PT Toba Pulp Lestari Kembali Gusur Masyarakat Adat Natinggir di Tano Batak

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 7 Agustus 2025 22:37 WIB
PT Toba Pulp Lestari (Foto: Ist)
PT Toba Pulp Lestari (Foto: Ist)

Jakarta, MI- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mengecam keras penggusuran PT Toba Pulp Lestari terhadap Masyarakat Adat Natinggir di Desa Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba.

Operasi usaha milik Taipan Sukanto Tanoto ini telah berulang kali menggusur komunitas-komunitas Masyarakat Adat Tano Batak di kawasan Danau Toba, untuk Hutan Tanaman Industri Eukaliptus. Selain tindak kriminalitas terhadap masyarakat adat yang mempertahankan tanahnya, penggusuran PT TPL disertai berbagai tindakan kekerasan yang semakin kejam dan tak terkendali.

Hari ini (07/08/2025), sejak pukul 08.00 WIB, ratusan karyawan dan petugas keamanan PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali menggusur masyarakat adat dari wilayah adatnya. Kali ini, pihak PT TPL berupaya menanami eukaliptus lahan pertanian Masyarakat Adat Natinggir. 

Namun ketika Masyarakat Adat Natingir berupaya menghentikan aksi tersebut, mereka malah mendapat berbagai tindakan kekerasan, hingga satu orang mengalami luka di bagian leher. 

Tidak berhenti di sana, pihak PT TPL melakukan pengrusakan pemukiman Masyarakat Adat Natinggir dan kekerasan pada anak-anak serta pejuang agraria yang mendampingi Masyarakat Adat Natinggir. PT TPL melempari rumah-rumah masyarakat dengan batu, padahal anak-anak masyarakat adat sedang berada di rumah tersebut. Empat (4) staff KSPPM yang sedang mendampingi di Natinggir turut menjadi sasaran PT TPL dalam penggusuran ini.

Penggusuran ini menambah catatan kejahatan PT TPL kepada konstitusi agraria, serta memperparah krisis agraria yang ada di Sumatera Utara. Operasi PT TPL adalah satu perusahaan yang lebih dari 4 dekade memonopoli tanah seluas 291.263 hektar di Sumatera Utara, atas nama ‘Hutan Tanaman Industri’ merampas wilayah adat milik 23 komunitas masyarakat adat di 12 kabupaten, dengan total luasan 33.422,37 hektar. 

Penggusuran ini telah mengorbankan 470 masyarakat adat yang mempertahankan tanah adatnya: 2 orang meninggal, 208 orang dianiaya, dan 260 orang dikriminalisasi. Belum tindakan perbudakan modern yang dilakukan PT TPL kepada para pekerjanya.

Usaha PT TPL ini dilaksanakan dengan melanggar konstitusi, sebab operasinya illegal atau tidak dibenarkan secara hukum. Area konsesi di dalam kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 11.582,22 hektar, di dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) 122.368,91 hektar, di dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) 12.017,43 hektar, di dalam Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) 1,9 hektar, dan di dalam Areal Penggunaan Lain (APL) 21.917,59 hektar. Dari 188.055 hektar konsesi TPL, setidaknya 28% (52.668,66 hektar) adalah ilegal karena berada di atas HL, HPK, dan APL.

Ironisnya lagi, hingga hari ini klaim kawasan hutan di Sumatera Utara hanya sebatas “penunjukan”, bukan “penetapan”, dimana negara seharusnya melakukan penataan ulang tata batas dan mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat yang lebih dulu beraktivitas di sana. Karenanya, konsesi PT TPL penuh dengan kecacatan hukum, melalui proses maladministrasi kehutanan, manipulasi proses, hingga abused of power. Dengan demikian keberadaan PT TPL dan operasinya adalah praktik ilegal yang dilakukan oleh badan usaha swasta dan difasilitasi oleh pemerintah Indonesia.

Di sisi lain, Sumatera Utara merupakan salah satu episentrum konflik agraria di Indonesia akibat klaim HGU dan HTI oleh perusahaan-perusahaan besar, baik swasta maupun milik negara. Kurun 1 dekade terakhir, Provinsi Sumatera Utara menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan konflik agraria tertinggi, setidaknya 275 letusan konflik agraria, di seluas 655.285,69 hektar, yang berdampak pada 227.239 rumah tangga (Catahu KPA 2015-2024). 

Karena itu, kami Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mendesak agar:

1. PT Toba Pulp Lestari segera menghentikan operasi ilegalnya; menghentikan penggusuran Masyarakat Adat Natinggir, serta berbagai tindak kekerasan yang mengancam keselamatan hidup Masyarakat Adat, termasuk bagi perempuan dan anak-anak;

2. Kapolres Resort Toba segera mengusut tuntas dan menindak tegas tindakan kejahatan dan pelanggaran hukum yang dilakukan PT TPL; Kementerian Kehutanan segera mengevaluasi dan mencabut HTI PT TPL

3. Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN segera melepaskan klaim ‘hutan negara’ dari tanah dan wilayah adat masyarakat sebagai upaya penghormatan, pengakuan, pemulihan dan pemenuhan negara terhadap hak atas tanah dan wilayah Masyarakat Adat Se-Tano Batak; dan

4. Presiden Republik Indonesia segera melaksanakan Reforma Agraria; menyelesaikan konflik agraria; menata ulang monopoli penguasaan tanah akibat klaim sepihak kawasan hutan negara yang mencaplok tanah-tanah dan wilayah masyarakat adat. 

Topik:

KPA KSPPM Masyarakat Adat Natinggir PT Toba Pulp Lestari