Habib Syarief Ungkap Kekuatan Pesantren di Tengah Gempuran Modernitas Global

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 16 Oktober 2025 5 jam yang lalu
Anggota DPR RI Fraksi PKB, Habib Syarief Muhammad. (Foto. Rizal Siregar)
Anggota DPR RI Fraksi PKB, Habib Syarief Muhammad. (Foto. Rizal Siregar)

Jakarta, MI - Anggota DPR RI Fraksi PKB, Habib Syarief Muhammad, menegaskan bahwa pesantren merupakan benteng moral dan spiritual bangsa yang telah eksis jauh sebelum sistem pendidikan modern lahir di Indonesia. Ia menilai, banyak pihak belum memahami secara utuh konstruksi dan nilai luhur yang hidup di lingkungan pesantren.

“Yang pertama, saya sebagai mantan santri sedikit banyak memahami bagaimana konstruksi utuh pesantren. Keberadaan pesantren sudah hampir melampaui 1.000 tahun. Yang pertama merintis pesantren adalah para wali songo seperti Sunan Giri dan Sunan Bonang, kemudian disebarkan ke seluruh Indonesia. Namun secara kelembagaan, pesantren mulai terbangun sebagai institusi pendidikan Islam sekitar abad ke-17,” kata Habib Syarief dalam diskusi bertajuk ‘Antara Tradisi dan Modernitas: Mampukah Pesantren Bertahan di Tengah Gempuran Globalisasi’, di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/10/2025).

Menurut Habib, pada abad ke-17 pesantren sudah berkembang pesat di berbagai daerah. Namun, masih ada sebagian kalangan yang belum memahami peran dan karakter pesantren secara utuh.

“Yang pertama, peran kiai itu sangat sentral di pesantren. Kiai memberikan pengabdian dengan dasar ibadah hampir 24 jam. Kiai memimpin shalat lima waktu, menjadi teladan dalam perilaku, dan tidak pernah digaji. Banyak pesantren yang tidak memungut biaya pendidikan,” ujarnya.

Habib memberi contoh, di sejumlah pesantren tahfidz di Demak, santri hanya membayar Rp200.000 per bulan untuk makan tanpa ada biaya lain. “Sementara untuk program makan bergizi gratis pemerintah saja bisa mencapai Rp1 juta per anak. Pesantren tidak mengenal uang sekolah. Di Krapyak, tempat saya dulu nyantri, tidak ada pungutan biaya kecuali untuk makan,” lanjutnya.

Ia juga menegaskan bahwa kehidupan di pesantren sarat dengan nilai keikhlasan, tawadhu, dan keberkahan. “Pesantren bukan hanya lembaga duniawi, tapi juga lembaga ukhrawi. Ada nilai ibadah yang tidak bisa diukur secara rasional,” katanya.

Habib kemudian menceritakan kisah tentang pendiri Pesantren Krapyak, KH Munawwir, yang menjadi contoh nyata nilai keberkahan. “Suatu ketika, septic tank pesantren penuh. Beliau memerintahkan santri untuk kerja bakti setelah Jumat. Seorang santri keturunan orang kaya dengan baju mewah langsung ikut turun membersihkan. KH Munawwir berkata, ‘Inilah yang akan meneruskan perjuanganku menjadi ahli Al-Qur’an.’ Dari situ lahirlah ulama besar seperti KH Arwani Kudus,” tutur Habib.

Habib menilai pemberitaan yang menyoroti pesantren secara negatif tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. “Saya tidak menolak apa yang ditampilkan dalam video itu, tapi reporter gagal memahami secara utuh kehidupan pesantren. Mereka hanya memotret sisi parsial yang tendensius. Padahal kalau ditanya kepada dua alumni saja, pasti akan mendapat penjelasan berbeda,” tegasnya.

Ia juga menyebut sebagian besar pesantren di Indonesia masih berdiri mandiri tanpa bantuan pemerintah. “Saya berani mengatakan, pesantren yang mendapat bantuan pemerintah mungkin tidak lebih dari 20 persen. Banyak pesantren, seperti Lirboyo, sepenuhnya berdiri dari kekayaan dan warisan para kiai,” ujarnya.

Habib juga menekankan bahwa pesantren berhasil membentuk karakter santri yang kuat, berakhlak, dan berintegritas. “Saya yakin alumni pesantren yang terlibat dalam kasus negatif seperti judi, mabuk, atau korupsi sangat minim, mungkin di bawah satu persen. Karena pesantren bukan hanya membekali ilmu, tetapi juga membentuk karakter,” katanya.

Ia mengutip pesan gurunya di Krapyak, “Kalau kamu nanti jadi penceramah, jangan pernah menentukan nominal amplop. Begitu kamu menentukan harga, maka hilanglah keberkahan ilmu.” Habib mengaku hingga kini masih memegang teguh pesan tersebut.

Menutup pernyataannya, Habib meminta media untuk lebih berhati-hati dalam memotret kehidupan pesantren. “Saya tidak menolak kritik, tapi potretlah secara utuh. Ada nilai ikhlas, tawadhu, dan penghormatan yang tinggi di pesantren. Kalau 4 juta santri di Indonesia disurvei, saya yakin lebih dari 99 persen akan membenarkan bahwa pesantren adalah tempat lahirnya akhlak dan ilmu,” pungkasnya.

 

Topik:

pesantren Habib Syarief Muhammad DPR PKB pendidikan Islam kiai