Klaim Penguasaan Kembali Lahan Sawit Nasional Dipertanyakan, 39% Lahan Masih Kosong

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 16 Oktober 2025 4 jam yang lalu
Perkebunan Sawit (Foto: Ist)
Perkebunan Sawit (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (Pustaka Alam) menyoroti adanya ketimpangan antara klaim pemerintah melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dengan kondisi sebenarnya di lapangan terkait penguasaan kembali lahan kelapa sawit.

Dalam laporannya, Pustaka Alam menyebut bahwa hingga 1 Oktober 2025, Satgas PKH mengklaim telah menguasai kembali kawasan hutan seluas 3,4 juta hektare. Dari jumlah itu, sekitar 1,5 juta hektare lahan sawit disebut telah diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara.

Satgas PKH sebelumnya mengumumkan keberhasilan “menguasai kembali” jutaan hektare lahan sawit yang diklaim Jaksa Agung bernilai Rp150 triliun. Capaian itu bahkan telah dilaporkan langsung kepada Presiden. Publik pun beranggapan bahwa negara telah berhasil mengambil alih kembali aset-aset produktif bernilai besar.

Namun, fakta berbeda terungkap dalam rapat kerja Komisi VI DPR RI bersama PT Agrinas Palma Nusantara pada 23 September 2025. Dari total 833.413 hektare lahan yang diserahkan kepada Agrinas dalam Tahap I-III, hanya 61% yang tertanam sawit, sementara 39% sisanya merupakan lahan kosong.

“Temuan itu seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk meninjau kembali data yang dilaporkan Satgas PKH. Tidak semua lahan yang dikuasai kembali benar-benar berbentuk kebun sawit. Bahkan Agrinas Palma sendiri telah mengonfirmasi di hadapan DPR bahwa banyak data versi Satgas tidak akurat,” kata Direktur PUSTAKA ALAM, Muhamad Zainal Arifin.

Berdasarkan hasil kajian PUSTAKA ALAM terhadap data Penyerahan Tahap IV dari Satgas PKH kepada PT Agrinas Palma Nusantara, terungkap bahwa dari total lahan penguasaan kembali seluas 674.178,44 hektare, sebagian besar ternyata merupakan lahan kosong yang belum tertanam.

Temuan paling mencolok terlihat di Provinsi Kalimantan Tengah. Misalnya, di konsesi PT AKL, dari total lahan penguasaan kembali seluas 8.696,09 hektar, secara mengejutkan hanya 2,33 hektar yang tertanam. Kondisi serupa terjadi PT KHS dilakukan penguasaan kembali 1.357, 91 ha dengan luas yang tertanam hanya 15 ha. 

Kemudian, ada PT ISA lahan yang dikuasai kembali 1.156,26 ha, akan tetapi yang tertanam 8,89 ha. Begitu juga di Provinsi Sulawesi Tengah, terdapat PT KSG dengan dilakukan penguasaan kembali 1.452,41 ha akan tetapi tertanam hanya 8,38 ha dan masih banyak perusahaan yang mengalami hal yang sama.

“Jika data ini dijadikan dasar laporan kepada Presiden, maka Presiden disesatkan oleh angka-angka yang tidak mencerminkan realitas lapangan. Negara tampak seolah merebut aset besar, padahal sebagian lahan yang diklaim hanyalah lahan kosong, semak, rawa bahkan kawasan High Conservation Value (HCV),” tutur Zainal.

Menurut PUSTAKA ALAM, perbedaan data tersebut membuka dua kemungkinan. Pertama, sebagian lahan yang diklaim Satgas PKH bukanlah kebun sawit aktif. Padahal Penjelasan Pasal 110B ayat (1) UU Cipta Kerja menegaskan bahwa luas pelanggaran hanya mencakup lahan yang benar-benar diubah fungsinya. Artinya, lahan kosong tidak bisa dijadikan dasar penguasaan kembali. Fokus pemberian sanksi administratif hanya untuk kegiatan usaha yang telah terbangun.

Kedua, terdapat indikasi pembesaran data oleh Satgas PKH dalam memenuhi target kinerja. Lahan milik pihak lain atau lahan kosong dilakukan penguasaan kembali. Dalam beberapa berita acara penguasaan kembali, ditemukan pula perusahaan diminta menyerahkan lahan yang bukan miliknya.

“Itu pelanggaran terhadap asas nemo plus juris, yang berarti seseorang tidak bisa menyerahkan hak atas tanah yang bukan miliknya. Negara seharusnya menjadi teladan dalam menegakkan asas hukum ini, bukan justru mengabaikannya demi pencapaian statistik,” tegas Zainal.

Selain itu, kajian PUSTAKA ALAM juga menemukan bahwa sebagian lahan penguasaan kembali oleh Satgas PKH justru berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang masih berlaku. Banyak dari HGU tersebut telah diterbitkan berdasarkan keputusan resmi Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Ada banyak temuan di mana lahan berstatus HGU ikut dilakukan penguasaan kembali. Padahal, selama hak tersebut belum dicabut sesuai prosedur, negara tidak bisa begitu saja merampas lahan yang sudah bersertifikat. Situasi ini mengingatkan pada Bremen Tobacco Case tahun 1959, yang berawal dari nasionalisasi perusahaan tembakau Belanda di Sumatera Timur. Pemerintah Indonesia saat itu digugat di Pengadilan Bremen, Jerman, karena dianggap melakukan pengambilalihan tanpa kompensasi dan melanggar prinsip prompt, effective, and adequate,” ungkap Zainal.

Ketidakakuratan data yang disampaikan Satgas PKH juga berimplikasi langsung terhadap penetapan denda administratif bagi perusahaan. Dalam salah satu kasus, misalnya, sebuah perusahaan yang seharusnya hanya dituduh melanggar seluas 2,33 hektare justru dijatuhi denda untuk area seluas 8.696,09 hektare. 

Lebih ironis lagi, kondisi semacam ini juga dapat menimbulkan persoalan bagi Kementerian Kehutanan. Jika di dalam Surat Keputusan sanksi administratif yang diterbitkan, luas areal pelanggaran ditetapkan berdasarkan hasil verifikasi faktual yang justru lebih kecil dari klaim Satgas PKH, maka malah dituding melakukan korupsi tata kelola hutan dengan alasan dianggap mengurangi potensi penerimaan negara.

“Kita sudah sampai pada situasi absurd, di mana kebenaran data hanyalah versi Satgas. Jika lembaga lain menggunakan angka yang lebih kecil dari klaim Satgas, malah bisa dicap korupsi,” kata Zainal.

PUSTAKA ALAM mengingatkan bahwa data penguasaan kembali lahan yang dibesar-besarkan dengan angka fantastis berpotensi menyesatkan arah kebijakan nasional. Jika data tersebut dijadikan dasar dalam perencanaan target CPO, program B50, perhitungan aset negara dan BUMN maupun perhitungan target PNBP, maka kekeliruan angka akan berujung pada kesalahan dalam pengambilan kebijakan.

“Negara harus berhati-hati, karena keputusan yang didasarkan pada data yang keliru dapat menimbulkan salah kelola kebijakan. Oleh karena itu, data yang disusun Satgas PKH maupun kinerja lembaganya perlu dievaluasi secara menyeluruh, agar setiap langkah penataan benar-benar mencerminkan keadilan, bukan sekadar angka untuk pencitraan keberhasilan,” pungkas Zainal.

Topik:

sawit lahan-sawit pustaka-alam