP PT Timah Tbk ini, pun Jampidsus-Kejakgung sudah mengantongi nilai kerugian negara sementara.

Dari pengitungan yang dilakukan oleh tim ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat (Jabar) kerugian kerusakan lingkungan dan ekologi akibat aktivitas pertambangan timah ilegal tersebut mencapai Rp 271 triliun.

Nilai tersebut dalam penyidikan dimasukkan dalam kerugian perekonomian negara. Namun penyidik belum mengumumkan angka kerugian keuangan negara dari korupsi dalam penambangan timah tersebut.

Sebagai informasi, bahwa hingga saat ini penyidik gedung bundar Jampidus Kejagung itu telah memeriksa total 139 orang saksi dalam perkara ini. (wan)