Kala Perundungan dan Beban Kerja Picu Mahasiswa Kedokteran Undip Bunuh Diri, Entah Siapa yang Salah?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 17 Agustus 2024 2 jam yang lalu
Ilustrasi tenaga kesehatan mengalami depresi (Foto: MI/Getty Images)
Ilustrasi tenaga kesehatan mengalami depresi (Foto: MI/Getty Images)

Jakarta, MI - Kematian dokter Aulia Risma Lestari yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis anestesi di Universitas Diponegoro (Undip) memicu perdebatan tentang perundungan dan beban kerja. 

Kapolsek Gajahmungkur, Kompol Agus Hartono, menuturkan awal mula ditemukannya jenazah mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran di Universitas Diponegoro, Aulia Risma Lestari, pada Senin (12/8/2024) pukul 23:00 WIB di kamar kosnya di kawasan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur.

Awalnya, kata Kompol Agus, ada laporan dari pria yang mengaku teman dekat korban tidak bisa menghubunginya sejak pagi. Bahkan panggilan dari rekan sejawat dan atasannya juga tak kunjung direspons sepanjang hari.

Teman dekat korban, menurut Kompol Agus, lantas memutuskan untuk mendatangi tempat kos korban untuk memastikan kondisinya.

Ketika sampai di lokasi, teman dekat korban mengklaim mendapati pintu kamar kos dalam keadaan tertutup rapat. Kompol Agus mengatakan, teman dekat korban mengaku mencoba mengetuk pintu kamar sebanyak dua kali, namun lagi-lagi tak ada jawaban. "Akhirnya dipanggil tukang kunci dan ditemukan sudah meninggal," kata Kompol Agus dikutip pada Sabtu (17/8/2024).

Kompol Agus menuturkan, korban ditemukan dengan kondisi wajah kebiruan serta posisi miring seperti orang sedang tidur. "Mukanya biru-biru sedikit sama pahanya, seperti orang tidur," sambungnya.

Di tempat kejadian perkara, polisi menemukan buku harian korban yang menceritakan bahwa dia mengalami masa sulit selama kuliah kedokteran dan menyinggung urusan dengan seniornya.

"Dia mungkin sudah komunikasi sama ibunya karena melihat buku hariannya itu, kelihatan [korban] merasa berat dengan pelajarannya, senior-seniornya. Ibunya memang menyadari anak itu minta resign, sudah enggak kuat". 

Sudah curhat sama ibunya, satu mungkin [karena] sekolah, kedua mungkin menghadapi seniornya. Seniornya itu kan perintahnya sewaktu-waktu minta ini dan itu, keras," katanya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap mahasiswa PPDS Anastesi Undip ini, polisi, menyebut korban diduga menyuntikkan sendiri obat penenang ke tubuhnya.

Korban sering curhat ke ibunya

Dalam perkembangan terbaru, Kasat Reskrim Polrestabes Semarang, Kompol Andika Dharma Sena, mengatakan pihaknya masih mendalami adanya dugaan perundungan yang dialami korban. Untuk itu polisi akan menjadwalkan pemanggilan terhadap rekan kerja korban untuk dimintai keterangan.

Selain juga berkoodinasi dengan internal Undip Semarang. Adapun terkait dengan buku harian korban yang berisi tentang kondisinya selama menempuh pendidikan dokter spesialis, dia menyebut buku tersebut tidak bisa diasumsikan berkaitan dengan dugaan perundungan.

"Korban ini juga sering curhat ke ibunya, kemudian isi buku harian, semua akan didalami. Jangan berasumsi isi buku harian ini perundungan," ujarnya.

Ia menerangkan bahwa persoalan yang diceritakan oleh korban kepada ibunya melalui buku harian berkaitan dengan pembelajaran yang sedang dijalani.

Sebab kematian

Sementara soal penyebab kematian, polisi menyebut tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. "Hanya ditemukan sisa wadah obat keras dan luka suntik," katanya.

Menurut dokter, sebutnya, obat keras tersebut tidak boleh disuntikkan ke dalam tubuh. Pada waktu yang bersamaan dengan penyelidikan polisi, Kementerian Kesehatan telah menurunkan tim Inspektorat Jenderal untuk melakukan investigasi soal pemicu dugaan bunuh diri korban apakah terkait dengan perundungan atau tidak.

Tim ini diharapkan selesai bekerja dalam waktu satu pekan, kata Plt Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, SIti Nadia Tarmizi.

Investigasi Itjen, sambungnya, akan mencakup kegiatan korban selama menjalani program residensi di RS Kariadi, Semarang.

"Walau PPDS ini program Undip, Kemenkes tidak bisa lepas tangan karena yang bersangkutan juga melakukan pendidikannya di lingkungan RS Kariadi sebagai UPT Kemenkes," kata Nadia.

Kemenkes juga sudah berkoordinasi dengan Mendikbudristek sebagai pembina Undip serta Dekan FK Undip dalam melakukan investigasi ini.

Selama proses investigasi berlangsung, kata Nadia, pihaknya menghentikan sementara kegiatan PPDS Anastesi Undip di RS Kariadi. Tujuannya agar menciptakan suasana yang nyaman bagi para dokter junior untuk "berbicara apa adanya tanpa ada intimidasi dari senior".

Dan jika pemeriksaan terhadap kematian dokter Aulia selesai, maka kegiatan PPDS Anastesi Undip bisa dibuka kembali. Terakhir, Nadia menyampaikan Kemenkes tidak sungkan melakukan tindakan tegas seperti mencabut Surat Izin Praktik dan Surat Tanda Registrasi bila ada dokter senior yang melakukan praktik perundungan yang berakibat kematian.

Tapi di tengah proses penyelidikan polisi dan investigasi Kemenkes yang masih berjalan, Utami Setyowati selaku Humas Undip Semarang mengklaim kasus dugaan bunuh diri dokter residen Aulia yang disebut berkaitan dengan perundungan adalah "tidak benar".

Berdasarkan hasil investigasi internal Undip Semarang tanpa menjelaskan lebih lanjut prosesnya dan siapa saja yang terlibat kematian korban disebabkan oleh masalah kesehatan yang dapat memengaruhi proses belajar yang sedang ditempuh.

"Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai konfidensial medis dan privasi almarhumah, kami tidak bisa menyampaikan detail masalah kesehatan yang dialami selama proses pendidikan," ungkapnya.

"Menyikapi masalah kesehatan korban, pengelola Prodi Anastesi Undip memantau secara aktif perkembangan kondisi yang bersangutan selama proses pendidikan," katanya.

Utami kemudian menjelaskan, dokter Aulia sempat mempertimbangkan untuk mengundurkan diri. Namun, urung dilakukan karena dia adalah penerima beasiswa yang terikat dengan ketentuan tertentu – lagi-lagi tanpa menjelaskan kapan peristiwa itu terjadi.

Menyangkut soal perundungan di Fakultas Kedokteran Undip, Utami mengatakan pihaknya telah menerapkan gerakan zero bullying yang dipantau secara aktif oleh tim pencegahan dan penanganan perundungan serta kekerasan seksual di FK Undip sejak 1 Agustus 2023.

Perundungan menghantui

Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Slamet Budiarto, tak menampik "masih adanya bullying meskipun klaimnya sudah berkurang 80%".

Tapi 'perundungan' yang berlangsung sekarang, katanya, lebih ditujukan untuk mendisiplinkan para calon dokter agar tepat waktu.

"Zaman dulu mungkin banyak, sekarang sudah berkurang 80-90%, jadi kalau masih ada [perundungan] pasti masih ada... namanya manusia. Tapi sudah sangat minimal," ungkapnya, Kamis (15/8/2024).

Namun lebih dari pada itu, dia menilai yang menjadi penyebab stres hingga depresi para PPDS ini adalah jam kerja yang sangat panjang di rumah sakit residen. Beberapa rumah sakit vertikal milik Kemenkes, sebutnya, tidak memiliki aturan soal lama jam kerja PPDS sehingga sering kali lebih dari 24 jam.

Padahal idealnya mereka bekerja maksimal 8 sampai 10 jam per hari atau 40 hingga 50 jam per minggu. "Rumah sakit vertikal untuk pendidikan dokter spesialis harusnya tidak boleh lebih dari 10 jam per hari, itu salah satu cara yang bisa dilakukan Kemenkes membuat aturan itu. Tapi kan belum. Kalau kerja di atas 10 jam, akan terjadi kelelahan, orang sehat jadi sakit. Satpam aja kalau jaga malam, paginya libur," jelasnya.

Bola liar dan kejam

Pengamat kesehatan dari Central for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, mengatakan apa yang melatari kematian calon dokter spesialis Aulia Risma Lestari, kini menjadi "bola liar" lantaran tak ada diagnosis medis terkait kondisi kesehatan mental korban.

Sehingga masing-masing pihak yakni Universitas Diponegoro (Undip) dan Kemenkes saling melempar klaim soal penyebab kematiannya.

Undip menyatakan meninggalnya korban disebabkan oleh masalah kesehatan dan membantah ada unsur perundungan. Sedangkan Kemenkes meyakini korban bunuh diri akibat dugaan perundungan.

Di tengah situasi yang disebutnya "kompleks" ini, Diah menilai kesimpulan Undip terlalu cepat. Padahal penyelidikan polisi belum rampung, dan Kemenkes masih melakukan investigasi.

"Harusnya dilihat dulu... ketika Kemenkes menutup prodi anastesi, saya melihat berarti ada sesuatu," ungkap Diah, Kamis (15/8/2024).

Tapi terlepas dari itu, Diah menilai kematian calon dokter spesialis ini pasti "menyimpan masalah" dan "permasalahan itu harus diakui".

Oleh karena itu FK Undip dan RS Kariadi harus terbuka, jangan malah menutup-nutupi masalah. Tanpa keterbukaan, maka persoalan serupa bisa berulang di masa mendatang, kata Diah.

"Jadi akui dulu ada masalah dan kalau ada masalah jangan ditutup-tutupi, itu hanya menutupi pucuk gunung es kan? Perundungan itu kan masalah yang turun-temurun antar generasi, harus diakui dong. Kemudian pendidikan PPDS harus direview kembali jika ternyata memberikan tekanan besar. Karena di mana pun ada stresor, tapi seberapa besar stres yang pantas sehingga orang bisa menanggungnya."

"Bukan kah amat sangat kejam seseorang sampai harus mengorbankan nyawanya hanya demi mendapatkan gelar dokter spesialis? Kok sangat tidak manusiawi," imbuhnya.

DPR geram: hambat terciptanya dokter spesialis

Saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Kamis (15/8/2024), Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo mengaku geram atas kasus ini. Terlebih penyebab bunuh diri yang dilakukan, karena adanya perundungan.

"Sangat disayangkan dan memprihatinkan sekali terjadinya kasus bunuh diri peserta sekolah dokter spesialis di UNDIP, ini membuktikan tidak ada perubahan," katanya.

"Dan terus terjadi perundungan yang dilakukan dunia pendidikan dokter spesialis di Indonesia," tegas Handoyo menambahkan.

Di saat Indonesia sedang mengalami sangat kekurangan dokter spesialis, lanjut dia, perundungan makin menghambat terciptanya dokter spesialis ini.

"Karena dampak perundungan antara lain ada yang bunuh diri, stres dan sampai depresi, banyak yang berkeinginan bunuh diri maupun melukai diri sendiri, akibat beban psikologis dari proses pendidikan, adanya yang mengundurkan diri, karena tidak kuat (akan) beban pendidikan," tuturnya.

Oleh karena itu, dirinya meminta agar siapapun yang terlibat dalam kasus ini, dapat segera dipecat. "Maka atas dasar ini dan untuk memunculkan efek jera, maka pecat siapa saja yang turut berkontribusi akan terjadinya perundungan kasus di Undip ini. Kalau tidak ada yang dipecat, akan muncul lagi korban berikutnya dan perundungan terus berjalan," tegas Rahmad.

Tak hanya itu, legislator dari Fraksi PDIP ini juga mendorong agar pihak kepolisian dapat mendalami dan menginvestigasi secara menyeluruh, kemungkinan adanya potensi kasus yang mengarah ke ranah pidana.

"(Kami juga) mendesak Pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan dan Kementerian Kesehatan, untuk investigasi secara tuntas sekaligus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan program dokter spesialis, yang fokus pada pendidikan".

"Serta memberantas segala bentuk perundungan di dunia pendidikan dokter spesialis," imbuhnya. (an)