Crazy Rich Surabaya Terdakwa Korupsi Emas Antam, Kerugian Negara Capai Rp1,16 Triliun

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 20 November 2024 11:56 WIB
Crazi Rich Surabaya, Budi Said [Foto: Repro]
Crazi Rich Surabaya, Budi Said [Foto: Repro]

Jakarta, MI - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan korupsi jual beli emas Antam dengan terdakwa "Crazy Rich" Surabaya, Budi Said, pada Selasa (19/11/2024).

Sidang kali ini menghadirkan saksi ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Mohammad Priyono, yang memberikan keterangan terkait hasil audit investigatif yang dilakukan BPK dalam kasus tersebut.

Dalam keterangannya, Mohammad Priyono mengungkapkan bahwa dirinya merupakan Ketua Tim BPK yang ditunjuk untuk melakukan audit investigatif atas permintaan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri. 

Audit tersebut bertujuan untuk menghitung kerugian negara terkait pengelolaan aset emas di Butik Emas Logam Mulia Surabaya 01 milik PT Aneka Tambang (Antam) pada tahun 2018. Priyono mengungkapkan bahwa audit ini penting untuk mengidentifikasi aliran dana dan transaksi yang diduga terkait dengan praktik korupsi dalam transaksi jual beli emas yang melibatkan Budi Said.

"Dasar penugasan kami berasal dari permintaan Ditipideksus Bareskrim Polri melalui surat tertanggal 28 Agustus 2019. Atas dasar itu, BPK melaksanakan investigasi dan menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor 12/LHP/2021 tanggal 20 September 2021," kata Priyono di hadapan majelis hakim.

Dalam sidang tersebut, Priyono memaparkan hasil audit investigatif yang dilakukan oleh BPK, kerugian negara sebesar 152,8 kilogram emas yang tercatat dalam stok opname di Butik Surabaya 01 pada 5 Desember 2018.

"Berdasarkan penghitungan ulang, stok fisik emas tidak sesuai dengan data pada sistem elektronik E-MAS PT Antam. Terdapat selisih 125 batang emas 1000 gram dan 278 batang emas 100 gram yang tidak ditemukan di lokasi penyimpanan," jelasnya.

Ahli juga mengungkapkan adanya penyimpangan yang menjadi dasar kerugian negara. Salah satunya adalah transaksi fiktif yang melibatkan Eksi Anggraeni, salah satu terdakwa, yang diduga melakukan kesepakatan dengan pembeli untuk menjual emas di bawah harga resmi PT Antam.

Selain itu, terdapat pemberian fasilitas ilegal oleh Kepala Butik Surabaya 01 dan staf lainnya yang menyerahkan emas kepada Eksi Anggraeni melebihi faktur pembayaran, yang menyebabkan kekurangan stok emas di butik tersebut.

Dia juga menyebut adanya manipulasi data yang dilakukan saat laporan stok harian emas di Butik Surabaya 01 untuk menutupi kekurangan stok.

Dalam keterangannya, Priyono juga menyebutkan peran terdakwa Budi Said sebagai pihak yang diuntungkan dalam transaksi ini.

Piyono menambahkan, "Saudara Budi Said diduga membeli emas Antam melalui Eksi Anggraeni dengan harga di bawah harga resmi, serta menerima emas dalam jumlah melebihi faktur pembayaran. Selain itu, terdakwa memberikan insentif kepada Eksi Anggraeni untuk memfasilitasi transaksi ini." 

Priyono menegaskan, temuan ini didukung oleh bukti kuat berupa dokumen transaksi, laporan stok, serta hasil klarifikasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk terdakwa Budi Said.

"Kami juga melakukan konfirmasi langsung kepada terdakwa pada Desember 2019 dan Maret 2021, guna memastikan validitas data," ungkapnya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung mendakwa Budi Said atas dugaan korupsi terkait pembelian emas Antam dan tindak pidana pencucian uang. 

Dalam dakwaan tersebut, Budi Said diduga merekayasa transaksi pembelian emas sebanyak 5,9 ton agar seolah-olah tercatat sebagai pembelian 7 ton emas dari BELM Surabaya 01.

Kerugian negara atas kasus ini ditaksir mencapai Rp1,16 triliun. Kerugian tersebut terdiri dari Rp92.257.257.820 miliar pada pembelian pertama dan Rp1.073.786.839.584 triliun pada pembelian kedua.

Angka ini dihitung berdasarkan kekurangan fisik emas di BELM Surabaya 01 dan kewajiban PT Antam menyerahkan 1.136 kilogram emas kepada Budi Said, sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Agung No.1666K/Pdt/2022 tanggal 29 Juni 2022.

JPU mendakwa Budi Said atas dugaan korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ia dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 undang-undang yang sama, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Ancaman pidananya adalah penjara minimal 4 tahun hingga maksimal 20 tahun serta denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Budi Said juga terancam pidana berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 4 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak TPPU, dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar.

Topik:

emas-antam korupsi budi-said kerugian-negara