Banjir Bandang Hancurkan Puluhan Desa di Tapanuli, KSPPM: TPL Mengelak dari Tanggung Jawab

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 5 Desember 2025 6 jam yang lalu
Tumpukan kayu alam di sekitar PKR-TPL  di Kabupaten Tapanuli Selatan. [Foto: Auriga]
Tumpukan kayu alam di sekitar PKR-TPL di Kabupaten Tapanuli Selatan. [Foto: Auriga]

Jakarta, MI - Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Roki Suriadi Pasaribu menyoroti sikap defensif PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang dinilai berupaya mengelak dari tanggung jawab atas bencana ekologis yang melanda Sumatera Utara (Sumut).

Perdebatan mengenai pemicu utama bencana ekologis yang melanda Sumut kian memanas. Roki pun, mengungkapkan fakta mengejutkan mengenai korelasi antara wilayah operasional perusahaan dengan lokasi bencana.

“Jika dicermati lokasi bencana ekologis yang terjadi pada 25 November 2025, enam dari kabupaten yang terdampak banjir dan longsor memiliki irisan langsung dengan wilayah konsesi perusahaan ini,” kata Roki Suriadi, Jumat (5/12/2025).

Data tersebut, kata dia, menunjukkan adanya korelasi spasial yang mendesak untuk diselidiki, terutama terkait perubahan tutupan hutan dan ekspansi tanaman eucalyptus, yang memengaruhi daya dukung lingkungan. 

Ia membantah narasi perusahaan, yang mengklaim hanya menanami sebagian kecil area konsesi, dengan membeberkan temuan pelanggaran di lapangan.

“Aktivitas penanaman eucalyptus terus dilakukan tanpa koreksi apa pun. Data terbaru mencatat setidaknya 3.660 hektare kawasan hutan lindung telah mereka tanami eucalyptus,” ujarnya.

"Area terluas berada di Sektor Tele, yakni sekitar 3.305 hektare, yang secara berkala ditanami dan ditebang, padahal kawasan ini berfungsi sebagai daerah penyangga Danau Toba. Selain itu, perusahaan juga melakukan penanaman di kawasan APL seluas 2.359 hektare," jelasnya.

Bahkan, Roki menyebut TPL juga melakukan penanaman ilegal di luar batas izin resmi mereka seluas 1.720 hektare di dalam kawasan hutan lindung.

“Pelanggaran yang dilakukan perusahaan ini tidak hanya terbatas pada tata kelola hutan yang buruk. Dengan sengaja, TPL juga melakukan penanaman eucalyptus di luar izin resmi yang mereka miliki,” ungkapnya.

Roki juga menyoroti skema Kebun Kayu Rakyat (PKR) yang digadang-gadang, sebagai solusi konflik agraria, namun nyatanya menjadi modus baru deforestasi. 

Ia menjelaskan bahwa praktik ini, justru mempercepat kerusakan hutan alam, khususnya di wilayah Tapanuli Selatan.

“Dengan dalih PKR dan status areal sebagai APL, TPL melakukan penebangan hutan alam dan menggantinya dengan tanaman monokultur," imbuhnya.

Menurutnya, praktik ini tampak tidak bermasalah karena adanya kesepakatan dengan masyarakat.

"Namun pada kenyataannya justru memicu kerusakan ekologis yang serius,” jelas Roki.

Selain pembukaan lahan baru, praktik pemanenan eucalyptus setiap 4–5 tahun memicu terbentuknya lahan terbuka, yang meningkatkan kerentanan terhadap bencana ekologis

"Tragedi kali ini adalah yang terparah, dibandingkan rentetan bencana sebelumnya di Sihotang dan Simangulampe pada 2023, maupun banjir Parapat awal tahun ini. 

Seperti diketahui, bencana saat ini telah menelan ratusan korban jiwa dan melumpuhkan puluhan desa.

“Karena itu, TPL tidak dapat mengelak dari keterlibatannya dalam bencana yang sedang berlangsung," tandasnya. 

Topik:

Banjir Bandang di Tapanuli KSPPM TPL PT Toba Pulp Lestari