Usai Diperiksa, Rumah Bos Sriwijaya Air Diacak-acak Kejagung

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 11 Maret 2024 20:14 WIB
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI (Foto: MI/Aswan)
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Usai diperiksa terkait dengan penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015 sampai dengan 2022, rumah Direktur Sriwijaya Air berinisial HL diacak-acak Kejaksaan Agung (Kejagung).

HL sebelumnya diperiksa oleh penyidik Jaksa Agung Muda (JAM) Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Kamis (29/2) kemarin. Adapun HL yang dimaksud adalah Hendry Lie selaku pendiri sekaligus Direktur Sriwijaya Air. Hal ini berdasarkan sumber internal di Kejagung. Selain HL. Saat itu Kejagung juga memeriksa D selaku Pegawai PT Refined Bangka Tin.

Sementara soal penggeledahan, itu dilakukan selama tiga hari rentang Rabu (6/3/2024) hingga Jumat (8/3/2024). Selain rumah HL, penyidik gedung bundar Jampidsus Kejagung itu juga menggeledah kantor swasta, yakni PT QSE dan PT SD.

"Tim Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus telah melakukan serangkaian tindakan penggeledahan di beberapa tempat yakni kantor PT QSE, PT SD, dan rumah tinggal Sdr HL di wilayah Provinsi DKI Jakarta," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana dalam keterangannya, Sabtu (9/3/2024).

Dari penggeledahan di tiga lokasi tersebut, disita uang tunai rupiah dan valuta asing. Uang tunai yang disita sebanyak Rp 10 miliar dan SGD 2 juta yang dikonversikan per hari ini senilai Rp 23 miliar lebih.

Jika ditotal, maka jumlah uang tunai yang disita mencapai Rp 33 miliar lebih. Menurut Ketut uang tunai tersebut terindikasi kuat berhubungan dengan dugaan tindak pidana korupsi yang sedang disidik.

"Uang tunai sebesar Rp 10.000.000.000 dan SGD 2.000.000 yang diduga kuat berhubungan atau merupakan hasil tindak kejahatan," kata Ketut.

Selain uang tunai, tim penyidik juga mengantongi barang bukti elektronik dan dokumen-dokumen dari penggeledahan tersebut. Penggeledahan dan penyitaan ini rupanya dilakukan sebagai tindak lanjut dari keterangan para tersangka dan saksi.

"Kegiatan penggeledahan dan penyitaan dilakukan oleh Tim Penyidik untuk menindaklanjuti kesesuaian hasil dari pemeriksaan atau keterangan para tersangka dan saksi mengenai aliran dana yang diduga berasal dari beberapa perusahaan yang terkait dengan kegiatan tata niaga timah ilegal," katanya.

14 Tersangka

Dari 14 tersangka yang sudah ditetapkan, terdapat penyelenggara negara, yakni: M Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) selaku mantan Direktur Utama PT Timah; Emil Emindra (EML) selaku Direktur Keuangan PT Timah tahun 2017 sampai dengan 2018; dan Alwin Albar (ALW) selaku Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021 sekaligus Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019 sampai dengan 2020 PT Timah.

Kemudian selebihnya merupakan pihak swasta, yakni: Pemilik CV Venus Inti Perkasa (VIP), Tamron alias Aon (TN); Manajer Operasional CV VIP, Achmad Albani (AA); Komisaris CV VIP, BY; Direktur Utama CV VIP, HT alias ASN; General Manager PT Tinindo Inter Nusa (TIN) Rosalina (RL); Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) berinisial RI; SG alias AW selaku pengusaha tambang di Pangkalpinang; MBG selaku pengusaha tambang di Pangkalpinang; Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta (SP); dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, Reza Andriansyah (RA).

Sedangkan dalam obstruction of justice, Kejagung telah menetapkan Toni Tamsil alias Akhi, adik Tamron sebagai tersangka. Nilai kerugian negara pada kasus ini ditaksir mencapai Rp 271 triliun.

Bahkan menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksan Agung, nilai Rp 271 triliun itu akan terus bertambah. Sebab nilai tersebut baru hasil penghitungan kerugian perekonomian, belum ditambah kerugian keuangan.

"Itu tadi hasil penghitungan kerugian perekonomian. Belum lagi ditambah kerugian keuangan negara. Nampak sebagian besar lahan yang ditambang merupakan area hutan dan tidak ditambal," kata Dirdik Jampidsus Kejaksaan Agung, Kuntadi dalam konferensi pers Senin (19/2/2024).

Akibat perbuatan yang merugikan negara ini, para tersangka di perkara pokok dijerat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Kemudian tersangka obstruction of justice, dijerat Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (wan)