Artificial Intelligence Sebuah Keniscayaan yang Harus Dihadapi

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 29 Januari 2024 19:41 WIB
Roy Suryo (Foto: Istimewa)
Roy Suryo (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Pemerhati Telematika dan Multimedia Independen, Roy Suryo menghadiri Forum Diskusi Media yang diselenggarakan oleh Museum Pers Nasional dalan rangka Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2024 di Hotel Grand Sahid, Senin (29/1).

Acara yang menghadirkan Dirjen IKP Kominfo Usman Kansong, Ninuk Pambudy Kompas, Dahlan Dani Tribun, Wahyu Dhyatmika Tempo dan Agus Sudibyo Dewas TVRI serta dimoderatori Prita Laura tersebut mendiskusikan topik "AI (Artificial Intelligence) dan Keberlanjutan Media".

Diskusi yang dapat diikuti juga secara hybrid melalui YouTube tersebut berlangsung cukup menarik karena sangat related dengan nasib media yang saat ini mulsi "digempur" dengan teknologi AI disana-sini. 

Bukan hanya ChatGBT yang mulai populer digunakan, namun algoritma teknologi Kecerdasan Buatan/AI ini mulai "mengambil jatah" posisi dan peran pekerja media sesungguhnya dalam melaksanakan tugasnya.

"Oleh karena itu ketika saya sebut nama-nama seperti Anya, Devano, Nadira, Sasya, Bhomi dkk yang mana mereka-mereka ini adalah presenter AI yang sekarang sering ditampilkan di salah satu TV swasta dan secara tidak langsung sudah "mengambil alih" tugas penyiar sesungguhnya.

"Masyarakat mulai terbiasa dengan naskah yang sebelumnya masih diketik reporter berita, namun selanjutnya diolah dengan "text-to-voice synthesizer" dan digeneralisasikan ke model penyiar 3 sehingga tampak lancar bisa berbicara sepertk penyiar sesungguhnya," kata Roy Suryo.

Tentu ini berbeda dengan teknologi audio-feeding yang sering digunakan oleh presenter sekarang dihampir semua stasiun TV untuk hanya memandu kata-katanya sesuai naskah yang sudah disiapkan.

"Karena meski sempat saya tunjukkan secara langsung bentuk dari "alat canggih" yang bisa dipasang dibalik karah baju atau jaket yang digunakan agar tidak tampak, namun kalau sekedar "neck bone-conducted speaker" tersebut masih belum tersambung dengan AI, alias masih bisa dibimbing orang biasa dengan koneksi bluetooth/wigi agar kalimat-kalimat lresenter (atau peserta debat) tampak "pintar" dalam berkata-kata, padahal dia sebenarnya hanya "dibisikin" alias dipandu dari jauh," kata Roy Suryo panjang lebar.

Karena besok-besoknya jika teknologi AI-pun sudah bisa mengambilalih peran pembisik tersebut, maka tidak lagi diperlukan wireless receiver yang dimasukkan dalam "bantal besehatan" alias pempers 5.0). 

Dalam diskusi juga terungkap bahwa sekarang sudah mulai digunakan hal tersebut untuk pembuatan sebuah berita, karena cenderung makin memudahkan redaktur untuk mengolah sebuah pemberitaan dibandingkan dengan masa-masa semuanya masih harus digunakan cara-cara manual atau tradisional.

Saat ini teknologi AI memang sangat memangkas proses atau mekanisme pemberitaan, bahkan dimungkinkan bahwa redaktur tinggal "mengarahkan" saja berita yg akan dibuat.

Karena AI bisa mengisi redaksi yang harus ditulis tanpa repot-repot lagi menuliskannya. 

Meski demikian saat ini mulai muncul kesalahan-kesalahan AI yang ternyata bisa mencuplik data-data yang meleset, bahkan salah orang sebagaimana kasus-kasus di Australia dan Amerika baru-baru ini. 

"Dimana sampai terjadi "berita" yang dibuat ternyata memang terbukti tidak pernah benar-benar terjadi secara fakta, alias hoaks sesungguhnya yang diproduksi secara otomatis menggunakan AI," lanjut Roy Suryo.

Inilah yang harus segera diantisipasi oleh pemerintah Indonesia, karena ketertinggalan regulasi tentan AI seperti ini bisa jadi sangat merugikan untuk masyarakat nantinya.

Karena sebagaimana keterlambatan UU-ITE Tahun 2008 saat itu, namun saat ini meski sudah tiga kali direvisi malah banyak merugikan masyarakat.

"Karena sering salah menerapkannya dan bahkan menjadi "alat penguasa" untuk membungkam pendapat kritis mayarakat. Belum lagi kalau AI digunakan secara nir-etika alias tanpa mempergunakan norma yang ada."

"Misalnya kemarin digunakan untuk kepentingan politik menghidupkan kembali sosok yang sudah wafat untuk kampanye partai dan membuat suara palsu yang seolah-olah ketua partai sedang memarahi salah satu capres yang jelas-jelas hoaks," tuturnya.

Saat ini, menurut Dirjen IKP sedang ada Pembuatan Strategi Nasional 2020-2045 tentang AI yang diusulkan oleh BRIN, yang setidakya ini bisa untuk membuat Keppres khusus mengantisipasi kemajuan AI tersebut dan kemungkinan revisi atas UU yan saat ini belum ada pengaturan soal AI didalamnya.

Misalnya UU Hak Cipta, dimana didalamnya banyak soal copyright dan publishing right yang bisa terkait dengan penggunaan AI. 

"Intinya memang negara harus cepat bergerak dan jangan abai karena adanya perkembangan AI yang bisa mengimbas masyarakat ini," katanya.

Kesimpulannya, AI adalah keniscayaan yang harus dihadapi manusia dan terjadi sesuai perkembangan teknologi itu sendiri, dimana di era society 5.0 semuanya terjadi, mulai dari era robot, IoT (Internet of Thing), hingga AI (Artificial Intelligence).

AI akan menjadi hal yang disebut "frienemy" alias friend sekaligus "enemy", alias Kawan sekaligus Kawan, dimana sisi positif dan negatif akan bisa terjadi secara bersamaan dan sekaligus dialami oleh manusia. 

"Suka tidak suka pasti akan terjadi, ini "Keniscayaan AI" yg saya sebutkan tadi dalam Acara Diskusi," tutup Roy Suryo.