Penghitungan Kerugian Negara Korupsi Timah Tak Lewat BPK, Sorotan Para Pakar Hukum

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 12 Maret 2024 02:34 WIB
Tambang timah ilegal di kawasan hutan produksi Sungai Liat Mapur, Bangka (Foto: Istimewa)
Tambang timah ilegal di kawasan hutan produksi Sungai Liat Mapur, Bangka (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Menyoal kewenangan penetapan kerugian negara, pada dasarnya terdapat tiga lembaga yang boleh menghitung dan menetapkan adanya kerugian negara dalam kasus tipikor yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.

Kewenangan BPK untuk menghitung dan menetapkan kerugian negara diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK. Sementara Pasal kewenangan BPKP untuk diatur dalam Pasal 3 huruf Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 

Kedua lembaga tersebut merupakan pihak yang berhak menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, BPKP merupakan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Pasal 48 ayat (2) huruf a mengatur, aparat pengawasan intern pemerintah melakukan pengawasan intern melalui audit.

Sementara KPK memiliki Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi yang bertugas menghitung kerugian negara dalam kasis tipikor. 

Kewenangan KPK untuk penghitungan kerugian negara, ditegaskan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 yang menyatakan bahwa dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain.

Putusan MK tersebut juga menyatakan bahwa KPK bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu. 

Bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya.

Soal penghitungan kerugian negara akibat dugaan rasuah, kerugian ekologi atau lingkungan akibat korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022, misalnya.

Disebutkan bahwa kerugiannya, sebesar Rp271 triliun. Penghitungan kerugian negara kasus ini masih menjadi pro-kontra. Pasalnya hanya berdasarkan penghitungan ahli forensik lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo. Artinya tidak melalui BPK maupun BPKP. 

Pakar hukum pidana dari Univesitas Trisakti, Adbul Fickar Hadjar pernah menyatakan penegak hukum tidak bisa sembarangan dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara. 

Sebab, unsur kerugian keuangan negara dalam sebuah perkara akan dituangkan ke dalam surat dakwaan. Namun, jika surat dakwannya tidak memenuhi unsur jelas dan akurat, maka dakwaan bisa batal demi hukum. "Karena itu setiap dakwaan korupsi menjadi penting perhitungan kerugian negaranya," tegasnya.

Unsur kerugian keuangan negara merupakan hal terpenting dalam pembuktian kasus yang menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor. Hanya saja, jika unsur kerugian keuangan negara hanya berdasarkan asumsi, maka hakim bisa menyatakan hal tersebut tidak sah.

"Karena unsur yang sangat mempengaruhi terbukti atau tidaknya korupsi adalah kerugian negara," tambah Fickar.

Pakar hukum lingkungan atau Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ) Andri Gunawa Wibisana turut mempertanyakan metode penghitungan yang digunakan dalam kasus itu. Menurutnya, kerusakan lingkungan di suatu daerah tambang tidak bisa otomatis disimpulkan sebagai kerugian negara dan terjadi tindak pidana korupsi.

"Buktikan dulu tindak pidana korupsinya. Kerusakan lingkungan itu biasanya merupakan dampak. Dalam kasus pencemaran atau kebakaran hutan misalnya, tidak otomatis terjadi korupsi, tapi kesalahan dalam tata kelola lingkungan,” ujar Andri dalam keterangan tertulis, Kamis (29/2/2024).

Andri mengatakan, untuk menghitung kerugian negara akibar kerusakan ekologi, perlu dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum. Selanjutnya, perlu diperhatikan metode penghitungannya, baik dari aspek kelaziman metode tersebut hingga bisa diuji secara ilmiah.

“Ini kan bukan seperti menghitung barang atau mobil yang hilang. BPK juga belum tentu punya kemampuan untuk menghitung kerusakan lingkungan. Ada namanya teknik evalusi lingkungan dan itu ada pakarnya,” tutur Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu.

Untuk menghitung kerugian ada konteks kasus tata niaga timah, perlu dilihat secata detail. Sederhananya, ada dua bentuk kerugian yakni kerugian negara yang berkaitan dengan APBN/ APBD dan perekonomian negara.

“Yang pasti buktikan dulu korupsinya. Tidak berarti ada pencemaran terus ada korupsi kan. Korupsi bisa berdampak a, b, c, d, salah satunya kerusakan lingkungan,” tegas Andri.

Sementara itu, Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menilai, dalam membuktikan kerugian negara atas satu kasus, perlu didasari pada audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Untuk membuktikan adanya kerugian perekonomian negara itu termasuk kerugian karena kerusakan ekologis kan itu harus berdasarkan audit BPK," kata Chairul.

Menurutnya, hingga saat ini belum ada landasan yang jelas untuk menentukan kerugian negara dalam bentuk kerugian ekologis. "Jadi belum ada dalil yang cukup kuat untuk mengkonstruksi secara demikian," pungkasnya.

Kerugian akibat kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian Negara

Sementara itu, Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI), Gandjar Laksmana Bonaprapta, mengatakan kerugian akibat kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian negara. Menurutnya, perkara kerugian negara atau kerugian perekonomian negara di atur dalam pasal 2 dan 3 Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK). 

Dalam Pasal 2 ayat (1) misalnya, menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Lalu, denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. 

Karena itu, kerugian berupa kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian yang dimaksud di Pasal 2 dan 3 UU PTPK. 

“Pasal 2 dan 3 UU PTPK itu mengatur adanya kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara. Kerugian berupa kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian yang dimaksud di Pasal 2 dan 3 UU PTPK. Jadi ini bukan urusan kelaziman tapi urusan bagaimana memahami maksud UU dan ini menyangkut kepastian hukum,” kata ujar, Gandjar dalam keterangannya dikutip pada Selasa (12/3/2024). 

Gandjar menjelaskan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan bukanlah tindak pidana korupsi. Alasannya, kerugian lingkungan tidak termasuk kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3 UU PTPK. 

Dengan demikian, penetapan tersangka pada seseorang yang berdasar pemahaman unsur yang salah atau tidak tepat menjadi tidak tepat pula. Gandjar juga berpendapat bahwa berwenang menghitung kerugian keuangan negara adalah BPK. 

Artinya, perhitungan ahli forensik lingkungan IPB bahwa kerugian ekologi menjadi dasar kerugian negara tidak lah tepat. “Sebagai tambahan kerusakan lingkungan merupakan akibat yang dilarang oleh UU Lingkungan".

"Pelakunya seharusnya dijerat sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Bukan dipaksakam sebagai tindak pidana korupsi apalagi berdasarkan penafsiran yang menyimpang dari maksud UU,” tutur dia.

Hati-hati

Di sisi lain, langkah kejaksaan menyasar kerugian ekologis atas kasus korupsi ini patut mendapat didukung. Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, menyebutkan perhitungan menggunakan Permen LHK No 7 Tahun 2014 menghasilkan jumlah yang cukup besar. Pasalnya berbagai perhitungan ini menggunakan berbagai faktor kerugian ekologis.

Perhitungan itu mencakup dana pemulihan, perhitungan pemanfaatan lahan yang seharusnya didapatkan, hilangnya daya dukung, dan dampak atas hilangnya daya dukung lingkungan terhadap lingkungan sekitar. 

“Soal daya dukung ini pengertiannya adalah ketika lahan rusak, misalnya hutan lindung, maka apa saja dampaknya terhadap kawasan sekitar. Misalnya hutan lindung itu diperuntukkan untuk menopang kebutuhan air untuk pertanian ataupun kebutuhan lain. Namun yang terjadi adalah penurunan kualitas kawasan sekitar,” jelas Roni. 

Namun Roni mengingatkan kejaksaan perlu berhati-hati untuk menyusun pembuktian secara saintifik ini. 

Dia mengungkapkan setidaknya terdapat dua kasus korupsi yang turut menyasar kerugian ekologis negara. Pertama adalah kasus korupsi pemberian IUP eksplorasi kepada PT Anugrah Harisma Barakah di wilayah Sultra tahun 2008-2014 yang menyeret Gubernur Sulawesi Tenggara saat itu, Nur Alam. Kasus ini ditangani oleh KPK.

Kedua adalah kasus korupsi perizinan lahan yang menyeret Bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi. Pada kasus ini kejaksaan menyebutkan empat perusahaan di bawah Pt Duta Palma Group menyerobot lahan seluas 37.095 ha di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. 

Keempat perusahaan tersebut adalah PT Banyu Bening Utama pada tahun 2003, seta PT Panca Agro Lestari, PT Palma Satu, dan PT Seberida Subur pada tahun 2007.

Pada perkara Nur Alam, KPK menghitung pemulihan lingkungan berdasar penghitungan Permen LHK No 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Akibat Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan. 

Total kerugian negara di sektor lingkungan mencapai Rp 2,73 triliun. Tim KPK juga menambah Rp 1,6 triliun lagi dari keuntungan yang diperoleh perusahaan tambang, PT Anugrah Harisma Barakah (PT AHB). Dengan demikian total kerugian ekonomi negara mencapai Rp 4,3 triliun.

Namun tuntutan ini ditolak oleh hakim di pengadilan tingkat pertama dengan alasan beban kerugian ekologis dan biaya pemulihan lingkungan merupakan tanggung jawab perusahaan, bukan Nur Alam. 

“Bahkan pada tingkat kasasi, majelis hakim agung menyebutkan kerugian sebesar Rp 15 triliun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara melainkan murni keuntungan yang diperoleh berdasarkan usaha,” beber Roni. 

Sedangkan pada perkara Surya Darmadi, yang ditangani oleh Kejaksaan Agung, Pengadilan Negeri jakarta Pusat menjatuhkan hukuman uang pengganti Rp 2,238 triliun dan membayar kerugian ekonomi negara Rp 39,7 triliun. 

Pada tingkat kasasi, MA menyunat hukuman uang pengganti yang harus ditanggung Surya Darmadi. dari Rp 42 triliun menjadi Rp 2 triliun bagi Surya Darmadi untuk mengembalikan kerugian negara.

Perjalanan dua perkara ini, menurut Roni, harus menjadi perhatian jaksa agar perjalanan kasus dugaan korupsi IUP PT Timah tidak menuai kekecewaan yang sama di pengadilan, baik di tingkat pertama hingga MA. 

Ia menyebutkan permasalahan dalam pembuktian kerugian lingkungan ini terjadi karena dalam UU Tindak Pidana Korupsi, kajian saintifik belum masuk dalam daftar bukti. Namun dari berbagai putusan pengadilan, keterangan ahli, dan kajian saintifik bisa menjadi petunjuk hakim.  

“Makanya pembuktian saintifik tetap penting, jaksa perlu menghubungkan kerugian perekonomian dengan kerugian ekologis karena di UU Tindak Pidana Korupsi hal itu tidak dijelaskan,” kata dia.

Kerugian Negara Rp 271 T

Kejaksaan Agung (Kejagung) memperhitungkan kerugian ekologis mencapai Rp 271 Triliun dan akan menambahkannya sebagai kerugian negara atas kasus dugaan korupsi Izin Usaha Pertambangan PT Timah. 

Langkah menyasar kerugian ekologis patut didukung namun kejaksaan harus memperkuat kajian saintifik perhitungan ini. Setidaknya dua kasus korupsi yang turut menyasar kerugian ekologis menuai hasil mengecewakan di pengadilan. 

Penghitungan kerugian ekologis dilakukan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bambang Hero Saharjo, melalui pengamatan citra satelit dari 2015 hingga 2022. Terdapat IUP di darat seluas 349.653,574 hektare di tujuh kabupaten di Provinsi Bangka Belitung. 

Sedangkan data luas galian tambang di tujuh kabupaten itu totalnya 170.363,064 ha, sekitar 75.345,751 ha berada di dalam kawasan hutan dan 95.017,313 ha berada di luar kawasan hutan.

Galian tambang dalam kawasan hutan itu berada di hutan lindung (13.875,295 hektare), di hutan produksi tetap (59.847,252 ha), di hutan produksi yang dapat dikonversi (77,830 ha), dan di taman hutan raya (1.238,917 ha). "Bahkan di taman nasional pun ada, yaitu seluas 306,456 ha," kata Bambang.

Penghitungan kerugian ekologi dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan. Kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah dalam kawasan hutan mencapai Rp 223,36 triliun.

Jumlah ini terdiri dari biaya kerugian lingkungan (ekologi) sebesar Rp 157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 60,27 miliar, dan biaya pemulihan lingkungan Rp5,26 miliar.

Sementara itu, kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah di luar kawasan hutan atau di areal penggunaan lain(APL), biaya kerugian lingkungannya sebesar Rp25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15,2 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp6,62 miliar sehingga totalnya Rp 47,70 triliun. 

"Kalau semua digabung kawasan hutan dan luar kawasan hutan, total kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp 271,06 triliun," kata Bambang.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Kuntadi menyebut hasil penghitungan kerugian ekologi akan ditambahkan dengan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dalam perkara yang sedang diusut Kejagung, dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah IUP PT Timah Tbk periode 2015 sampai dengan 2022.

"Saat ini penghitungan kerugian keuangan negara masih berproses, nanti berapa hasilnya akan kami sampaikan," ujar Kuntadi.