Peran Totalindo Eka Persada di Kasus Korupsi Lahan di Rorotan Rp 223 Miliar


Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah menetapkan dan menahan 5 tersangka korupsi korupsi pengadaan tanah di Rorotan, Jakarta, oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada periode 2019-2020 yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp233 miliar, Rabu (18/9/2024).
Lima tersangka itu adalah Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada Tbk (TEP) Donald Sihombing (DNS); Komisaris PT Totalindo Eka Persada, Saut Irianto Rajagukguk (SIR); Direktur Keuangan PT Totalindo Eka Persada, Eko Wardoyo (EKW); dan Direktur Pengembangan Sarana Jaya, Indra S. Arharrys (ISA)
Sementara salah satu dari tersangka yang ditetapkan KPK yaitu mantan Direktur Utama (Direktur) Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory C. Pinontoan, yang juga terseret dalam kasus korupsi lahan di Munjul dan Pulo Gebang. Yoory kini sudah mendekam di penjara sebagai terpidana kasus di Munjul.
Berdasarkan konstruksi perkaranya, PT Totalindo Eka Persada awalnya berencana membeli enam bidang tanah dari PT Nusa Kirana Real Estate (NKRE) di Rorotan, Jakarta Utara, pada sekitar Februari 2019.
"Lahan seluas 11,7 hektare (ha) itu dipatok dengan harga Rp950.000 per meter persegi (m2), yang berlokasi di Jalan Rorotan Marunda, Kel. Rorotan, Kec. Cilincing, Jakarta Utara," kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu.
Pembayaran tanah itu akan diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT TEP dengan nilai transaksi total Rp117 miliar.
Kemudian, lanjut Asep, PT TEP menawarkan lahan di Rorotan itu ke PPSJ seharga Rp3,2 juta per m2 menggunakan skema kerja sama operasional (KSO). Skemanya yakni pengelolaan tanah bersama antara PT TEP dan PPSJ. Yoory, yang menjabat Dirut Sarana Jaya saat itu, menyatakan minatnya terhadap penawaran tanah tersebut.
Pada Maret 2019, tersangka Yoory dan Donald melakukan rapat dan menyepakati besaran harga lahan Rorotan itu sebesar Rp3 juta per m2.
Meski demikian, PPSJ saat itu belum menunjuk Kantor Penilai Jasa Publik (KJPP) serta mengkaji secara internal atas lahan yang ditawarkan PT TEP. KPK pun menduga Yoory dan Indra mengetahui bahwa harga wajar tanah yang ditawarkan pihak PT TEP berada di bawah Rp2 juta per m2.
Dia juga diduga mengarahkan agar tidak perlu menunjuk KJPP independen untuk penilaian harga wajar tanah. Hal itu bertentangan dengan sejumlah peraturan pemerintah daerah.
Adapun, PPSJ dan PT TEP lalu menandatangani Perjanjian Pendahuluan tentang Perjanjian KSO Proyek Tanah Rorotan pada 6 Maret 2019. PT TEP mengaku sebagai pemilik sah enam bidang tanah seluas 11,7 ha itu, kendati SHGB atas tanah tersebut masih atas nama PT NKRE.
Transaksi tersebut empat tertunda lantara Dewan Pengawas PPSJ tidak memberikan persetujuan atas pembayaran uang muka sebesar Rp30 miliar. Transaksi lalu diubah dari skema KSO menjadi beli putus tanah.
"Pembayaran yang dilakukan pun dilakukan dalam beberapa tahap. Uang muka dibayarkan PPSJ ke PT TEP, yakni Rp150 miliar pada akhir Maret 2019, lalu dilanjutkan dengan Rp201 miliar pada periode April-September 2019," beber Asep.
PT TEP belum lunasi kewajiban
Pembayaran diterima PT TEP kendati perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) itu belum melunasi kewajiban pembayaran tanah ke PT NKRE.
Alhasil, total pembayaran untuk tanah seluas 11,7 Ha dari PPSJ kepada PT TEP adalah Rp351 Miliar. Keseluruhan uang yang dibayarkan itu belum termasuk pada 22 Februari 2021, ketika PPSJ melunasi penambahan luas tanah Rorotan seluas 0,6 ha senilai Rp14 miliar.
Dengan demikian, total uang pembayaran yang telah dikeluarkan PPSJ kepada PT TEP untuk pembelian tanah Rorotan seluas 12,3 Ha (11,7 Ha luas awal ditambah 0,6 Ha penambahan luas pasca pengukuran ulang) adalah Rp370 Miliar.
Dalam proses pengadaan itu, KPK menduga pembelian lahan tidak didahului kajian teknis komprehensif.
"Kondisi lahan disebut berawa, membutuhkan biaya pematangan lahan yang cukup besar serta tidak memenuhi kriteria teknis lahan Rumah Susun Sederhana (Rusuna) sebagaimana diatur pada Peraturan Gubernur Jakarta No.27/2009," ungkap Asep.
Selain itu, memo intern penyampaian laporan penilaian atas penawaran lokasi lahan seluas 11,7 ha itu dibuat bertanggal mundur (backdate) oleh pegawai PPSJ sesuai perintah Yoory.
Backdate itu diduga untuk menjustifikasi keputusan sepihak dan subyektif Yoory dalam pembelian tanah dan mengesankan seolah-olah proses pengadaan berjalan sesuai prosedur.
KPK lalu menduga terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp223 miliar akibat penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah oleh PPSJ itu.
"Nilai kerugian negara/daerah tersebut berasal dari nilai pembayaran bersih yang diterima PT Totalindo Eka Persada dari Perumda Pembangunan Sarana Jaya sebesar Rp 371 miliar dikurangi harga transaksi riil PT Totalindo Eka Persada dengan pemilik tanah awal [PT Nusa Kirana Real Estate/ PT NKRE] setelah memperhitungkan biaya terkait lainnya seperti pajak, BPHTB dan biaya notaris sebesar total Rp147 milyar," beber Asep.
Selain itu, Yoory diduga menerima fasilitas dari PT TEP berupa valas berdenominasi dolar Singapura setara dengan Rp3 miliar. Dia juga diduga mendapatkan kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT TEP berupa satu rumah dan satu unit apartemen.
"Pembelian aset Sdr. YCP [Yoory] berupa satu rumah dan satu unit apartemen oleh pegawai PT TEP tersebut atas instruksi Sdr. EKW (Direktur Keuangan PT TEP) dan sumber dananya berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut," terang Asep.
Atas perbuatannya, lima tersangka dijerat dengan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-undang (UU) No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Topik:
KPK Sarana Jaya Totalindo Eka Persada Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada Donald Sihombing