Abaikan Amicus Curiae dan Putusan DKPP, MK Masih jadi Mahkamah Kalkulator!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 27 April 2024 02:29 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK) RI (Foto: Dok MI)
Mahkamah Konstitusi (MK) RI (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) turut menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan yang diajukan pasangan calon (paslon) presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut satu yakni, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta paslon nomor urut tiga, yakni Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dalam sidang putusan perselisihan sengketa hasil pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Apalagi dalam putusan tersebut terdapat tiga hakim yang mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion, yang baru pertama kali terjadi dalam perkara perselisihan sengketa pemilihan umum (pemilu). Biasanya putusan dalam perkara tersebut, para hakim memiliki sikap yang bulat atau sama.

PenelitiPerludem, Kahfi Adlan Hafiz, menjelaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perkara ini masih menjadi "mahkamah kalkulator."  Pasalnya lembaga itu masih memandang untuk lebih mendalami mengenai selisih hasil perolehan suara ketimbang kualitas pembuktian maupun dalil-dalil pemohon.

“Misalnya, dalam distribusi bansos yang kemudian sangat berdampak pada elektabilitas kandidat-kandidat tertentu, tetapi itu tidak dipertimbangkan. Kemudian dianggap sebagai bukan pelanggaran yang mempengaruhi hasil. Sementara kalau kita lihat memang Mahkamah Kontitusi masih melihat apakah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan itu apakah mempengaruhi hasil atau tidak,” ungkap Kahfi dikutip pada Sabtu (27/4/2024).

Kahfi mengungkapkan hal itu dalam acara peluncuran hasil pemantauan perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi oleh Perludem pada Rabu (24/4/2024) di Jakarta.

Dalam temuannya, MK juga tidak mempertimbangkan banyaknya Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan yang diajukan dari sejumlah akademisi, tokoh hingga masyarakat sipil terutama pada bagian pertimbangan hukum sebelum amar putusan. 

Selain itu, dissenting opinion baru pertama kali ada dalam putusan perselisihan hasil Pemilu kali ini. Hal tersebut dilakukan oleh tiga hakim konstitusi, yaitu Arief Hidayat, Saldi Isra dan Eny Nurbaningsih.

Terkait dalil pemohon soal Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tidak menindaklanjuti pelanggaran pemilu yang dilakukan pasangan calon nomor urut dua, Bawaslu menyatakan sejumlah laporan memang sudah memenuhi persyaratan formil, tetapi belum memenuhi persyaratan materiil.

Namun sebagian laporan lainnya telah ditindaklanjuti. Atas hal itu Kahfi menyayangkan tidak ada hasil kajian yang diberikan Bawaslu kepada terlapor khususnya pada bagian mana dan syarat materil dan formil yang tidak terpenuhi oleh pelapor. Semestinya hal itu harus diberikan.

Fadli Ramadhanil, manager program Perludem mengatakan waktu 14 hari kerja bagi MK untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara perselisihan hasil Pemilu (PHPU) merupakan waktu yang sangat singkat sehingga proses pembuktian tidak dapat dilakukan secara mendalam. Akibatnya, hakim kerap menyatakan kurang cukup bukti atau menyakinkan mahkamah.

Fadli mencontohkan terkait kasus politisasi bansos. Jika MK merasa bukti yang ada kurang, mengapa ketika proses pembuktian, hakim MK tidak meminta pemohon untuk menambah alat buktinya, katanya.

Fadli juga menyayangkan tidak terbuktinya mobilisasi aparatur dan nepotisme dari Presiden Jokowi dan jajaran pemerintah untuk mendukung paslon nomor urut dua Dari mayoritas pertimbangannya, hakim MK seolah-olah membuat konstestasi politik pemilihan presiden ini ada “di ruang kosong”.

MK seolah menutup mata terkait pencalonan Gibran yang bermasalah sejak awal dengan menyatakan proses pendaftaran anak Presiden Jokowi itu sudah diawasi oleh Bawaslu dan putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang menyatakan ada pelanggaran etik terkait putusan lembaga itu Nomor 90 Tahun 2023 tentang batas usia tidak serta-merta menggugurkan pencalonan Gibran.

Hakim MK, tambahnya, juga mengabaikan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melanggar etik yang menerima pendaftaran hingga penetapan Gibran sebagai cawapres padahal lembaga penyelenggara pemilu itu belum merevisi Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang pencalonan presiden dan wakil presiden. Lembaga itu langsung merujuk pada keputusan MK Nomor 90 Tahun 2023.

“Sebetulnya alasan-alasan tidak cukup alat bukti, tidak cukup waktu kemudian alasan yang cukup bagi mahkamah untuk mendalami setiap dalil, menurut saya memang ada problem pendekatan terhadap menilai sebuah kualitas pembuktian di tengah waktu yang sangat singkat,” kata Fadli.

Yang kedua, imbuhnya, MK sepertinya ragu-ragu karena sebagian dalil yang kemudian disampaikan oleh pemohon itu sumbernya dari mahkamah sendiri, yaitu Putusan Nomor 90 terkait dengan pencalonan Gibran.

Dalam putusannya, MK juga memerintahkan sejumlah perbaikan untuk Pemilu yang akan datang bahkan pemilihan kepala daerah.

Hal ini, kata Fadli, sangat “anomali” karena kasus pemilu yang ada adalah kasus yang terjadi saat ini terkait dengan kejadian hukum konkret pemilu 2024 yang diserahkan ke MK untuk diselesaikan. Namun, mengapa lembaga itu justru memerintahkan perbaikan untuk Pemilu yang akan datang.

Sementara itu, pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli, menilai pemilihan presiden (pilpres) 2024 bermasalah. Alhasil, presiden terpilih kurang kuat legitimasinya karena tiga hakim konstitusi menunjukkan ada persoalan-persoalan, yakni politisasi bantuan sosial, keterlibatan kepala daerah dan aparat lainnya.

Lili menekankan pendapat berbeda dari tiga hakim konstitusi tersebut bukan sembarangan. Hal itu dikeluarkan berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan, hanya kalah dalam voting.

Dia menjelaskan kurangnya legitimasi tersebut bagi pemerintahan mendatang bisa jadi akan menghadapi berbagai kendala kalau ada kebijakan yang salah dan bisa menjadi pemicu bagi publik yang tidak puas dengan hasil pilpres 2024.

“PR presiden terpilih ke depan, bisa jadi ini akan menjadi rintangan-rintangan atau kendala. Jadi kalau bijakan-bijakan ke depan sedikit saja salah, tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat bisa menjadi “bom waktu” “ujarnya.