Akankah Pangkalan LPG Bernasib Sama dengan Digitalisasi SPBU, Kini Disidik KPK

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 4 Februari 2025 18:53 WIB
Aplikasi MyPertmina (Foto: Dok MI/An)
Aplikasi MyPertmina (Foto: Dok MI/An)

Jakarta, MI - Di tengah isu pagar makan lautan, publik dikagetkan dengan kebijakan penghapusan pengecer dalam mata rantai distribusi elpiji 3 Kg, yang dibuta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia.

Pengamat kebijakan publik Fernando Emas, menilainya sebagai pengalihan isu pagar laut hingga dugaan korupsi pada proyek Digitalisasi SPBU PT Pertamina (Persero) tahun anggaran 2018-2023. "Terlalu berisiko kalau menjadikan persoalan LPG 3 Kg dipakai untuk mengalihkan isu Pagar Laut yang belakangan menjadi polemik dan perhatian publik."

"Apalagi persoalan pagar laut terjadi pada masa pemerintahan Joko Widodo. Sehingga kalau menjadikan persoalan gas LPG 3 Kg dipakai untuk mengalihkan isu pagar laut seolah menggeser persoalan pemerintahan Jokowi ke pemerintahan Prabowo," begitu kata Fernando saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Senin (3/2/2025) malam.

Kembali kepada kebijakan Bahlil yang bikin gaduh se-tahan air. Bahwa usai ramai dikritik, kini dia berdalih pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Dia menyatakan bahwa penyalahgunaan distribusi liquefied petroleum gas atau LPG tabung 3 kilogram bersubsidi yang dilakukan oknum pengecer merupakan bahan temuan Badan Pemeriksa Keuangan sejak tahun 2023.

Menurut Bahlil, kebijakan larangan pengecer menjual LPG 3 kilogram atau gas melon ini telah dikaji secara mendalam. "Semuanya adalah kebijakan yang sudah kita kaji secara mendalam, jadi ini sebenarnya barang sudah dari 2023 dengan hasil ada audit dari BPK, bahwa ada penyalahgunaannya dari oknum-oknum pengecer," kata Bahlil di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/2/2025).

Bahlil mengakui bahwa dampak dari kebijakan larangan penjualan LPG 3 kilogram di tingkat pengecer memang tanggung jawab pemerintah.

Kebijakan larangan pengecer untuk menjual LPG 3 kilogram awalnya bertujuan mengendalikan harga jual di masyarakat agar tidak ada yang dijual di atas harga eceran tertinggi (HET).

Selain itu, penataan jalur distribusi terhadap komoditas yang masih disubsidi pemerintah itu dapat tepat sasaran kepada rakyat dan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

"Kesalahan itu tidak usah disampaikan ke siapa-siapa. Kami Kementerian ESDM yang harus mengambil alih tanggung jawab dan memang tanggung jawabnya itu untuk melakukan perbaikan penataan. Perintah Bapak Presiden wajib untuk tidak boleh ada masyarakat mendapatkan yang tidak tepat," katanya.

Bahlil menyatakan bahwa pengecer LPG 3 kilogram dapat kembali beroperasi pada Selasa ini, namun berganti nama menjadi subpangkalan.

Tujuan dari pengoperasian kembali pengecer LPG 3 kilogram ini untuk menormalkan kembali jalur distribusi gas subsidi tersebut. Pengecer yang kini berubah nama menjadi subpangkalan, kata Bahlil, dibekali aplikasi Pertamina yang bernama MerchantApps Pangkalan Pertamina.

Melalui aplikasi tersebut, pengecer bisa mencatat siapa yang membeli, berapa jumlah tabung gas yang dibeli, hingga harga jual dari tabung gas tersebut.
Oleh karena itu, masyarakat yang membeli LPG 3 kilogram di subpangkalan juga diwajibkan membawa kartu tanda penduduk (KTP).

Aplikasi MerchantApps Pangkalan Pertamina ini nantinya memungkinkan pengecer mencatat data pembeli, jumlah tabung gas yang dibeli serta harga jualnya.

Kemudian untuk memastikan distribusi gas elpiji 3 kg tepat sasaran, masyarakat diwajibkan membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) saat membeli.
Disebutkan, sebanyak 370 ribu pengecer sudah terdaftar sebagai sub-pangkalan gas elpiji 3 kg.

Aplikasi MerchantApps Pangkalan Pertamina ini termaktub dalam aplikasi MyPertamina. Selain MerchantApps Pangkalan Pertamina, MyPertamina juga menyoal Digitalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum atau SPBU untuk memitigasi tindak curang dalam membeli Bahan Bakar Minyak atau BBM subsidi di stasiun pengisian.

Salah satunya dengan mempersiapkan platform MyPertamina untuk pembelian Pertalite dan Solar. Hanya saja, proyek yang dikerjakan bersama PT Telkom (TLKM) tersebut sebelumnya menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hingga pada akhirnya disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak September 2024 lalu. 

Tersangka pun sudah ditetapkan, namun belum dibeberkan pihak KPK. Saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto, Selasa (21/1/2025) soal dari pihak mana saja yang tersangka. Tessa enggan berkomentar lebih jauh. "Belum bisa disampaikan saat ini," singkat Tessa.

Temuan BPK

Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK sempat melaporkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2022 yang menyebutkan bahwa penyusunan owner estimate pada pengadaan digitalisasi SPBU Pertamina tidak sepenuhnya sesuai dengan term of reference (TOR).

Bahkan, BPK juga mencatat hasil pekerjaan yang dilaksanakan oleh PT Telkom Indonesia belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh Pertamina.

"Hal ini mengakibatkan pemborosan keuangan pada PT Pertamina c.q. PT PPN (Pertamina Patra Niaga) sebesar Rp 196,43 miliar dan potensi pemborosan keuangan perusahaan sebesar Rp 692,98 miliar," tulis BPK.

BPK lantas merekomendasikan direksi Pertamina agar menginstruksikan PT Pertamina Patra Niaga untuk melakukan evaluasi dan penyesuaian kontrak dengan PT Telkom Indonesia, sesuai dengan kondisi aktual yang terjadi di SPBU. "Dan memastikan bahwa pengadaan digitalisasi SPBU telah dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan," tulis BPK.

Terkait temuan BPK itu, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting sempat mengatakan, pihaknya telah menyiapkan sistem IT untuk membantu pencatatan, siapa saja konsumen yang berhak membeli BBM bersubsidi.

"QR Code ini pencegahan kecurangan-kecurangan subsidi BBM di lapangan. Sudah bisa dilihat sendiri, betapa banyak penyelewengan yang terjadi," kata Irto beberapa waktu lalu.

Sementara itu, dalam telekonferensi di Rapat Paripurna DPR RI, Selasa 24 Mei 2022 lalu, Ketua BPK RI, Isma Yatun menyatakan bahwa permasalahan yang perlu mendapat perhatian adalah perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan digitalisasi SPBU belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan berpotensi merugikan PT Telkom.

"Sehingga mengakibatkan PT Telkom kehilangan kesempatan menerima pendapatan sewa digitalisasi SPBU selama tahun 2019 kepada PT Pertamina sebesar Rp193,25 miliar," kata Isma.

Selain itu, terdapat duplikasi penggunaan perangkat network SPBU yang mengakibatkan pemborosan keuangan PT Telkom sebesar Rp50,49 miliar. 

Jika pengusutan kasus dugaan korupsi Digitalisasi SPBU Pertamina ini berawal dari temuan BPK RI, apakah Pangkalan Gas LPG 3Kg akan diusut juga? Kini nantikan perkembangannya di KPK.

Topik:

SPBU MyPertamina